ilustrasi |
Sejauh ini, rintangan yang mulai menghantui para pemain, ofisial, panitia, wasit dan inspektur pertandingan adalah lahirnya kericuhan yang kian besar bobot dan frekwensinya dari hari ke hari. Diawali kericuhan kecil antarpemain dalam pertandingan Persap vs Kodya Kupang di Stadion Marilonga, Sabtu (27/11/1999), insiden tersebut hadir lagi dalam partai PSN vs Persim dan Persap vs Persewa, Minggu (28/11/1999). Setelah melalui diskusi, evaluasi dan pembicaraan dari hati ke hati berpedoman pada semangat fair play, semua kejadian itu terakhir damai.
Eh, ternyata kericuhan muncul lagi, insiden paling segar dan terkini itu lahir di Lapangan Perse Senin 29 November 1999 ketika Persami Maumere bertanding melawan Perseftim Flores Timur di hadapan sekitar 7.000 penonton. Permainan menawan kedua tim bertetanga itu terhenti pada menit ke-74. Sisa 16 menit babak kedua tidak dilanjutkan karena terjadi kericuhan setelah Achmad Husen mencetak gol ketiga untuk Perseftim. Sebelumnya kedua tim membagi angka 2-2. Gol Persami disarangkan Marianus Anunsius dan Andreas A Polda. Gol Perseftim dijalakan Kuce Langkamau dan Petrus Miten.
Cerita ringkasnya begini. Saat mencetak gol ke gawang Persami menit ke-74 itu, Achmad Husen menurut pengamatan wasit berada pada posisi offside yang ditandai kibaran bendera kuning dari wasit garis Albeth Lisnahan. Wasit utama Slamet Riyadi pun tidak mensahkan gol itu dan memberikan tendangan bebas kepada Persami. Tetapi menurut pengamatan pemain dan pelatih Perseftim, gol itu sah karena Husen tidak offside. Terjadilah protes kepada Wasit Slamet Riyadi.
Mungkin karena sebelumnya Perseftim sudah memprotes ketika Anunsius mencetak gol pertama Persami menit ke-2 ke gawang Dion Fernandez, keputusan terakhir itu (yang kalau sah membuat Perseftim unggul 3-2) itu diprotes habis-habisan oleh pemain dan ofisial Perseftim. Suasana makin seru ketika pendukung fanatik Perseftim pun ikut masuk lapangan dan hendak menghajar Slamet Riyadi. Riyadi terpaksa lari menyelamatkan diri ke pangakuan petugas keamanan kemudian diantar ke meja inspektur pertandingan.
Setelah terjadi tarik-menarik karena perbedaan pendapat dan prinsip antara keputusan wasit serta kedua tim, inspektur pertandingan Hendrik Patinono memutuskan pertandingan terhenti menit ke-74. Lalu dalam pertemuan di Hotel Safari yang berakhir pukul 21.20 wita semalam, pertandingan dianggap tidak ada dan kedua tim bertemu lagi hari ini di Stadion Marilonga.
***
MENGAPA kericuhan terjadi? Tentu saja banyak alasan yang bisa dikedepankan. Namun, dalam catatan ala kadarnya ini saya ingin menyatakan bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi panitia yakni pembatas antara lapangan dengan tempat duduk atau berdirinya penonton. Menurut ketentuan, penonton harus dibatasi pagar yang kokoh, sehingga mereka tidak dapat seenaknya masuk ke dalam lapangan pertandingan. Ini demi keselamatan pemain, wasit dan offisial kedua tim.
Kondisi lapangan Perse maupun Stadion Marilonga yang hanya dibatasi tali nilon sejauh ini membuat penonton begitu enteng dan tanpa beban berdiri persis di garis lapangan. Bahkan mereka masuk beberapa meter ke dalam lapangan dan menghalangi pandangan inspektur pertandingan.
Peringatan atau imbauan panitia seolah tak digubris. Nah, ketika terjadi sesuatu yang menurut mereka merugikan tim kesayangannya, penonton pun masuk lapangan dan ikut nimbrung. Semua bicara tentang kebenarannya masing-masing. Mereka semua merasa paling tahu tentang sepakbola, menyalahkan pemain, panitia dan yang paling banyak kena sasaran adalah wasit.
Menurut hemat saya, bila penonton benar-benar berada di luar lapangan atau ruang geraknya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak bisa masuk lapangan pertandingan, kericuhan tak akan terjadi. Protes yang dilakukan ofisial tim dan pemain akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya, jika penonton tidak ikut bicara dan main ancam yang sama sekali kurang menghargai keselamatan seorang wasit di lapangan.
Perlunya ketegasan panitia dalam membatasi jarak antara penonton dan pemain di lapangan kiranya menjadi pekerjaan prioritas mulai hari ini. Sebab suhu pertandingan akan semakin meningkat pada babak-babak selanjutnya. Rasanya tidak nikmat dan nyaman, bila tiap hari selalu ada kericuhan. Ingatlah El Tari Memorial Cup adalah ajang mempertautkan semangat persaudaraan masyarakat Flobamora. ***
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Selasa, 30 November 1999. Artikel ini dibuat menanggapi sejumlah kericuhan yang terjadi dalam kejuaraan sepakbola El Tari Memorial Cup 1999 di Ende.