KKN di Piala Dunia

NASIB, kalau sungguh ada, sangat kejam terhadap dua singa Afrika,  Maroko dan Kamerun yang tersingkir dari France 98 secara menyakitkan. Nasib jika memang suatu kehendak sejarah, amat tak bersahabat dengan goyang Samba yang tertekuk lutut untuk kedua kalinya pada Norwegia hanya dalam tenggang waktu sembilan bulan.

    Maroko menang telak 3-0 atas Skotlandia, meraih nilai 4, tetapi gagal mewakili grup A karena Norwegia menerima "hadiah" penalti dari wasit asal AS, Esfandiar Baharmast untuk pelanggaran yang kurang masuk akal dari Junior Baiano terhadap Tore Andre Flo pada menit ke-89. Kjetil Rekdal menjadi algojo dan gawang Taffarel pun bobol untuk skor 2-1 bagi tim Egil Olsen. Hasil obyektif seharusnya Brasil-Norwegia seri 1-1 dan Maroko layak ke 16 besar.

    Dan Kamerun, jika wasit Hongaria Laszlo Vager bertindak bijak mestinya gol Francois Oman Biyik pada menit ke-58 ke gawang Chili tak patut dianulir dan Kamerun berhak menang 2-1. Kamerun yang bermain cantik dan agresif meski dengan sembilan pemain, harus menerima hasil 1-1 sekaligus meloloskan Ivan Zamorano dkk ke perdelapanfinal (sukses pertama Chili sejak 1962).

    Keputusan wasit Baharmast dan Vager yang memimpin pertandingan akhir grup A dan B mendapat reaksi keras. Reaksi yang intinya menyembulkan rasa tidak puas itu, bukan karena Maroko dan Kamerun gagal ke 16 besar, tetapi lebih pada keputusan yang dianggap menodai semangat fair play yang dicanangkan FIFA. Keputusan kontroversial dua wasit itupun melahirkan pertanyaan, benarkah di France 98 tidak ada virus KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) sebagaimana sedang diganyang kaum reformis Indonesia?

    Tidak mudah menjawab ya atau tidak, tetapi dari negeri tulip Belanda, mantan bintang Marco van Basten yang jadi komentator televisi menilai keputusan wasit AS yang memberikan sanksi penalti untuk Brasil pada menit terakhir babak kedua itu salah. Menurut Basten seperti dikutip Antara, jatuhnya Flo bukan karena tekanan tangan atau dorongan dari Baiano, melainkan karena kurang seimbangnya posisi badan striker Norwegia itu. Atau mungkin ia sengaja jatuh agar dilihat wasit sebagai suatu pelanggaran.

    Gelandang Brasil, Leonardo berkomentar, “Saya tidak melihat adanya insiden dan saya kasihan pada Maroko.” Dalam tayangan ulang televisi  terlihat jelas Baiano tidak melakukan pelanggaran terhadap Flo. Tapi mau bilang apa, palu wasit sudah dijatuhkan dan Brasil kalah. Sebelumnya, Brasil dicukur Norwegia 4-2 dalam duel persahabatan di Oslo bulan Oktober 1997. Kendati kekalahan juara dunia itu tidak menggoyahkan posisinya sebagai juara grup A yang akan bertemu runner-up grup B, Chili di babak 16 besar, namun perasaan kesal penggemar Samba tentunya tak kan sirna begitu saja.

Pelatih Brasil, Mario Zagallo yang pekan lalu sempat disindir Egil Olsen kecewa berat. Zagallo pantas kesal karena Norwegia mempraktekkan sepakbola negatif dengan melakukan pertahanan total dalam formasi 6-3-1. Akibatnya keindahan goyang Samba hilang dan pertandingan menjadi sangat membosankan untuk ditonton.

Pertandingan menarik justru ditampilkan Kamerun. Secara tim maupun kualitas per individu, anak-anak hitam asuhan Claude Le Roy itu lebih baik ketimbang Chili. Kalau bukan karena gol indah Jose Sierra dari tendangan bola mati, Chili mungkin tersingkir karena jarang mendapat peluang emas dalam 2x45 menit. Sebaliknya Kamerun memainkan sepakbola menyerang yang fantastik meski dua pemainnya Rigobert Song dan Lavriano Etame telah diusir wasit pada awal babak kedua. Kiper Tapia harus jatuh bangun mengamankan gawangnya dari gempuran Biyik, Mboma, Mahouve dan Olembe. Bila bernasib mujur, Kamerun bisa unggul lebih dari skor 2-1.

Ketika Biyik mengoyak gayang Tapia di menit ke-58, Kamerun seolah berada di ambang kejayaan. Sayang sekali, gol itu dibatalkan wasit. “Jika Presiden FIFA Sepp Blatter melihat, ia seharusnya tahu kami tidak bisa mengerti kenapa gol kedua kami itu dianulir,” kata Le Roy kepada Reuter.

Gol itu dianulir karena pelanggaran oleh Mboma saat menyundul bola sebelum Oman Biyik meneruskannya ke gawang Chili, namun dalam tayangan ulang terlihat keputusan itu berlebihan. Menjelang injury time, Biyik sekali lagi menusuk cepat ke kotak pinalti dan siap menembak.
Tiba-tiba hakim garis mengangkat bendera tanda offside yang sesungguhnya tidak karena posisi Biyik masih sejajar dengan dua pemain belakang Chili. Terhadap keputusan itu, Biyik yang bersama Roger Milla cs mempermalukan Argentina di Piala Dunia 1990 tampak murung. Seandainya Biyik pemain PSSI, dia bergumam lembut, mungkinkah semua ini gara-gara virus “KKN” dalam tubuh para wasit? Yah, KKN memang dapat terjadi kapan pun, di mana saja dan oleh siapa pun, termasuk mereka yang mengurus si kulit bundar itu. *

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Kamis, 25 Juni 1998. Artikel ini mengupas sejumlah kejadian selama babak penyisihan grup Piala Dunia 1998 di Perancis
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes