Italia Dirancang untuk Kalah

MUNGKIN tidak tepat benar, tetapi sebagian besar bolamania Indonesia tampaknya lebih menjagokan Italia dalam partai perempatfinal melawan Perancis, Jumat malam (3/7/1998). Fakta di St. Dennis justru berkata sebaliknya, Italia mengulangi tragedi 1994, kalah 3-4 dalam drama adu penalti. Dalam catatan sebelumnya, saya pernah mengatakan bahwa tujuh pemain kunci tim Perancis 1998 yang selama ini bermain di Liga Seri A Italia tidak awam dengan kharakter Azzurri asuhan Cesare Maldini. Lawan yang mereka hadapi toh tidak lebih dari rekan main bersama di klub atau anggota seri A lainnya yang sudah diketahui titik kuat dan kelemahannya.

    Namun, secara obyektif harus diakui Perancis pantas meraih kemenangan itu meskipun Pelatih Aime Jacquet terkesan minder pada babak pertama dengan hanya menurunkan seorang striker yang tidak efektif, Stephane Guivarc'h. Kekurangan Perancis yang secara moral kuat berkat dukungan penonton dan bermain di kandang sendiri, juga tidak adanya insting membunuh dalam diri Djorkaeff maupun Zidane.

    Padahal Italia bemain jauh di bawah kemampuan terbaiknya - untuk tidak mengatakan amat buruk. Italia seakan merancang permainan itu untuk kalah. Musababnya pertama-tama ada dalam diri Cesare Maldini. Salah satu pendekar catenaccio ini ternyata inkonsistensi dengan prinsipnya menggabungkan sistem pertahanan grendel dengan mengatur harmonisasi serangan untuk membuka pertahanan lawan lewat 5-3-2. Dalam prinsip ini, idealnya tim Maldini memang tidak akan terburu-buru keluar sarang. Pertahanan harus diamankan dulu dengan lima pemain dan pada saatnya baru menekan jantung musuh mengandalkan tiga gelandang (Luigi Di Biaggio, Dinno Baggio dan Morriero) serta bantuan dua wing back yang ditempati Paolo Maldini (kiri) dan Gianluca Pesotto (kanan).

    Apa yang diragakan Paolo Maldini cs di St. Dennis justru sebaliknya. Selama 120 menit Italia  hanya bermain defensif dengan enam pemain belakang sekaligus (6-3-1), mirip Norwegia saat menaklukkan Brasil 2-1 di penyisihan grup A. Fakta-fakta berikut membuktikan hal itu. Selama babak pertama, Italia tidak sekalipun mendapatkan corner kick (sepak pojok). Sedangkan Perancis memperoleh kesempatan empat kali yang mencerminkan adanya serangan yang dirancang apik. Babak kedua Perancis menyerang lebih gigih dengan skor sepak pojok 6:1 untuk Perancis. Dan pada masa perpanjangan waktu 2x15 menit skornya 2:1, juga bagi Perancis.

    Italia memang sempat berubah penampilannya dengan serangan yang cukup hidup sejak Roberto Baggio masuk pada menit ke-67 menggantikan Alessandro del Piero. Harus dikatakan keputusan Cesare menurunkan Baggio sangat terlambat karena bersamaan dengan keputusan Jacquet menginstruksikan anak asuhnya menyerang total di babak kedua dengan memasukkan duet striker Thiery Henry dan David Trezeguet, menggantikan Guivarc'h dan Christian Karembeu.

    Mestinya Cesare jeli melihat komposisi 'aneh' Jacquet pada babak pertama yang cuma memainkan satu ujung tombak dalam formasi 4-5-1. Komposisi itu mencerminkan Perancis tiak akan memforsir tekanan karena khawatir counter attack Italia lewat Christian Vieri dan Del Piero. DI babak ini seharusnya Italia tidak defensif murni. Sekali-kali harus keluar menyerang leawt sentuhan satu dua dari kaki ke kaki memanfaatkan trio gelandang dan dua wing back. Di posisi belakang toh masih ada Costacurta, Bergomi dan Canavarro untuk menghadang laju Djorkaeff dan Zidane.

    Sampai menit ke-66, serangan Italia sempat dilakukan beberapa kali, tetapi selalu menggunakan bola-bola panjang diagonal untuk Vieri di kanan dan Del Piero di sisi kiri kotak penalti Perancis. Bola panjang bisa dimengerti karena Italia kalah bersaing di blok tengah yang memang milik Perancis di bawah koordinasi kapten Deschamps. Sayangnya, bola panjang bukan tipe Azzurri dan jelas mubazir karena di pilar belakang tim "Ayam Jantan" ada Laurent Blanc, Marcel Desailly dan Lilian Thuram yang lebih jangkung dan selalu unggul dalam duel udara. Jadilah Vieri dan Del Piero sebagai striker ompong dan tidak sekalipun mendapat peluang manis.

    Del Piero bermain sangat buruk, malah nekad kasar terhadap rekan Juventusnya -- Didier Deschamps sehingga Wasit Hugh Dallas harus menghadiahkan kartu kuning pada babak pertama. Terbukti betul bahwa Del Piero boleh amat bagus di tim Juventus, tetapi tidak untuk tim nasional Italia. Del Piero juga bukan tandem yang baik bagi Vieri. Ketika Vieri masih bermain di Juventus sebelum pindah ke Atletico Madrid musim lalu, pelatih Marcello Lippi jarang menurunkan bersama Del Piero karena keduanya tidak cocok. Yang paham karakter Vieri sebagai striker murni cuma Roberto Baggio yang di negerinya dianggap santo itu.

    Kalau Cesare memainkan Roberto Baggio (bintang yang tidak sekadar mampu menendang bola, tetapi merupakan pemikir bagi tim) lebih awal - ceritanya bisa lain.  Kelihatan sekali semangat Vieri terpompa dan matanya berbinar-binar saat Bagio masuk. Selama 23 menit babak kedua, empat kali umpan tarik Baggio kepada Vieri mengancam gawang Fabien Barthez. Bagio bahkan hampir mencetak golden goal pada menit ke-5 masa perpanjangan waktu. Tendangan first time-nya cuma melenceng beberapa sentimeter di pojok gawang kanan Barthez. Tapi strategi Perancis juga cerdik. Saat Baggio masuk, empat pemain bertahan disiplin menjaga wilayahnya. Blanc, Desailly, Lizarazu dan Thuram yang pada babak pertama berani naik membantu serangan, enggan keluar sarang. Bagaimanapun mereka tahu kepiawaian Baggio dalam melihat titik lemah lawan.

    Dan, Roberto Baggio membuktikan ia memang bintang besar dengan sukses penaltinya -- suatu kesempatan ia menghapus dosa di USA 1994. Italia 1998 boleh kalah, tetapi kekaguman pada Roberto tak akan sirna. Baggio akan tetap anggun mengisi ruang hati penggemarnya. Italia kalah semata-mata karena Cesare terlalu percaya catenaccio-nya, sementara semua orang tahu Italia tak pernah mujur dalam drama adu penalti di dua event Piala Dunia sebelumnya. Good bye Squadra Azzurra, selamat menikmati air mata. **


Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 5 Juli 1998. Artikel ini ditulis menanggapi hasil pertandingan Italia melawan Perancis di babak perempatfinal Piala Dunia 1998.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes