Menghapus Air Mata Jules

INGGRIS boleh menepuk dada sebagai tanah air sepakbola, tetapi dunia tak mungkin melupakan Jules Rimet, anak Perancis yang bekerja amat keras untuk menata organisasi Federasi Sepakbiola Internasional (FIFA) sejak awal berdirinya hingga menjadikan cabang olahraga sepakbola berkembang pesat sampai hari ini. Hampir seumur hidupnya Jules Rimet membaktikan diri untuk sepakbola, sehingga namanya sempat diabadikan menjadi tropi resmi Piala dunia selama tahun 1946-1970.     Tahun 1970 bertepatan dengan sukses Brasil memenangkan Piala Dunia untuk ketiga kalinya, Piala Jules Rimet menjadi milik tim Samba selamanya. Maka pada Piala dunia 1974, saat FIFA dipimpin Joao Havelange, piala resmi berubah menjadi Piala Dunia FIFA hingga saat ini.

    Di bawah kepemimpinan Jules Rimet (1930-1950), kejuaraan sepakbola Piala Dunia berjalan baik. Bahkan dialah tokoh utama yang sukses menggelar Piala Dunia pertama tahun 1930 di Uruguay, meskipun masih bersifat invitasi (undangan). Reputasi Jules Rimet memimpin FIFA hanya dinodai Perang Dunia II yang membatalkan putaran final Piala Dunia 1942 dan 1946. Usai perang, Jules Rimet menata kembali FIFA dan menggelar kejuaraan Piala Dunia tahun 1950. Dan pada tahun 1954, jabatan presiden FIFA diserahkan Jules Rimet kepada Rodolphe W. Seeldrayers dari Belgia.

***

    SETIAP kali mengenang  nama Jules Rimet, hati anak-anak Perancis selalu merasa teriris karena karya besar dan idealisme beliau belum terealisir sampai detik ini. Pada suatu kesempatan di tahun 1932, Jules Rimet mengutarakan kerinduannya agar Perancis memenangkan Piala Dunia. Kerinduan ini hampir terwujud saat Perancis menjadi tuan rumah Piala Dunia 1938. Jules Rimet begitu bangga ketika atim "Ayam Jantan" mengawali babak penyisihan dengan sukses dan melaju ke putaran perdelapanfinal.

    Di babak ini Perancis mengalahkan Belgia 3-1. Namun di perempatfinal, tuan rumah takluk 1-3 dari juara bertahan Italia yang akhirnya menjuarai Piala Dunia 1938 dengan mengalahkan Hungaria di final. Jules Rimet menangis karena cita-citanya tak kesampaian. Pada Piala Dunia Brasil tahun 1950, Perancis malah tidak lolos kualifikasi. Jules Rimet sangat terpukul. Dia yang begitu total menyerahkan hidupnya demi FIFA dan bola, tidak pernah menyaksikan tim Perancis menjadi juara dunia.

    Jika Jules Rimet masih ada, maka dialah makhluk paling sedih di bumi karena sampai FIFA memasuki usia ke-68 tahun, Perancis nyatanya belum pernah juara. Masuk grandfinal pun belum sama sekali. Roh Jules Rimet seolah-olah sekadar peletak dasar organisasi FIFA yang kokoh, bukan untuk kejayaan tim Perancis. Sejauh in prestasi terbaik negeri mode itu hanya sampai semifinal Piala Dunia 1958, 1982 dan 1986. Tahun 1958, Perancis dikalahkan Brasil 5-2. Tiga gol Brasil saat itu dicetak sang maestro, Pele. Di semifinal Piala Dunia 1982, Perancis dikalahkan Jerman 5-4 lewat adu penalti setelah bermain seri 3-3. Dan tahun 1986 pada masa keemasan Michel Platini, Alain Giresse, Luis Fernadez dan Jean Tigana, Perancis lagi-lagi dicukur Jerman 2-0.

    Tahun 1998 merupakan keempat kalinya Perancis masuk semifinal, suatu prestasi besar di depan publik sendiri. Artinya tinggal  selangkah lagi "Ayam Jantan" dapat mewujudkan mimpi Jules Rimet. Ibarat mendaki gunung Himalaya di bumi Hindustan, tinggal dua etape lagi Perancis dapat mengibarkan bendera di puncak tertinggi dunia. Memang bukan pekerjaan mudah bagi Didier Deshamps dkk karena mendekati puncak, jalan yang dilewati biasanya kian curam, terjal dan berisiko tinggi. Salah melangkah, berakibat fatal dan bisa dijemput maut secara tiba-tiba. Kroasia sudah menunjukkan taringnya tidak sekadar tim "Kuda Hitam" dari Balkan, tetapi salah satu tim terbaik France 98.

    Sukses mengubur Rumania 1-0 dan juara dunia tiga kali, Jerman 3-0, adalah bukti kuat betapa kejamnya pasukan Miroslav Blazevic. Mereka tak pandang bulu dan tak gentar menghadapi nama besar lawan meskipun baru pertama terjun di Piala Dunia. Dengan semangat "demi kejayaan bangsa" yang baru pulih dari perang yang memisahkan mereka dari Yugoslavia, tim Kroasia  adalah petualang sejati. Zvonimir Boban cs akan bermain tanpa beban. Jika sampai kalah sekalipun, anak-anak Kroasia tidak akan merasa kehilangan dan malu. Dunia toh akan berkata, "Bisa dimengerti karena mereka masih muda. Jam terbang belum sebanding tim Perancis".

    Rabu malam 8 Juli 1998 di St. Dennis, Kroasia akan tampil menyerang dalam pola 3-5-2. Dengan lima gelandang (Zvonimir Soldo, Asanovic, Zvonimir Boban (kapten), Stanic dan Jurcic), kekuatan Kroasia ada di sini. Akan berat bagi trio Perancis Didier Deshamps (kapten), Djorkaeff dan Zidane. Pelatih Aime Jacquet boleh jadi mengubah formasi 4-2-3-1 menjadi 4-4-2 untuk mengimbangi lawan dengan memainkan Petit agak di tengah. Pilar belakang Lizarazu, Blanc, Desaily dan Thuram juga harus bekerja keras dan disiplin menahan laju Davor Suker dan Goran Vlaovic. Di lini depan, Jacquet tak akan berpaling dari Henry dan Trezeguet/Duggary. Masalahnya, sejauh ini tombak Perancis tergolong mandul dan dua kali harus bermain 120 menit - melawan Paraguay dan Italia.

    Namun, Perancis patut diunggulkan karena moral tim dan mutu pemainnya lebih baik di tiap lini. Dukungan penonton juga merupakan nilai lebih. Jika tampil seperti sebelumnya, Perancis akan ke final sekaligus menebus rindu Jules Rimet sejak 60 tahun silam. Tapi pada tempat pertama, "Ayam Jago" harus mengaahkan dirinya terlebih dahulu. Perancis hendaknya tidak "berkokok" sebelum peluit akhir, ternoda sindrom demam panggung atau merasa rendah diri karena trauma tiga kali gagal sebagai semifinalis. **

Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Rabu, 8 Juli 1998. Artikel ini ditulis menjelang pertandingan semifinal Piala Dunia 1998 antara tuan rumah Perancis melawan Kroasia. Perancis maju ke final setelah mengalahkan Kroasia 2-1.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes