NAMANYA Sara Carbonera. Cantik? Ya, pastilah! Carbonera adalah reporter stasiun televisi Telecinco. Usai pertandingan Spanyol melawan Swiss di Durban, Rabu (16/6/2010), Sara Carbonera dengan sangat meyakinkan mewawancarai kiper sekaligus kapten tim Spanyol, Iker Casillas.
Wawancara Carbonera dari Durban ditayangkan secara langsung ke Spanyol. "Itulah sepakbola. Kami telah bertanding dengan kemampuan terbaik, tapi lawan lebih beruntung malam ini dan kami kalah," kata Casillas. Fans La Furia Roja rupanya tidak puas dengan jawaban Casillas. Apapun alasannya kekalahan Spanyol 0-1 sungguh menyesakkan dada mereka. Tak terbayangkan tim juara Eropa 2008 dengan komposisi tim terbaik justru gagal meraih kemenangan penting pada laga perdana Grup H.
Gosip dan rumor pun berembus kencang di Spanyol. Sara Carbonera yang tidak lain adalah kekasih Iker Casillas dituduh sebagai biang kerok keruntuhan Spanyol. Sara Carbonera mulai menarik perhatian media Spanyol dan Eropa sejak dia berkencan dengan Casillas saat berlangsung Piala Konfederasi di Afrika Selatan tahun lalu. Ketika itu Spanyol keok 0-2 melawan Amerika Serikat (AS) di semifinal.
Bumbu gosip makin panas karena keikutsertaan pacar atau istri pemain bukan hal lazim di tim nasional Spanyol. Apalagi untuk event segenting Piala Eropa atau Piala Dunia. Maka kehadiran Carbonera di South Africa 2010 menimbulkan kontroversi dan perdebatan seru. Pendukung Spanyol menuduh konsentrasi Casillas buyar gara- gara keberadaan sang kekasih di sampingnya. Sara Carbonero dianggap gagal memberi peneguhan kepada kapten El Matador itu hingga timnya kalah.
Pada detik-detik akhir duel Spanyol vs Swiss Rabu lalu, lebih dari tiga kali kamera televisi menyorot wajah Carbonera di tribun stadion yang sedang gundah. Selama di Afrika, wanita berusia 25 tahun itu memang selalu dekat dengan Casillas.
Carbonera berang karena dituding seperti itu. Dia datang ke Afrika Selatan bukan untuk mendampingi Casillas melainkan demi tugas jurnalistiknya sebagai reporter Telecinco. "Saya menggangu tim? Itu omong-kosong. Apakah mereka (yang menuding) lupa menggunakan otak?" kata perempuan yang dinobatkan sebagai jurnalis terseksi di dunia dalam wawancara seperti dikutip Daily Mail.
Spanyol kalah, Sara Carbonera didamprat. Waw! Begitulah sepakbola. Penalaran kerap terabaikan. Lebih banyak orang menonjolkan rasa. Atau mengutip kata-kata Carbonera: Lupa otak. Terlalu sederhana menimpakan kegagalan Spanyol pada Carbonera. Jika memakai otak fans Spanyol tidak patut melakukan itu. Toh Spanyol belum kiamat. Masih ada dua pertandingan melawan Chili dan Honduras.
Kemungkinan lolos tetap terbuka kendati Swiss dan Chili sudah mendulang tiga poin, sementara Spanyol dan Honduras masih nol besar. Lihat saja Jerman yang perkasa menggilas Australia. Tadi malam justru menyerah 0-1 atas Serbia.
Lupa otak ketika memuja bola memang telah menelan korban sejak lama dan selalu terulang. Di Piala Dunia 2010 sekarang korban nyawa dan harta pun telah berjatuhan. Gara-gara rebutan remote control TV untuk menonton siaran langsung Piala Dunia 2010, David Makoeya (61) meregang nyawa.
Pria sepuh dari desa kecil di Makwea, Propinsi Limpopo, Afrika Selatan itu dipukul sampai mati oleh istri dan anaknya saat laga Jerman kontra Australia, Minggu (13/6/2010) lalu. Saat duel hendak berlangsung, David Makoeya ngotot supaya saluran televisi diganti. Pada saat itu istri Davie Makoeya yakni Francina (68) bersama dua anaknya, Colin (36) dan Lebogang (23) sedang asyik menikmati acara siraman rohani.
Istri dan kedua anaknya bersikeras mempertahankan acara yang sedang ditontonnya. David Makoeya berang. Ia berusaha merebut remote dari tangan sang istri. Aksi saling rebut tak terhindarkan. Francina mencabik wajah suami. David membalas. Melihat kejadian itu Collin dan Lebogang membantu ibunya memukuli sang ayah hingga tewas.
"Tampaknya, mereka membenturkan kepala David ke tembok," ujar juru bicara kepolisian Mothemane Malefo seperti diberitakan Associated Press. Setelah kejadian itu, Francina, Collin dan Lebogang ditangkap polisi. Orang bakubunuh gara-gara sepakbola seperti yang menimpa David Makoeya bukan baru pertama kali. Sudah banyak korban dengan modus serupa.
Korban Piala Dunia 2010 lebih dulu menggemparkan Bangladesh. Kerusuhan meledak di ibukota Dhaka, Sabtu (12/6/2010) lalu gara-gara listrik mati saat warga sedang menonton laga pembuka antara Meksiko vs Afrika Selatan. Fans bola yang marah menyerang beberapa pusat pembangkit listrik dan merusak 20 kendaraan. Sekitar 30 orang terluka.
Petinggi PLN Bangladesh pusing tujuh keliling karena kekurangan daya -- mirip betul dengan kondisi di Indonesia. Solusi darurat harus diambil. Kementerian Listrik dan Energi Bangladesh turun tangan. Mereka perintahkan semua pusat perbelanjaan di Kota Dhaka tutup petang hari agar pecandu sepakbola dapat menyaksikan Piala Dunia di televisi tanpa kekurangan daya listrik. Perintah yang sama berlaku untuk sekitar 5.000 pabrik dan industri. Gila!
"Kami minta agar dipatuhi demi keamanan menyaksikan Piala Dunia," kata Mohammad Afrazur Rahman, juru bicara Kementerian Listik, Energi dan Sumber Mineral Bangladesh. Pengusaha jelas dirugikan. Tapi demi keselamatan mereka terpaksa menuruti tuntutan masyarakat gila bola di negeri itu.
Bola yang bikin gila kerap menomorsekiankan pertimbangan akal sehat. Sudah berulangkali terjadi tragedi memilukan gara-gara bola. Hari Rabu tanggal 16 Oktober 1996 sebanyak 82 orang tewas dan 180 cedera ketika penonton berdesak- desakkan di Stadion Mateo Flores, Guatemala. Kala itu berlangsung pertandingan babak penyisihan Piala Dunia 1998 antara Guatemala melawan Costa Rica.
Kebanyakan korban tewas karena kekurangan oksigen akibat tertimbun tubuh penonton lain. Entah bagaimana awalnya, serombongan penonton di atas tangga stadion tiba-tiba menjatuhi penonton di bawahnya dan terjadilah saling injak.
Jumlah penonton melebihi kapasitas stadion bertempat duduk 45.000 dan banyak orang masuk tanpa tiket. Pihak keamanan sudah berusaha membatasi, tapi mereka tak sanggup menahan ribuan penonton yang merangsek masuk ke stadion.
Jauh sebelum itu dunia bola mengenang tragedi Heysel saat partai final Piala Champions (kini Liga Champions) Eropa tahun 1985 antara Liverpool melawan Juventus. Kemenangan Juventus 1-0 kala itu harus dibayar mahal dengan kematian 39 orang, kebanyakan fans Italia. Mereka tewas karena tembok stadion Heysel di Brussels-Belgia roboh akibat serangan fans Liverpool yang tidak kebagian tiket. Fans Inggris memang terkenal pongah dan lebih andalkan otot ketimbang otak.
Demikian secuil litani berdarah dalam sejarah bola sejagat. Tidak terkandung maksud untuk menakut-nakuti. Hanya mengingatkan bahwa bola tak selalu berwajah elok penuh pesona. Tak melulu tentang keindahan dan sukacita. Sepakbola juga dapat menebar bencana dan air mata. Orang bisa kehilangan nyawa gara-gara gila bola sampai lupa menggunakan otak seperti omelan si jelita Sara Carbonera yang dengan kejam dituduh sebagai biang kejatuhan La Furia Roja.*
Pos Kupang 19 Juni 2010 halaman 1