Angka 17


DALAM sepuluh bulan 17 orang tewas di lubang mangan. Apakah ini sekadar angka tak bermakna? Begitu isi pesan pendek yang beta terima akhir pekan lalu dari seorang teman. Beta tersentak. Pesan itu menikam kesadaran.

Sungguh mati, beta mungkin sama dengan tuan dan puan yang selama ini menganggap kematian di lubang mangan sebagai peristiwa biasa. Pesan pendek itu menggugat sikap kebanyakan kita yang melihat angka sekadar angka. Tanpa usaha memahami sesuatu yang lebih penting di balik angka-angka tertentu.

Sahabatku itu mengirim pesan setelah dia membaca berita tentang kematian tiga warga Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) di lubang mangan 15 Juni 2010. Para korban adalah warga Desa Bakitolas, TTU, yaitu Oktovianus Sasi (38), Feliks Teti (40) dan Marsel Lafu (52). Ketiganya tertimbun tanah longsor saat menggali mangan pada kedalaman tujuh meter.


Dengan tambahan tiga korban jiwa tersebut, maka terhitung sejak tanggal 17 Agustus 2009 atau dalam tempo sepuluh bulan terakhir sudah 17 warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tewas saat menambang mangan. Data ini berdasarkan warta yang dirilis media massa. Patut diduga masih ada korban tewas atau luka-luka yang tidak terekspos. Pekerjaan pokok para korban adalah petani dan peternak. Di antara korban ada murid SD dan ibu rumah tangga yang sedang hamil tua.

Kisah tentang korban hamil tua sungguh menyayat hati. Hari Jumat 23 April 2010, Martinus Tili (32) dan istrinya Ida Alunpa (29) sama-sama menambang batu mangan. Pasangan ini adalah warga Kelurahan Mobeli, Kabupaten TTU. Demi sesuap nasi keduanya tidak memperhitungkan resiko terburuk.

Saat Martinus dan Ida asyik menggali mangan pada kedalaman 2,5 meter, salah sisi dinding lubang galian roboh. Suara batu dan tanah bergemuruh lalu terdengar jeritan lengking Ida Alunpa memanggil suami tercinta. Ida tertimbun reruntuhan. Martinus panik. Tangis Martinus membahana saat tangannya mengais tanah yang menimbun tubuh sang istri. Histeria Martinus memuncak kala tahu belahan jiwanya tak lagi mengembuskan napas. Ia mendekap erat tubuh Ida dengan air mata terurai. Ida pergi selamanya bersama anak ketiga dalam kandungannya.

Dari 17 korban tewas di atas, jumlah terbanyak di Kabupaten Kupang yaitu tujuh orang tewas disusul TTU dengan lima orang. Korban lainnya asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Belu dan Kota Kupang. Artinya nikmat mangan telah menelan korban jiwa di lima wilayah Timor Barat. Tujuh belas orang kehilangan nyawa dalam sepuluh bulan mestinya pantas dilukiskan sebagai malapetaka. Angka kematian tersebut membuat bulu kuduk berdiri. Rata-rata setiap bulan selalu jatuh korban jiwa. Gali mangan untuk kuburan sendiri. Ngeri kawan!

Data ini jelas bukan sekadar angka kematian. Namun, siapa peduli? Booming ekonomi mangan di Timor Barat benar-benar lepas kontrol. Pengambil kebijakan seolah tidak mau tahu dengan penderitaan masyarakat. Dan, tidak mau mencari tahu secara serius apa sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat bersamaan dengan nikmat mangan dua tahun belakangan.

Pengambil kebijakan di daerah hanya riang dan berlomba-lomba mengeluarkan izin kuasa pertambangan ataupun pertambangan rakyat tanpa memperhatikan dampak lingkungan serta dampak sosial dan ekonomi bagi warganya.

Tuan dan puan coba simak ini. Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi NTT, hingga bulan Mei 2010, terdapat 319 kuasa pertambangan di beranda Flobamora. Data tersebut masih sementara karena belum semua pemerintah kabupaten/kota melaporkan izin yang telah dikeluarkan kepada pemerintah propinsi di Kupang. Maklumlah di era otonomi daerah sekarang, bupati/walikota adalah "raja" di wilayah masing-masing. Lapor kepada pemerintah propinsi seolah tidak wajib dalam tata krama kepemerintahan NKRI.

Apakah semua izin kuasa pertambangan itu sesuai ketentuan dan prosedur? Belum tentu. Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara untuk menarik keuntungan dari penerbitan izin. Ada yang tega memanipulasi izin sehingga seolah-olah diterbitkan sebelum kewenangan izin tambang ditarik kembali pemerintah pusat tahun 2009.
Sekadar contoh, hari-hari ini Pansus DPRD TTU sedang giat bekerja menelusuri izin kuasa pertambangan. Di TTU ada 82 izin pertambangan dari pemerintah.

Kesimpulan sementara Pansus, tidak ada satu pun izin itu melalui prosedur yang benar. Bukan muskil hal yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Salah urus benar-benar lekat dengan wajah Flobamora. Tapi siapa pernah merasa malu? Huh!! Kampung besar kita terkenal tebal muka.

Jumlah 17 itu bukan angka yang kecil. Itu tragedi yang nyata terjadi di depan mata. Dampak sosial ekonomi mangan sungguh menggetarkan hati. Jika kurang percaya, cobalah tengok kehidupan di pedalaman Timor sekarang. Demi mangan yang mudah mendapatkan rupiah ketimbang berkebun atau piara ternak, orang kita rela berhari-hari menggali perut bumi demi menemukan batu hitam bernama mangan.

Mereka melubangi dinding bukit dengan peralatan seadanya. Tinggal berhari-hari di bawah tenda, tidur beralaskan tikar dan makan ala kadarnya. Tak jarang mereka jatuh sakit, terutama balita, anak-anak dan kaum perempuan yang ikut menambang.

Derajat kehidupan mereka tidak serta merta terdongkrak dengan menjual batu seharga Rp 350-Rp 400 per kilogram. Keuntungan lebih besar bahkan berlipat ganda tetap milik para cukong dan perusahaan pemegang izin kuasa pertambangan.

Di manakah mereka ketika korban berjatuhan? Di mana orang-orang yang rajin mengeluarkan izin kuasa pertambangan? Dengan profil salah urus yang semakin akut dan kronis di kampung kita, beta yakin satu hal booming tambang mangan di beranda Nusa Tenggara Timur bukan jawaban atas kemiskinan para kekasih, saudara dan famili kita. Turut berduka cita untuk 17 korban tewas di lubang mangan. Beristirahatlah dalam damai! (dionbata@gmail.com)

Pos Kupang edisi Senin, 21 Juni 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes