“BRASIL akan menang melawan Perancis di grandfinal malam ini". Laksana koor paling kompak yang pernah saya dengar, kalimat itu meluncur begitu lugas dari bibir rekan-rekan di Redaksi Pos Kupang yang hampir 99 persen adalah penggemar berat tim Samba. "Mustahil kalau Brasil kalah," kata Tony Kleden. "Dari dulu saya cuma percaya Brasil," ujar Ana Djukana yang rela begadang setiap kali Brasil-nya tampil di France 98.
"Tidak ada juara baru. Brasil akan juara kelima kalinya," demikian Vico Patty, si kartunis. Yulius Lopo yang perhatiannya pada sepakbola biasa-biasa saja ternyata juga pengagum Brasil. Sama seperti dua pendekar desk olahraga, Eugenius Moa dan Kanis Jehola. Pokoknya hampir semua rekan dan rekanita karyawan Pos Kupang yang sempat saya temui selama tiga hari terakhir, umumnya yakin benar bahwa Brasil akan mempertahankan gelarnya. Pendapat lain justru diungkapkan Fery Jahang dan Thomas Todo Tokan. Padahal sehari-hari dua sobat ini biasanya cuek berat pada sepakbola. Tapi mereka justru memilih Perancis sebagai pemenangnya. Jika diadakan voting, jelas Fery dan Thomas kalah telak.
Rekan Fery dan Thomas dan mungkin Anda yang menjagokan Perancis di St. Dennis, Senin dini hari Wita (13/7/1998), memang harus berjiwa besar jika suaramu nyaris hilang dalam gemuruh dukungan yang maha luas bagi tim Samba. Saya ingin melukiskan lagi bahwa psikologi dunia hari ini seolah-olah hanya mendukung Brasil. Dunia tidak yakin Perancis akan mengukir sejarah sebagai negara ketujuh yang memenangkan World Cup. Dapat dimengerti karena Brasil telah menjadi idola anak bangsa di bawah kolong langit.
Jogo bonito putra-putri Amazone telah membuat banyak insan jatuh hati padanya. Prestasi juara empat kali dari lima kali masuk final serta komitmen yang luar biasa pada sepakbola indah sekaligus menyerang, memahat nama Samba begitu anggun di kalbu anak-anak dunia. Brasil adalah primadona. Dan psikologi primadona biasanya tanpa cacat. Untuk mereka yang kita idolakan, hanya boleh sisi baik yang tampil. Yang tega menistakan,jangan coba-coba mendekat.
***
TIM Brasil 1998 memang sangat siap meraih juara kelima sekaligus mempertahankan mitos cuma Brasil, tim Amerika yang juara di Eropa seperti tahun 1958 di Swedia. Meski sempat takluk 1-2 melawan Norwegia di penyisihan grup A dan gawang Taffarel kebobolan tujuh kali sejak 10 Juni 1998, pasukan Zagallo cukup sempurna dan satu kelas di atas Perancis. Kematangan dan kekompakan tim, keterampilan individu pemain serta mental juara juga lebih teruji. Sepertinya hanya nasib yang dapat mengalahkan Samba 98.
Namun, bola itu bundar dan perang di St. Dennis belum berakhir, sehingga sangat tidak adil jika mengabaikan sama sekali kekuatan Perancis. Ibarat pepatah, "Tak ada gading yang tak retak", Brasil 98 juga memiliki keterbatasan. Kebobolan tujuh gol adalah cermin betapa rapuhnya pertahanan Samba. Bandingkan dengan gawang Fabien Barthez yang cuma kemasukan dua gol sampai babak semifinal. Kebiasaan Cafu dan Roberto Carlos yang ikut menyerang lewat sayap mengandung titik lemah. Lewat posisi inilah, Brasil akan diobrak-abrik gelandang berdaya jelajah tinggi seperti Zidane, Djorkaeff dan Petit. Striker tim Les Bleus seperti Henry dan Trezeguet juga bisa lebih bebas karena hanya menghadapi dua pilar, Aldair dan Junior Baiano yang disiplin menjaga wilayahnya.
Persoalan Perancis yang akan memilih formasi 4-3-2-1 hanyalah kemandulan lini depan yang masih memusingkan Aime Jacquet sampai hari ini. Jika kecolongan gol terlebih dahulu, sulit bagi Perancis membalas karena pemain Brasil umumnya sama bagus saat menyerang maupun bertahan. Tetapi jangan lupa, tim "Ayam Jantan" punya gelandang dan pemain belakang yang piawai mencetak gol. Gol emas Laurent Blanc ke gawang Paraguay dan dua gol fantastis Lilian Thuram yang mengubur ambisi Kroasia merupakan masukan bagi Zagalo untuk mengawasi aksi penyusunan mendadak dari belakang. Boleh jadi, Henry dan Trezeguet sekadar pengganggu Aldair, Cafu, Baiano dan Carlos. Pada waktunya Djorkaeff dan Zidane berperan menjadi algojo. Atau Petit, Lizararu dan Thuram yang memiliki tendangan voli cukup baik dari second line.
Tanpa Blanc yang terhukum kartu merah, lini belakang Perancis akan sedikit goyah meski ada Franck Lebouef. Desailly, Thuram dan Lizararu harus ekstra membendung laju Ronaldo, Bebeto, Rivaldo, Leonardo, Denilson dan Sampaio yang makin kompak kerja samanya. Tapi kelemahan lain Brasil yang akan main dalam pola 4-4-2 adalah kurang ngotot jika sudah unggul. Ini berbahaya karena tuan rumah yang underdog itu akan menyerang total untuk membalas.
Dukungan penonton pasti ikut menaikkan moral Perancis, meski yang mereka hadapi juara bertahan. Dalam suasana bahagia karena pertama kalinya masuk final, nasionalisme yang pernah ditanamkan Napoleon Bonaparte akan membakar hati pemain Perancis bermain sekuat mungkin demi kejayaan bangsa. Dan sejarah telah memberi bukti, dalam nyala api nasionalisme, sebuah tim underdog dapat menumbangkan raksasa. Jadi, berhati-hatilah Brasil. Bukan muskil dan mohon maaf jika Anda terpaksa lengser dari tampuk kekuasaan tertinggi.
Pertemuan kedelapan antara tim Amerika vs Eropa malam nanti belum tentu untuk kemenangan Samba. Seluruh anak Eropa, meski mungkin cuma diam-diam dalam hatinya, mendambakan Perancis menegakkan kehormatan benua mereka. Siapa tahu Perancis keluar sebagai juara baru dan akan menjadi berita paling heboh di ujung France 98. Jika Brasil yang menang, dunia toh hanya sekadar berkata: "Ah, itu kan sudah kami duga sebelumnya". **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 12 Juli 1998. Artikel ini dibuat menjelang pertandingan final Piala Dunia 1998 antara tuan rumah Perancis melawan juara bertahan, Brasil tanggal 12 Juni 1998.