Tenun Ikat di Tangan Dorce Lussi

Oleh Frans Sarong

Menyebut Nusa Tenggara Timur, bagi sebagian orang, yang terbayang adalah kemiskinan dan kekeringan. Padahal, di Kota Kupang, misalnya, ada sentra tenun Ina Ndao yang bisa dibanggakan. Koleksi kain tenun di sini berasal dari sejumlah kabupaten di NTT. Omzetnya Rp 50 juta-Rp 60 juta per bulan.

Keberadaan Ina Ndao tak bisa dipisahkan dari perjuangan Dorce Lussi. Perempuan kelahiran Pulau Ndao, Rote Ndao, ini seperti perempuan setempat pada umumnya, punya keahlian menenun kain. Bedanya, dia tak sekadar menenun untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sekaligus berusaha mengembangkannya dengan melibatkan banyak perempuan lain.

Penghasilan dari penjualan tenun ikat buatan keluarganya itu sebagian ditabung. Dari uang itulah dia membeli tanah seluas 400 meter persegi, yang kemudian bertambah menjadi 1.000 meter persegi. Di atas tanah itulah ia membangun Ina Ndao, ruang pamer sekaligus toko dan bengkel tempat sekitar 20 perempuan perajin menenun. Di tempat ini pula Dorce dan keluarga tinggal.

Di luar Ina Ndao, Dorce masih didukung 1.780 mitra perajin binaannya, yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota se-NTT, seperti di Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Ende, Flores Timur, sampai Kabupaten Lembata.

Dorce memang membuka kesempatan kepada siapa pun— umumnya perempuan remaja dan ibu muda usia—untuk belajar menenun ikat di Ina Ndao. Setelah mereka mahir, sebagian ada yang memilih tetap bekerja di Ina Ndao, sebagian lagi kembali ke kampung halaman masing-masing.

”Mereka yang kembali ke kampung halaman itu kemudian menjadi mitra binaan kami,” kata Dorce, yang berkali-kali mengikuti pameran di sejumlah kota dengan dukungan Dinas Perindustrian NTT.

Hubungan mitra binaan dan Ina Ndao tidak mengikat. Artinya, mitra binaan bebas menjual hasil tenun ikatnya kepada siapa saja, tak harus kepada Ina Ndao. Kemampuan produksi setiap mitra binaan juga berbeda karena pada satu mitra binaan itu jumlah penenunnya pun bervariasi, umumnya 4 sampai 6 orang.

Dorce tak khawatir bakal tersaingi dengan munculnya sentra penenun ikat di beberapa desa di NTT. Keinginannya untuk memasyarakatkan tenun ikat justru semakin cepat terwujud dengan keberadaan sentra perajin di banyak desa.

”Setiap daerah di NTT itu mempunyai motif tenun yang khas. Semakin banyak desa yang punya sentra penenun, berarti makin banyak pula pilihan motif tradisional tenun kami,” katanya.

Tenun NTT dengan berbagai motif geometris, hewan, bunga, ataupun tanaman itu, dulu—selain sebagai pakaian sehari-hari— juga digunakan untuk berbagai acara adat, seperti pernikahan, kelahiran, ataupun kematian. Namun, belakangan ini tenun ikat umumnya dicari turis dan pendatang untuk suvenir.

Anak yatim

Dorce adalah anak tunggal pasangan Mathias Loleh dan Nelci Loleh Ndun, petani miskin di Pulau Ndao, Kabupaten Rote Ndao. Keluarga ini hidup dari nira lontar hasil sadapan Mathias dan tenun ikat karya Nelci. Tahun 1960, Mathias meninggal. Sejak itu, ibu dan anak perempuannya itu mengandalkan hidup hanya dari hasil menjual tenun ikat karya Nelci.

”Ketika kami masih di Ndao, Mama biasa pergi ke Baa dan sejumlah pasar di Rote (pulau tetangga) untuk menjual kain tenun, sambil menukar kain tenun dengan beras,” kata Dorce.

Berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan kepandaian menenun dari sang bunda, tahun 1984 Dorce menikah secara adat dengan Yus Lussi di Ndao. Mereka lalu merantau ke Kupang, Pulau Timor, disertai Nelci dan Aplonia Sina, ibunda Yus Lussi.

”Tak ada barang berharga yang kami bawa, selain dua unit peralatan menenun milik kedua mama itu,” kata Dorce.

Keluarga ini lalu mendiami pondok sederhana yang dikontrak Rp 12.500 per bulan. Mereka bekerja serabutan, mulai dari mengorek anakan pohon sampai berjualan kue.

Yus kemudian diterima bekerja sebagai penjaga kantor Dinas Pertanian NTT dengan gaji Rp 15.000 per bulan. Selain itu, dia juga bekerja sampingan menjual benih sayuran. Uang hasil kerja sampingan itu, antara lain, digunakan untuk membeli bahan baku tenun, seperti benang dan zat pewarna.

”Kami harus membeli bahan baku tenun karena kedua mama itu sehari-hari menenun. Kasihan kalau mereka tidak menenun,” ujar Dorce yang menjadikan hal itu sebagai titik perubahan kehidupan keluarganya.

Alhasil, tenun ikat mereka selalu mendapatkan pembeli. Bahkan, dari hasil tenun ikat itu mereka bisa membeli bahan baku lebih banyak lagi. Sedikit demi sedikit produksi tenun ikat mereka semakin meningkat.

Terbatas

Tahun 1991, secara resmi Dorce memulai usaha tenun ikat Ina Ndao. Empat tahun pertama pemasaran tenun ikat Dorce dibantu oleh Perwakilan NTT di Jakarta. Bahkan, ketika Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997/1998, dia justru ketiban rezeki.

Waktu itu, cerita Dorce, Bank Dagang Negara tidak hanya memberikan pinjaman modal usaha kepadanya sebesar Rp 10 juta, tetapi instansi itu juga membukakan pintu pemasaran yang lebih luas. ”Ibu-ibu dan para wanita yang tergabung dalam ikatan bank tersebut memesan 125 lembar tenun ikat Ina Ndao. Harganya ketika itu sekitar Rp 125.000 per lembar kain,” kata Dorce mengenang.

Selain itu, Dorce juga mendapat bantuan teknis dari Dinas Perindustrian NTT. Didampingi petugas dari Dinas Perindustrian NTT pula, dia membawa tenun ikat NTT ke sejumlah kota guna mengikuti pameran sekaligus memperluas pasar. Tak hanya di Indonesia, dia juga membawa tenun ikat sampai ke Singapura, Malaysia, India, dan Jepang.

Sambil memperluas pasar, produksi tetap menjadi perhatian utama Dorce. Tumbuh besar di antara para perajin tenun ikat dan melihat pasar yang sangat menjanjikan, ia ingin kualitas tenun ikat bisa ditingkatkan. Dengan demikian, kain ini tak sekadar dibeli orang untuk suvenir.

”Kain tenun ikat itu tak terbatas untuk sarung dan selendang saja. Tenun ikat juga bagus dijadikan pakaian lelaki ataupun perempuan. Tenun ikat yang diolah menjadi jas juga disukai konsumen,” kata Dorce tentang tenun ikat yang belakangan menjadi pakaian wajib bagi pegawai Provinsi NTT pada hari-hari tertentu.

Selain lewat pameran, tenun ikat Ina Ndao secara langsung hanya bisa dijumpai di Kupang. Bila Anda menemukannya di Bali atau Jakarta, itu berarti ada pedagang perantara yang membeli langsung ke Kupang.

”Kemampuan produksi kami masih terbatas. Pasar tenun ikat di Kupang saja belum bisa dipenuhi,” Dorce menambahkan. *

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes