INDONESIA gagal melangkah ke babak semifinal turnamen sepakbola Piala Dunhil di Kuala Lumpur. Bergabung di Grup B bersama Bosnia, Zimbabwe dan Vietnam --tim nasional kita hanya menempati urutan ketiga dengan nilai empat, hasil sekali menang, satu kali seri dan kalah sekali dari Bosnia. Dari kawasan ASEAN, hanya tuan rumah Malaysia yang sukses menapak sampai babak empat besar mendampingi Cina, Bosnia dan Zimbabwe.
Malaysia yang memendam ambisi besar dalam event ini ternyata menyerah 0-1 pada Bosnia, Jumat malam (28/2/1997). Demikian pula dengan jagoan Afrika, Zimbabwe yang kalah 1-3 dari tim 'kuning' Cina. Seperti ramalan banyak pengamat, Cina dan Bosnia akhirnya bertemu di partai puncak yang digelar malam ini, Minggu (2/3/1997). Kedua tim ini sama-sama berpeluang meraih juara dan hadiah uang 100.000 dolar AS atau Rp 237 juta.
Kegagalan tim nasional Indonesia tidak mengejutkan. Jauh-jauh hari masyarakat pecinta sepakbola di Tanah Air memastikan PSSI akan sulit bersaing dengan negara-negara seperti Bosnia, Cina atau Zimbabwe. Dengan Vietnam dan Malaysia saja tim nasional kita harus bekerja keras.
Namun, lupakanlah kegagalan itu karena sejak awal PSSI memang tidak memasang target di Piala Dunhill 1997. Target besar PSSI adalah pra Piala Dunia 1998 dan SEA Games XIX bulan Oktober mendatang di Jakarta. Di Piala Dunhill tidak menjadi juru kunci Grup B saja sudah prestasi terbaik Sudirman dkk. Sukses mengalahkan Vietnam yang mempermalukan PSSI di SEA Games di Chiang Mai 1995 dan Piala Tiger 1996 serta keberhasilan menahan Zimbabwe 0-0 adalah persembahan maksimal pasukan Danurwindo. Bila PSSI kalah melulu, itu baru namanya bencana!
***
SEBAGAI bangsa yang besar dengan jumlah penduduk sudah 200 juta jiwa - masyarakat bola Indonesia kerapkali kurang arif dalam bersikap. Harapan yang kita patok selalu berlebihan. Padahal, siapapun menyadari tim nasional sepakbola yang bagus harus lahir dari kompetisi yang baik. Prestasi sebuah tim nasional adalah cermin organisasi yang sehat, manajemen sepakbola yang profesional serta dukungan sumber daya manusia yang andal.
Jika merefleksi keadaan kita, harus ada kebesaran jiwa untuk mengakui bahwa organisasi PSSI masih penuh bopeng, ada luka-luka yang mesti disembuhkan. Kompetisi Liga Indonesia yang kini memasuki tahun ketiga - belum banyak memberi harapan sebagai 'universitas sepakbola nasional'.
Karena itu kita harus realistis dalam menyoal keberadaan tim nasional. Jangan sampai terjebak melihat PSSI dengan kacamata tim nasional negara-negara Eropa, Afrika atau Amerika Selatan. Jangan sampai Anda menatap PSSI memakai ukuran kompetisi Liga Italia, Inggris, Belanda atau negara maju Asia seperti Korea, Cina dan Jepang. Cara melirik semacam itu, suatu kesalahan besar.
Dalam bingkai sederhana, kita boleh berbangga dengan prestasi Danurwindo, bahagia dengan apa yang telah dipersembahkan tim nasional sejak Piala Asia bulan Desember 1996 hingga Piala Dunhill 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Danur adalah figur pelatih dengan filosofi dan impian besar. Dia berani meracik sumber daya pemain Indonesia yang serba terbatas kemampuannya dalam satu tim yang sangat visioner, sangat concern dengan tuntutan sepakbola modern.
Danur menghayati filosofi bola yang mengutamakan kerja sama ketimbang kehebatan seseorang di lapangan. Menurut Danur, semua pemain harus bisa menyerang dan bertahan sama bagusnya karena kekompakan adalah harga mutlak.
Sepakbola modern - mengacu pada fenomena Piala Dunia 1994 di AS dan Piala Eropa 1996 di Inggris - mewajibkan suatu tim harus mampu memanfaatkan setiap ruang di lapangan. Hal ini menuntut pemain menggunakan otak dan instuisinya saat meramu kerja sama antarzona. Jika ia kehilangan bola, secepat mungkin mencari posisi bertahan dan melihat celah dalam wilayah pertahanan lawan. Untuk maksud inilah Danur tidak memanggil pemain dengan tipe striker murni semacam Peri Sandria dan Kurniawan Dwi Yulianto dari Pelita Jaya, meski keduanya tergolong pemain bintang Indonesia.
Kelemahan, untuk tidak mengatakan kegagalan Danur ialah ia belum optimal memberdayakan sumber daya pemain, terutama menciptakan feeling ball di antara mereka. Penampilan PSSI melawan Vietnam, Zimbabwe dan Bosnia cukup memberi gambaran akan kekurangan sisi itu. Kerap terjadi salah paham dan umpan-umpan tidak akurat. Meski kondisi lapangan becek di Kuala Lumpur ikut memperburuk keadaan, hal ini tak laik menjadi kambing hitam.
Mengoptimalkan keterampilan pemain butuh proses dan waktu. Danur baru dua tahun menangani tim nasional. Bila Beckenbauer harus menanti empat tahun untuk membawa Jerman menjuarai Piala Dunia 1990 dan Arrigo Sacchi tak memberi satu gelar pun bagi tim Azzuri selama lima tahun di kursi empuk pelatih tim Italia - pantaskah kita menghukum Danur sudah gagal, Azwar Anas kehilangan muka dan PSSI cuma jalan-jalan di tempat? Jangan bicara bola secara parokial. **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Minggu, 2 Maret 1997. Artikel ini dibuat setelah Indonesia gagal melangkah ke semifinal turnamen Piala Dunhil di Kuala Lumpur, Malaysia