MELALUI media ini hari Jumat 18 Oktober 1996 kita mendapat warta duka tewasnya 79 penonton di Stadion Mateo Flores, Guatemala. Kabar paling akhir menyebutkan, 82 orang tewas dan 180 cedera dalam peristiwa berdarah saat berlangsung pertandingan babak penyisihan sepakbola Piala Dunia 1998 antara Guatemala dan Costa Rica, Rabu (16/10/1996).
Kebanyakan korban tewas karena kekurangan oksigen akibat tertimbun tubuh penonton lain. Menurut saksi mata, serombongan penonton di atas tangga stadion tiba-tiba menjatuhi penonton di bawahnya dan terjadilah saling injak.
Jumlah penonton melebihi kapasitas stadion bertempat duduk 45.000 dan banyak orang masuk tanpa karcis. "Saya ikut berduka," kata Presiden Guatemala, Alvaro Arzu sambil berurai air mata. Arzu segera menghentikan pertandingan dan mengumumkan masa berkabung nasional selama tiga hari.
Peristiwa di Stadion Mateo Flores Guatemala, menambah litani berdarah dalam sejarah bola sejagat. Insiden itu kembali menegaskan, sepakbola tak sekadar permainan dengan sejuta pesona. Sepakbola bisa melahirkan bencana, air mata, perang bahkan kehilangan jiwa manusia tak berdosa.
***
MENDENGAR kisah tragis itu, kita mungkin bertanya-tanya, apakah sepakbola masih merupakan olahraga yang menghibur? Masih adakah kenyamanan di stadion olahraga? Jawabannya bisa beragam. Yang jelas tragedi Stadion Flores Guatemala pekan ini bisa menjadi cermin bagi riak-riak kebrutalan di arena sepakbola kita.
Liga Indonesia intim dengan bakupukul, bukan berita besar. Demikian pula dengan sepakbola NTT dan Kupang khususnya yang tak sepi dari episode bakulempar. Dalam turnamen Faperta Cup XI di Stadion Oepoi Kupang yang kini masih bergulir, tujuh pertandingan telah diwarnai drama bakulempar antarsuporter. Seorang siswa STM Negeri Kupang dan anggota panitia masuk rumah sakit karena ditikam.
Setiap kali turnamen di Kupang, baik FE Unwira Cup pada bulan April-Mei, Faperta Undana Cup Oktober-November serta event lainnya, kisah kebrutalan selalu ada. Sepakbola mini di Batuplat, Bakunase, sepakbola pantai Namosain maupun El Tari Memorial Cup, tetap menampilkan insiden serupa.
Saya mencatat pelaku kebrutalan di stadion dominan kelompok remaja yang istilah popnya Anak Baru Gede (ABG). Kaum inilah yang suka menarik perhatian petugas keamanan, panitia dan penonton. Sikap genit ABG itu terpantul lewat gelegar teriakan saat mendukung timnya, mengeluarkan kata tak sedap yang membuat gadis perawan, janda kembang sampai ibu rumah tangga merinding bulu kuduknya. Menyebabkan kaum Bapak memandang gerah.
Seperti lazimnya ABG, wajah mereka masih sangat inocent dan lugu. Jauh dari kesan beringas. Kumis pun baru beberapa helai menghiasi bibir pucat mereka. Tetapi dalam kerumunan massa tingkahnya sontak berubah jadi jagoan, melebihi keberanian pendekar 212, Wiro Sableng! Bila ada petugas keamanan, mereka diam seribu bahasa. Seperti tikus basah, tak berdaya dan ciut nyalinya.
Dalam kerumunan, riak lugu ABG cenderung destruktif. Mereka tak segan membawa batu ke tribun. Iseng melempar gadis-gadis yang tersingkap rok atau bajunya sehingga sekejap memperlihatkan bukit-bukit ranum di dada mereka akibat embusan nakal bayu sabana. Batu malah lebih sering mereka jadikan senjata untuk melempar suporter lawan.
Motif bakulempar kadang tidak jelas. Boleh jadi karena kecewa atau gembira berlebihan. Kenyataannya, timnya kalah ataupun menang, insiden ini tetap ada. Dalam kerangka itu, keberingasan ABG, mungkin sengaja mereka lakukan sebagai ekspresi hilangnya kasih sayang orangtua di rumah, tak ada perhatian guru di sekolah maupun lingkungan sosialnya. Keberingasan saat menonton bola lalu dimanfaatkan untuk menarik perhatian, menunjukkan jatidiri keremajaan mereka.
Kita bersyukur, turnamen sepakbola di Kupang dan NTT umumnya baru melahirkan korban cedera. Baru menghasilkan tetesan darah segar yang muncrat, bukan nyawa! Tetapi dalam jangka panjang riak genit ABG Oepoi, Bakunase atau Namosain merupakan bibit-bibit unggul tragedi sepakbola.
Bila tidak ditekan, kegenitan itu berpeluang menjadi kebuasan dan perilaku kebinatangan. Manusia adalah rational animal, kata Aristoteles. Ketika rasionya tidak efektif bekerja, sifat kebinatangan tampil lebih dominan. Saat itu manusia bisa membunuh. Tega mencabik-cabik saudaranya.
Keterlaluan bila dengan prestasi pas-pasan, bahkan masih pada tahap belajar menendang bola, kita justru sok jagoan di stadion dan luar lapangan. Sembari mengucapkan Requiescat In Pace bagi korban Mateo Flores Guatemala, semua pencinta bola di sini kiranya tak bosan berikhtiar agar tragedi itu tidak berhembus sampai ke Flores kita - ke Nusa Tenggara Timur kita. Sepakbola berdarah jangan sampai menggantung di atas langit Flobamora! **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 20 Oktober 1996. Artikel ini dibuat untuk mengenang 82 penonton yang tewas terinjak-injak di Stadion Mateo Flores, Guatemala tanggal 16 Oktober 1996 dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1998.