Rossi


ANDAIKATA Sensus Penduduk 2010 ikut mencacah jumlah pendekar mabuk, beta bisa pastikan jumlahnya telah bertambah dibandingkan keadaan sepuluh tahun lalu. Betapa tidak. Saban hari semakin kerap saja pendekar mabuk mati di jalanan atau mati di rumah sakit setelah beberapa saat merasa mual, muntah, mata kabur dan pingsan.

Pekan lalu enam orang muda di Bali tewas mengenaskan setelah pesta minuman keras (miras) oplosan. Enam korban itu berasal dari berbagai tempat di Bali seperti Badung, Tabanan dan Denpasar. Mengutip laporan Kompas (26/5/2010), keenam korban itu adalah I Nyoman Sapta (27), I Nyoman Budhiarta (25), Anton (25), Risky Gandarika (18), Made Sudarsana (30) dan Aan Sudarta (45). Para korban rata-rata berusia produktif.

Pada waktu bersamaan miras oplosan merenggut empat nyawa di Kayuagung, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Korbannya adalah Harsin, Denin, Aziz dan Yanto. Sama seperti di Bali keempat pemuda Sumatera itu meregang nyawa secara berturutan dalam beberapa hari setelah menenggak miras oplosan. Gejala klinis mengarah pada keracunan metanol.


Bagaimana di beranda Flobamora? Jangan tanya lagi bung. Inilah markas besar pendekar mabuk. Yang agak berbeda cuma soal cara mati. Di sini agak jarang mati ramai-ramai karena menenggak miras oplosan. Satu dua kasus sih mungkin ada. Di sini tak perlu miras oplosan karena miras lokal dengan kadar alkohol di atas 45 persen mudah diperoleh di mana-mana dan banyak pula yang piawai meracik.
Mulai dari kelas ringan sampai kelas jengi jila alias bakar menyala (BM).

Modus pendekar mabuk di Nusa Tenggara Timur (NTT) unik sekali. Mereka duduk minum dulu sekian botol baru berlari kencang dengan sepeda motor di jalanan umum. Setelah minum moke, sopi atau arak mereka merasa diri segesit juara dunia Motto GP, Valentino Rossi. Malah lebih hebat daripada Rossi karena pendekar mabuk NTT lazimnya tidak suka pakai helm. Sebagian malah buka baju setengah biar dada kerempengnya dilihat orang saat melaju dengan sepeda motor.

Contohnya di Maumere, Kabupaten Sikka. Selama bulan Mei 2010, lima orang mati akibat kecelakaan lalulintas. Penyebabnya sama gara-gara mabuk moke. Bila ditambah data korban sejak Januari 2010, maka jumlah yang mati di jalanan Sikka 15 orang. Menurut polisi, 90 persen penyebabnya mabuk moke. Gila mo'at! Ini mestinya pantas disebut tragedi moke. Tapi karena mati satu demi satu tuan dan puan biasanya anggap remeh bukan?

Nikmat moke atau sopi memang luar biasa. Setelah minum biasanya bibir tak lagi kelu. Bibir mudah bercuap. Itulah sebabnya di ujung timur Flores, moke disebut air kata-kata. Air yang mengalirkan kata-kata. Di Ende Lio dan Nagekeo disebut wora. Wora artinya busa. Mulut bicara sampai berbusa-busa kalau sudah menenggak moke sekian gelas.

Sesungguhnya ada tiga kelompok pendekar mabuk. Pertama, pendekar mabuk yang minum sampai teler untuk melepas kepenatan hidup. Kelompok ini umumnya orang-orang kecil. Mereka datang dari kampung ke kota menjual hasil bumi. Uang mereka pakai untuk beli moke atau sopi. Minum sampai teler lalu mendengkur. Sekejap masalah hidup terlupakan.

Kalau modal cekak biasanya urunan. Para pendekar bakutambah duit untuk beli sopi. Lalu mereka duduk minum. Tempatnya bisa di mana saja. Di los pasar, terminal, deker, pondok di tengah ladang atau di bawah rindang pepohonan. Habis minum dampaknya beragam. Syukur kalau tidur mendengkur sampai mabuk sirna. Cukup sering terjadi salah paham berujung bakupukul atau bakutikam. Lainnya pulang ke rumah tapi tiba sebagai jenazah karena terlanjur meregang nyawa di jalanan akibat sepeda motor masuk selokan atau tabrak pagar.

Kelompok kedua, namanya drunken master alias pendekar mabuk tanggung. Minum untuk memancing rasa percaya diri. Sambil berjalan sempoyongan mereka mangkal di deker lalu memalak orang yang lewat. Minta uang!

Kelompok ini tak cukup punya keberanian untuk menekan orang dalam keadaan sadar. Jadi, mabuk dulu agar mampu meneror. Mereka cari uang lewat jalan mabuk. Siapa yang lebih terhormat? Kelompok pertama atau kedua? Entahlah. Silakan tuan dan puan jawab sendiri.

Masih ada satu kelompok lagi. Orang-orang ini bukan si miskin papa, melainkan manusia dari kalangan yang secara intelektual, sosial dan ekonomi lebih tinggi sehingga jenis minuman keras yang mereka konsumsinya pun berkelas tinggi. Miras belabel. Cukup sering produksi luar negeri. Miras kelas atas tentu harus dibeli dengan uang besar. Sekali duduk minum menghabiskan jutaan rupiah.

Sepanjang duduk minum itu bisa berkembang aneka percakapan, mulai dari soal hobi, politik, bisnis sampai urusan selingkuhan dan lain-lain. Pokoknya topik diskusi bisa bergerak dari satu tema ke tema lain. Tak habis-habisnya.

Cukup sering saat duduk minum mereka ditemani yang cantik-cantik, genit dan harum. Busananya minim. Pakai rok mini dan isi belahan dada nyaris tumpah. Jadi, tangan kanan memegang gelas, tangan lain ya urusan lain.

Para pendekar mabuk dari kelompok ini jelas tidak sedang melupakan kesulitan hidup atau perlu keberanian untuk cari duit. Mereka adalah kalangan yang sudah kehabisan cara menghabiskan uang. Tentang bagaimana cara mereka mendapatkan uang, aih itu soal lain, kawan. Kadang hidup terasa aneh bukan? (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 31 Mei 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes