DI antara banyak kisah sedih, prihatin dan gejolak oleh rupa-rupa perkara hidup yang berat dan rumit, muncul juga keceriaan besar di beranda rumah Flobamora. Kita dapat penghargaan. Kalpataru dan Adipura.
Pada peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni lalu, Ans Takalapeta (Alor) dan Theresia Ina Tobi (Flores Timur) mendapat penghargaan Kalpataru 2008 dari pemerintah pusat. Kota Kupang meraih Adipura. Penghargaan bergengsi itu diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta. Banggalah hati kita.
Sudah sepatutnya kita mengucapkan proficiat untuk Ans Takalapeta, Ina Tobi dan duet "wali" Kota Kupang, Daniel Adoe dan Daniel Hurek. Ya, Selamat untuk Bapak dan Ibu Dorang Samua. Virus keberhasilan itu hendaknya menular kepada yang lain. Menular sebuas-buas kepada banyak orang agar bumi hunian ini tidak semakin rusak lalu menghancurkan kehidupan kita sendiri. Penghargaan itu tanda bukti betapa kerja keras dan kesungguhan hati akan berakhir indah. Selalu ada hadiah bagi setiap orang dengan niat baik, dengan kerja benar. Sekali lagi selamat.
Adipura, sebuah penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Hadir setiap tahun sejak 1986. Sempat terhenti bersamaan dengan rezim Orde Baru berakhir 1998 dan kembali bergema di Bali 5 Juni 2002 dan berlanjut hingga sekarang. Diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dan, Kota Kupang tidak asing dengannya. Penghargaan itu bukan yang pertama. Luar biasa Kota KASIH. Bravo Kupang!
Tapi sontak rasa bergolak. Nalar berjingkrak tanya. Inilah momentum kebangkitan untuk kerja lebih nyata. Bangkit sebagai pioner kota NTT yang manusiawi pada tahun emas Flobamora. Adipura 2008 semoga tidak berbuah over ceria karena pekerjaan rumah begitu banyak dan mendesak. Tidak sekadar latah membangun monumen Adipura kesekian di kota gersang nan panas, kota tanpa land mark. Kota miskin bunga di taman, air mancur dan nihil pedestrian yang memanjakan warga.
Adipura adalah pengakuan jujur pemerintah pusat terhadap Kota Kupang. Maka Adipura dengan sendirinya tidak menolerir kepura-puraan. Adipura sonde pura- pura. Tak mungkinlah kita pura-pura lupa kalau urusan sampah di kota KASIH belum memuaskan. Selain kesadaran warga kota tentang kebersihan perlu dilecut terus-menerus, pelayanan pemerintah masih jauh dari ideal.
Adipura akan menjadi kado bermakna bagi warga Kota Kupang kalau mereka mendapat pelayanan lebih baik. Baik artinya sampah tak lama menumpuk di TPS hingga mengembuskan bau busuk. Baik artinya truk sampah masuk ke seluruh penjuru. Tidak hanya di jalan protokol dan sebagian TPS di gang dan lorong-lorong tanpa sentuhan. Adipura 2008 adalah moment refleksi untuk mengeksekusi kebijakan menata kota yang ramah lingkungan, menjadikan warga Kupang sungguh merasa at home!
Hari ini kita masih hidup di kota yang murung. Murung melihat anak-anak main bola di jalan umum. Sulit mencari arena bermain, ruang terbuka hijau dan hutan sebagai paru-paru kota yang entah di mana. Apa yang ente sebut manakala ada yang bertanya Land Mark Kupang? Patung Komodo, Kirab Remaja atau apa?
Mau main bola, lapangan itu-itu saja. Polda NTT, Kuanino, Stadion Merdeka yang reot, Lasitarda yang kumal dan Oepoi yang renovasinya belum selesai juga. Kupang adalah kota minim fasilitas umum. Kota tanpa taman atau lapangan terbuka yang memadai untuk acara rame-rame dalam jumlah puluhan ribu. Kalau bikin acara massal di sini, sudah tentu jalanan macet. Mau buat acara besar, andalan satu- satunya Gelanggang Olahraga (GOR) Flobamora. GOR multifungsi. Dari acara wisuda, deklarasi partai, ujian CPNS, sampai main futsal dan voli. Dengan fasilitas minim, sampai kapan pun Kupang sulit menawarkan diri jadi tuan rumah event berskala regional dan nasional.
Bicara penataan kota, baik kiranya Pak Wali dan Wakil Walikota jalan-jalan ke kompleks perumahan. Pak Wali kita akan menemukan anak-anak bermain di lorong jalan.Tak ada tempat khusus buat mereka. Lokasi hunian penuh sesak dengan rumah yang lazimnya tak berjarak. Tak ada lapangan voli, bolakaki, taman bermain. Semua lahan cuma buat gedung dan rumah.
Pengembang tidak salah. Mungkin belum tergerak hati sedikit merelakan lahan untuk umum, tidak cukup sekadar rumah ibadah. Dibutuhkan juga lahan terbuka yang bisa dimanfaatkan warga perumahan untuk acara kebersamaan. Tidak berlebihan kalau wali kita menggugah kerelaan itu. Mewajibkan bila perlu. Pertambahan jumlah penduduk ke depan akan meningkat. Lima tahun lagi Kupang akan menjadi kota yang sesak-berdesak. Kumuh-memusingkan kepala.
Pekan lalu ada kawanku dari Jakarta, pertama kali ke Kupang. Di saat sengggang selepas urusan utama, dia mau jalan-jalan ke lokasi wisata kebanggaan Kupang. Beta sebut beberapa antara lain, Lasiana, Gua Monyet, Oenesu dan Tablolong. Tapi sungguh mati, saya kurang percaya diri mengingat kondisinya.Tidak luar biasa dari sisi daya tarik dan kelaikan sebagai obyek wisata. Dekat kota propinsi pula! Di Lasiana, kawanku memuji pantai, deburan ombak dan pohon lontar. No comment dan tersenyum bagi sisi lain. Memuji? Beta tahu dia sekadar basa-basi untuk menyenangkan tuan rumah. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Beranda Kita Pos Kupang edisi Senin, 9 Juni 2008, halaman 1
Pada peringatan hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni lalu, Ans Takalapeta (Alor) dan Theresia Ina Tobi (Flores Timur) mendapat penghargaan Kalpataru 2008 dari pemerintah pusat. Kota Kupang meraih Adipura. Penghargaan bergengsi itu diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta. Banggalah hati kita.
Sudah sepatutnya kita mengucapkan proficiat untuk Ans Takalapeta, Ina Tobi dan duet "wali" Kota Kupang, Daniel Adoe dan Daniel Hurek. Ya, Selamat untuk Bapak dan Ibu Dorang Samua. Virus keberhasilan itu hendaknya menular kepada yang lain. Menular sebuas-buas kepada banyak orang agar bumi hunian ini tidak semakin rusak lalu menghancurkan kehidupan kita sendiri. Penghargaan itu tanda bukti betapa kerja keras dan kesungguhan hati akan berakhir indah. Selalu ada hadiah bagi setiap orang dengan niat baik, dengan kerja benar. Sekali lagi selamat.
Adipura, sebuah penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil dalam kebersihan serta pengelolaan lingkungan perkotaan. Hadir setiap tahun sejak 1986. Sempat terhenti bersamaan dengan rezim Orde Baru berakhir 1998 dan kembali bergema di Bali 5 Juni 2002 dan berlanjut hingga sekarang. Diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dan, Kota Kupang tidak asing dengannya. Penghargaan itu bukan yang pertama. Luar biasa Kota KASIH. Bravo Kupang!
Tapi sontak rasa bergolak. Nalar berjingkrak tanya. Inilah momentum kebangkitan untuk kerja lebih nyata. Bangkit sebagai pioner kota NTT yang manusiawi pada tahun emas Flobamora. Adipura 2008 semoga tidak berbuah over ceria karena pekerjaan rumah begitu banyak dan mendesak. Tidak sekadar latah membangun monumen Adipura kesekian di kota gersang nan panas, kota tanpa land mark. Kota miskin bunga di taman, air mancur dan nihil pedestrian yang memanjakan warga.
Adipura adalah pengakuan jujur pemerintah pusat terhadap Kota Kupang. Maka Adipura dengan sendirinya tidak menolerir kepura-puraan. Adipura sonde pura- pura. Tak mungkinlah kita pura-pura lupa kalau urusan sampah di kota KASIH belum memuaskan. Selain kesadaran warga kota tentang kebersihan perlu dilecut terus-menerus, pelayanan pemerintah masih jauh dari ideal.
Adipura akan menjadi kado bermakna bagi warga Kota Kupang kalau mereka mendapat pelayanan lebih baik. Baik artinya sampah tak lama menumpuk di TPS hingga mengembuskan bau busuk. Baik artinya truk sampah masuk ke seluruh penjuru. Tidak hanya di jalan protokol dan sebagian TPS di gang dan lorong-lorong tanpa sentuhan. Adipura 2008 adalah moment refleksi untuk mengeksekusi kebijakan menata kota yang ramah lingkungan, menjadikan warga Kupang sungguh merasa at home!
Hari ini kita masih hidup di kota yang murung. Murung melihat anak-anak main bola di jalan umum. Sulit mencari arena bermain, ruang terbuka hijau dan hutan sebagai paru-paru kota yang entah di mana. Apa yang ente sebut manakala ada yang bertanya Land Mark Kupang? Patung Komodo, Kirab Remaja atau apa?
Mau main bola, lapangan itu-itu saja. Polda NTT, Kuanino, Stadion Merdeka yang reot, Lasitarda yang kumal dan Oepoi yang renovasinya belum selesai juga. Kupang adalah kota minim fasilitas umum. Kota tanpa taman atau lapangan terbuka yang memadai untuk acara rame-rame dalam jumlah puluhan ribu. Kalau bikin acara massal di sini, sudah tentu jalanan macet. Mau buat acara besar, andalan satu- satunya Gelanggang Olahraga (GOR) Flobamora. GOR multifungsi. Dari acara wisuda, deklarasi partai, ujian CPNS, sampai main futsal dan voli. Dengan fasilitas minim, sampai kapan pun Kupang sulit menawarkan diri jadi tuan rumah event berskala regional dan nasional.
Bicara penataan kota, baik kiranya Pak Wali dan Wakil Walikota jalan-jalan ke kompleks perumahan. Pak Wali kita akan menemukan anak-anak bermain di lorong jalan.Tak ada tempat khusus buat mereka. Lokasi hunian penuh sesak dengan rumah yang lazimnya tak berjarak. Tak ada lapangan voli, bolakaki, taman bermain. Semua lahan cuma buat gedung dan rumah.
Pengembang tidak salah. Mungkin belum tergerak hati sedikit merelakan lahan untuk umum, tidak cukup sekadar rumah ibadah. Dibutuhkan juga lahan terbuka yang bisa dimanfaatkan warga perumahan untuk acara kebersamaan. Tidak berlebihan kalau wali kita menggugah kerelaan itu. Mewajibkan bila perlu. Pertambahan jumlah penduduk ke depan akan meningkat. Lima tahun lagi Kupang akan menjadi kota yang sesak-berdesak. Kumuh-memusingkan kepala.
Pekan lalu ada kawanku dari Jakarta, pertama kali ke Kupang. Di saat sengggang selepas urusan utama, dia mau jalan-jalan ke lokasi wisata kebanggaan Kupang. Beta sebut beberapa antara lain, Lasiana, Gua Monyet, Oenesu dan Tablolong. Tapi sungguh mati, saya kurang percaya diri mengingat kondisinya.Tidak luar biasa dari sisi daya tarik dan kelaikan sebagai obyek wisata. Dekat kota propinsi pula! Di Lasiana, kawanku memuji pantai, deburan ombak dan pohon lontar. No comment dan tersenyum bagi sisi lain. Memuji? Beta tahu dia sekadar basa-basi untuk menyenangkan tuan rumah. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Beranda Kita Pos Kupang edisi Senin, 9 Juni 2008, halaman 1