KIPER Paraguay, Jose Luis Chilavert berusaha menahan tangis, tetapi tetesan air bening itu akhirnya mengalir juga di pipinya yang kokoh. Matanya sembab dan merah. Sebagai kapten tim dan pemain paling senior, ia memeluk dan berusaha menghibur rekannya satu demi satu. Namun, tangisan mereka tak terbendung. Paraguay gagal ke perempatfinal saat pertandingan tinggal enam menit. Gol emas Laurent Blanc menghapus kerja keras selama 114 menit. Inilah episode drama paling tragis di France 98!
Apa boleh buat, Perancis memang pantas menang. Bukan semata karena mereka tuan rumah, tapi perjuangan Didier Deschamps dkk sudah maksimal meskipun selama babak pertama membosankan. Bila adu penalti impian pelatih Carpegiani tercapai, Paraguay bakal jadi pemenang karena "Ayam Jantan" sudah tak sanggup lagi berkokok karena staminanya nyaris habis dipermainkan sepakbola defensif Paraguay selama babak kedua. Kemenangan dramatis atas Paraguay membuat Paris lebur dalam sukacita, sekalipun di delapan besar sudah menanti Italia yang juga berambisi memenangkan France 98.
Dan Nigeria menghirup kopi paling pahit akibat sikap menganggap remeh lawan serta rasa percaya diri berlebihan. Saat dunia begitu memuja, menjagokan bahkan berani berjudi untuk menenangan mereka, Elang Super malah keok di patuk mati tim Dinamit 4-1. Kanu cs lupa bahwa sesuai kharakter aslinya, dinamit selalu meledak tiba-tiba. Kini tak ada lagi wakil Afrika (simbol kekuatan negara Dunia III). Piala Dunia 98 cuma milik Eropa dan Amerika.
***
MALAM ini, Selasa (30/6/1998) waktu Perancis atau Rabu dini hari Wita (1/7/1998), Argentina berjuang untuk dua kehormatan sekaligus. Mempertahankan mahkota tim Tango dan kebesaran "Tahta Latin". Dengan gugurnya Chili dan Paraguay, bendera Amerika Latia bersandar penuh pada Argentina dan Brasil. Tim Samba sudah melangkah pasti untuk bertemu Denmark di Nantes 4 Juli nanti. Apakah tim Passarela dapat mengurangi satu wakil Eropa di delapan besar agar Brasil tidak mengalami nasib serupa USA 1994 yang dikepung tujuh raksasa Eropa?
Syaratnya sangat berat bagi Argentina karena Batistuta dkk harus mengalahkan Inggris. Pertemuan Inggris-Argentina merupakan duel klasik di Piala Dunia yang sarat dendam kesumat. Dendam itu telah tertanam sejak World Cup Chile 1962 ketika Inggris mencukur Argentina 3-1 dalam penyisihan grup 4. Sewaktu Argentina tumbang di Chili, Diego Armando Maradona baru berusia 2 tahun. Saat Maradona berumur 6 tahun, Inggris kembali mempermalukan Argentina di Wembley dengan skor 1-0 di babak perempatfinal. Inggris terus melaju hingga merengut mahkota juara Piala Dunia 1966.
Dua puluh tahun kemudian, Argentina berjumpa lagi dengan Inggris di Meksiko 1986. Nasionalisme membakar dada Maradona dan untuk itu ia mau berbuat apa saja. Kontroversi paling menyakitkan Inggris sampai detik ini ialah gol "Tangan Tuhan" Maradona di perempatfinal. Publik Inggris kecewa dan mencibir: "Untuk mengalahkan Inggris, Argentina bahkan harus menyogok tangan Tuhan". Tapi dunia tetap mengakui indahnya gol kedua ke gawang Peter Shilton untuk keunggulan tim Tango 2-1. Maradona beraksi dengan melewati lima pemain sekaligus. Dari lapangan tengah, Diego memperdayai Beardsley, Peter Reid dan Terry Butcher. Terry Fenwick coba mentekel di kotak penalti, tapi Diego lebih cepat sepersepuluh detik untuk menaklukkan Shilton. Di semifinal, Maradona memborong dua gol ke gawang Belgia. Dan di grandfinal umpan Diego kepada Claudio Caniggia melumat Rummenigge dkk 3-2. Jerman remuk-redam, Argentina merebut juara dunia kedua kalinya.
Tahun 1986 Argentina dipuja manusia seantero jagat. Terlebih Diego, ia dinobatkan sebagai dewa yang memiliki bakat lima seniman bola terbesar dalam sejarah sepakbola modern. Pemain kelahiran 30 Oktober 1960 ini disebut "dewa" karena mampu mengutak-atik bola seperti Pele, menguasai lapangan tengah selevel Cruyff, berkelit bagaikan Geogre Best, tembakan kakinya laksana Puskas dan umpan-umpannya amat matang bagaikan Beckenbauer.
Tahun 1998 ini - Argentina tak lagi didampingi sang dewa yang bermain untuk tim nasional selama 16 tahun sejak Piala Dunia 1978 dan berakhir tragis gara-gara skandal doping di USA 1994. Meski mundurnya Maradona seturut hukum alam, Pasarella hari ini toh wajib menjawab cibiran bangsa Britania 1986. Argentina mesti menang dengan kaki, bukan "Tangan Tuhan". Sanggupkan Ortega yang mirip Maradona menjalani ujian berat ini? Apakah "Batigol" bisa mencabik gawang Seaman tanpa "menyogok Tuhan" untuk kedua kalinya?
Dari sisi kualitas individu dan kerja sama tim, Argentina 1998 yang tak terkalahkan selama penyisihan seyogianya dapat melakukannya. Karakter Tango dalam tim Pasarella sudah teruji keampuhannya. Tapi jangan lupa bahwa moral tim Inggris sedang menanjak setelah menaklukkan Kolombia 2-0 dalam pertandingan akhir grup G. Pasukan Hoddle juga telah menemukan lagi kepercayaan dirinya. Dalam suasana batin seperti itu, Inggris dapat menaklukkan siapa saja, termasuk musuh besarnya Argentina. *
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Selasa, 30 Juni 1998. Artikel ini dibuat menjelang partai klasik antara Inggris melawan Argentina di babak perdelapanfinal Piala Dunia 1998. Kedua tim bermain ketat dengan hasil seri 2-2 hingga masa perpanjangan waktu. Argentina lolos ke perempatfinal berkat kemenangan 4-3 dalam adu penalti.