Juara Kampung yang Tidak Kampungan

 ENDE, kota tua bersejarah, kota di Pusat Nusa Bunga, kota pelabuhan terbesar di selatan Pulau Flores hari-hari ini tampil genit. Laksana gadis montok yang memasuki puber pertama, Ende sibuk merias diri. Bak perawan yang mulai tahu makna asmara, Ende lincah sekaligus resah menyongsong datangnya 266 kumbang dari 14 daerah Flobamora.    Perse, lapangan bopeng di pusat kota kini marak dengan umbul dan bendera, telah tumbuh rumput-rumput halus dan tak ada lagi kelikir dan pasir. Juga tak ada lagi kambing jantan dan betina bekeliaran bebas di sana seperti hari-hari silam. Lapangan Perse sudah siap menjadi arena perang peserta El Tari Memorial Cup 1999. Pesta akbar sepakbola NTT di ujung abad ke-20 di awal milenium baru.
   
Stadion Marilonga di sisi barat Kali Wolowona pun tampak anggun. Stadion (mini) satu-satunya itu terlihat lebih cakep dari penampilan yang lalu setelah sisi-sisinya yang lusuh diberi sedikit sentuhan. Ada kesan tergesa-gesa menyimak posturnya, namun baguslah buat ata (orang) Ende Lio Sare yang seperti sesamanya di bagian lain negeri ini- belum sepenuhnya pulih dari krisis multi dimensi.

    Dua lapangan siap pakai adalah syarat minimal yang mesti dipenuhi guna menggelar kejuaraan sepakbola sekelas El Tari Memorial, turnamen paling tua dan telah melegenda bagi rakyat NTT. Dan Ende setidaknya telah menyediakan sarana tersebut dengan segala keterbatasan dan kelebihannya. Kelebihan Stadion Marilonga, penonton bisa masuk tertib dan teratur, namun kurang leluasa menghirup udara segar. Menghirup udara segar selebar paru-paru ada di Lapangan Perse. Cuma bagi pemain, petugas keamanan pun panitia, awasilah penggila bola yang senang menonton, tapi kurang suka membayar tiket masuk.

***
    UNTUK apa Pengda PSSI NTT menggelar agenda dua tahunan ini? Dan untuk apa Pemda dan masyarakat Kabupaten Ende bersibuk-ria menguras otak dan tenaga menjadi penyelenggara? Bukankah sepakbola NTT tak pernah berjalan ke depan? Bukankah sepakbola Flobamora cuma senang jalan-jalan di tempat? Lolos ke PON pun begitu sulit. Tahun ini malah batal ikut Pra PON XV tahun 2000 karena alasan macam-macam, cenderung klasik. Juara El Tari Memorial Cup 1997, PSN Ngada, toh cuma bangga sebagai juara kampung sendiri, cuma riang menyimpan piala di kota dingin Bajawa selama dua tahun terakhir. Sepanjang sejarah El Tari Memorial Cup sejak 1969, tim juara belum sekalipun bisa berbicara di pentas nasional. NTT kemudian menjadi begitu terpencil, terasing dalam jagat persepakbolaan Indonesia.

    Dan bukankah Kabupaten Ende melalui Perse (Persatuan Sepakbola Ende) tak sekalipun meraih hasil terbaik di ajang kompentisi ini? Perse bukan tim bermental juara. Perse begitu mudah kandas, meskipun beberapa langkah lagi ia menggapai puncak. Cukup sering anak-anak Ende Lio lebih lihai merangkai kata-kata indah ketimbang piawai memainkan bola di kaki mereka. Tetapi lupakan semua itu, karena benang kusutnya tak sanggup dituntaskan dalam sehari! Kita salut kepada pengurus Pengda PSSI NTT yang setia menggelar agenda dua tahunan. Kita bangga pada Ende yang baru pertama kali berusaha menjadi tuan rumah yang baik dari kejuaraan ini.

    Bagi 3,5 juta jiwa rakyat NTT yang saya percaya sekitar 75 persen  merupakan penggila bola, Kejuaraan El Tari Memorial Cup tak sekadar indikator prestasi daerahnya. Kejuaraan  ini - sebagaimana digagas  "Bapak NTT" El Tari (alm), merupakan medium merekatkuatkan tali-tali emosi Flobamora, ajang mentautkan persahabatan dan persaudaraan, arena menjadikan putra-putri NTT tidak berpikir dan bertindak sebagai anak Alor, Lembata, Rote, Sabu, TImor, Flores atau Sumba. Lewat El Tari Memorial Cup mereka mesti bicara dalam langgam dan nada anak bangsa NTT melalui keterampilan kaki di lapangan hijau. Momentum ini menjadi penting karena kita (baca: NTT) baru saja mulai mengobati beragam krisis, baru berusaha merajut lagi persaudaraan yang sempat terkoyak, di antaranya, setelah insiden Minggu kelabu 8 Februari 1998 di Ende, tragedi Kamis berdarah 5 November 1998 di bumi Pada Eweta Sumba Barat, prahara Kupang di penghujung November setahun silam, perang tanding di beberapa tempat, gempuran belalang di Timur Sumba serta keletihan menjadi ayah dan ibu ratusan ribu pengungsi Lorosae.

Itu berarti, sekalipun turnamen ini cuma berujung "juara kampung NTT' karena kepopulerannya toh sebatas teritori NTT, tapi tidak boleh bermental dan berwatak kampungan! Sebanyak 266 pemain dari 14 daerah tingkat II hendaknya benar-benar main bola, bukan main tangan di wajah atau lambung lawan, main kaki di leher dan pantat, main tanduk ke jantung atau perut sahabatnya. Itu berarti juga seorang penonton cukup duduk manis, tapi boleh menatap jalang, bukan main abu atau batu-batuan. Bolehlah bela tim daerahmu habis-habisan di Ende, kota dengan 70 ribu penduduk multi ras, karena kodrat kita adalah plural. Asalkan jangan lupa diri. Kita tidak mentabuhkan SARA, cuma salah mengurus SARA, petakalah yang kita panen. Kita semua akan susah dan rasanya kita sudah sangat letih dan penat karena salah urus itu.

Dalam bahasa olahraga, mari kita junjung fair play sekalipun kita hanya bermain bola di Kampung Ende, bukan Wembley, tanah leluhur sepakbola. Sebab untuk bermain bola yang baik, kita tidak harus menjadi Ronaldo, Gabriel Omar Batistuta, Alessandro del Piero atau Roberto Baggio. Dengan nama semisalnya Robert Rega, Aleks Pera atau Gabriel Dala, sahabat saya itu pun, kita bisa bermain bola sesuai standar global. Karena rule of the game sepakbola berlaku sama di Pulau Ende, Pulau Pura dan Pulau Sisilia, di Besikama, dan Brussel, Raijua pun di Rio de Janeiro, Brasilia.

Sanggupkah El Tari Memorial Cup 1999 di Ende menghasilkan juara kampung yang tidak kampungan? Mimpi saya semalam berkata bisa, cuma kita tunggu bersama realitas sepanjang 25 November 5 Desember 1999. Selamat datang para seniman kulit bundar dari 14 kabupaten. Datanglah cepat ke kampung ine ame, weta dan eja. Semilir angin dari Puncak Gunung Ia, Meja, Kengo dan Wongge, riak manja buih ombak di Pantai Nanganesa dan Nangaba sudah menanti tak sabar kehadiran Anda, mari bertanding di Bumi Tiga Warna.  **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 20 November 1999.  Artikel ini dibuat menjelang kejuaraan sepakbola El Tari Memorial Cup di Ende tanggal 25 November  hingga  7  Desember 1999. Kejuaraan yang berlangsung sejak tahun 1969 ini tergolong paling akbar di Propinsi NTT.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes