ilustrasi |
"Sekarang kalau mau ke pantai di wilayah Pasir Panjang dan Kelapa Lima, kita harus inap di hotel atau makan di restoran dulu baru bisa main-main di pantai," ujar Dyathra kepada Pos Kupang, Senin (8/2/2016) lalu. Gadis yang pernah menjalani peran sebagai Duta Wisata NTT 2012 dan Puteri Indonesia Kepulauan Bali Nusra 2014 ini menyatakan, pemerintah memang sudah menyediakan akses jalan ke pantai di belakang hotel. Namun, untuk menikmati area itu lebih leluasa hanya pada pagi hari. Artinya, waktu bagi masyarakat umum terbatas.
Demikian salah satu dampak langsung dari penerapan tata ruang di ibukota provinsi ini. Kiranya bukan Dyathra saja yang mengalami pengalaman serupa. Tumbuhnya hotel dan restoran di pesisir pantai Kelapa Lima dan Pasir Panjang dalam sepuluh tahun terakhir mengurangi akses bagi masyarakat umum menikmati kawasan pantai.
Poin yang mau kita garisbawahi di sini bukan soal salah atau benar membangun hotel dan restoran di pesisir pantai. Keberadaan hotel dan restoran tentu memberikan multi efek yang positif secara ekonomi.
Namun, tak kalah penting bagi kita adalah pembangunan fisik mestinya tetap memberi ruang publik bagi masyarakat umum. Pantai yang indah harus bisa dinikmati seluruh warga Kota Kupang bukan cuma bagi segelintir orang. Selain itu, wajah kota ini akan jauh lebih menawan bila pantai menjadi halaman depan atau teras rumah bukan sebaliknya. Yang terjadi di Kupang umumnya bangunan membelakangi pantai sekaligus menutup akses ke sana.
Mengapa bisa terjadi demikian? Boleh jadi benar seperti dikatakan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Kupang dan Tata Ruang Kota, Ir. Lay Djaranjoera. Menurut dia, perencanaan tata ruang baik Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Bangunan Lingkungan (RTBL) Kota Kupang sudah ada, tetapi hanya disimpan di dalam laci.
Menurutnya, ruang itu berkaitan dengan perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan. "Tiga aspek itu harus berjalan bersamaan. Tidak bisa membuat perencanaan lalu pemanfaatannya beda dan pengawasan tidak jalan. Dan, ini menjadi persoalan di Kota Kupang saat ini," kata Lay. Dia menilai pembangunan hotel dan restoran tidak terkendali. Pemerintah sepertinya memberikan izin kepada pengusaha yang hendak membangun di area mana saja.
Kita sudah bisa membayangkan bagaimana ujungnya bila rencana tata ruang hanya tersimpan di laci meja para birokrat. Rencana yang telah disusun sedemikian rupa akan sia-sia. Pembangunan fisik Kota Kupang akan berjalan tanpa kendali dan yang rugi lagi-lagi masyarakat umum. Pemimpin kota ini hendaknya segera buka mata dan bertindak cepat. Jangan diam dan masa bodoh.*
Sumber: Pos Kupang 13 Februari 2016 hal 1