Umbu Landu Paranggi |
Upacara kuru kudu dihadiri oleh pihak keluarga, pengurus Flobamora Bali, sastrawan dan budayawan yang juga murid-murid Umbu Landu Paranggi (ULP), acara berlangsung khidmat, di Taman Makam Mumbul, Nusa Dua, Badung, Bali, Senin 12 April 2021.
“Pak Umbu, berpuisilah dari ruang sunyi, karena aksara itu adalah aksara yang hidup yang bisa mempengaruhi dunia ini,” kata Umbu Rihimeha Anggung Praing, menantu Umbu Landu Paranggi saat menutup sambutannya dalam acara kuru kudu untuk ULP.
Kuru kudu merupakan sebuah upacara untuk peristirahatan sementara sebelum nantinya jenazah dikirim ke tanah kelahirannya, Sumba
“Ini merupakan tempat peristirahatan sementara, dan berarti Pak Umbu masih ada di sekitar kita, belum mengendarai kuda putih, kuda merah untuk sampai ke surga,” kata Rihimeha.
Ia pun mengenang, setamat kuliah S2, dirinya bertandang ke Lembah Pujian yang menjadi kediaman ULP. Di sana, ULP berkata padanya, bahwa S2 itu sudah banyak, tetapi S2 itu tergantung dari bacaannya.
“Pak Umbu berkata, ‘kau harus selalu ada di dalam ruang sunyi, sepi dalam keheningan.’ Saya waktu itu tidak mengerti karena bukan sastrawan dengan apa yang mertua saya katakan. Saya mencari di buku dan ketemu di buku Madam Teresa, tidak ada manusia yang menemui Tuhan dalam suasana hiruk-pikuk,” katanya.
Ia menambahkan, banyak nilai yang diberikan oleh Umbu kepadanya juga kepada murid-muridnya. “Karena itu, benang-benang nilai harus ditenun jadi selimut, karena nilai yang akan menutupi moral kita,” katanya.
Sebagai perwakilan dari pihak keluarga, ia berharap agar pandemi ini segera mereda, sehingga jenazah Umbu bisa dipulangkan ke tanah kelahirannya, Sumba.
“Ucapan terima kasih kami kepada Pemerintah Provinsi Bali, juga Kesultanan Jogja di mana Pak Umbu berkreativitas sehingga sampai pada jalan sunyi ini,” katanya.
Ketua Flobamora Bali, Yusdi Diaz berharap apa yang Umbu ajarkan secara sunyi senyap, tapi nyata bisa membuat bibit-bibit menjadi tumbuh subur.
“Beliau memberikan dirinya sebagai pupuk dan kita akan melihat kebangkitan sastra Indonesia. Semoga sang pejalan sunyi bisa diantarkan dari ruang sunyinya ke Sumba pada waktu yang disediakan Tuhan,” katanya.
Sementara istri Gubernur Bali, Putu Putri Suastini Koster yang juga murid Umbu mengatakan, Umbu tak hanya memberikan ilmu dalam bidang sastra, namun juga hal baik tentang kehidupan.
“Tanggungjawab kita yang merasa murid beliau, jangan bangga saja, tetapi kita petik apa yang sudah diberikan kepada kita adalah pelajaran tentang kehidupan. Kita petik jadikan pedoman ke depan,” katanya.
Meskipun Umbu lahir di tanah Sumba, namun ia memberikan lelaku baik ke tanah Bali, Jawa, bahkan beberapa tempat lain di Indonesia. Bahwa seorang Umbu, tak hanya melihat dengan mata secaranya nyata, namun juga dengan mata batin.
“Dalam kepolosan seni sastra, beliau tidak hanya guru sastra, juga guru kehidupan untuk kita. Itu membuat kita bangga dengan beliau,” katanya.
Dalam acara kuru kudu itu juga ada pembacaan puisi dari dua murid Umbu yakni Wayan Jengki Sunarta membawakan puisi Kata Kata Kata karya Umbu dan Kuda Puisi karya Jengki yang didedikasikan untuk Umbu dan pembacaan puisi dari Pranita Dewi dengan judul Sajak Kecil karya Umbu.
Umbu merupakan penyair besar Indonesia yang juga guru penyair yang lahir di Kananggar, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 10 Agustus 1943.
Dari tangannya telah lahir banyak penyair maupun sastrawan besar, sebut saja Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG. Ia meninggal di RS Bali Mandara pada usia 77 tahun, Selasa (6/4). (i putu supartika)
Sumber: Tribun Bali 13 April 2021 edisi print