KUPANG, PK-- Tersangka Kombes (Pol) Wiliardi Wizar, salah satu tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, lebih pas dikenakan hukuman indisipliner. Sejauh investigasi, Wiliardi Wizar hanya bersama- sama dan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan tanggal 14 Maret 2009 itu.
Pengacara Wiliardi, Johanes Jakob, Ph.D, mengatakan hal ini ketika dihubungi Pos Kupang ke handphone-nya, Minggu (10/5/2009). Menurut Johanes, Kompes (Pol) Wiliardi hanya dapat dikenakan pasal 55 KUHP tentang Kebersamaan. "Dia tak pantas dikenai pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana dengan subsider pasal 338. Pasalnya, KUHP itu masih abu-abu, belum jejas" tegas Johanes.
Johanes menilai, penerapan pasal 340 KUHP lemah karena empat alasan. Pertama, tanpa kesaksian. Kedua, tanpa bukti-bukti atau petunjuk, Ketiga, tanpa surat- surat.Keempat, tanpa pengakuan.
Ia mengatakan, pada perkara-perkara pidana yang diutamakan adalah kesaksian (sesuai pasal 184 KUHAP) dan pembuktian yang sah, yakni keterangan saksi, keterangan ahli dan petunjuk lainnya.
Menurut Johanes, dalam kasus ini polisi sulit membuktikannya. "Bagaimana kita dapat mengetahui hal-hal yang diterangkan kalau hanya berdasarkan pendapat atau perkiraan polisi dan bukan kesaksian," katanya.
Sebuah kesaksian, demikian Johanes, patut ditautkan dengan kesaksian lainnya. Di sini, lanjutnya, hukum pembuktian itu merupakan suatu bagian dari hukum acara (law of procedure). Johanes berkesimpulan bahwa kasus Wiliardi adalah perkara buat- buatan yang dilancarkan oleh suatu pihak untuk memenjarakan seseorang yang tak disukai. Akibatnya, kata Johanes, terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dari kesewenang-wenangan (willekeur).
Johanes menyatakan, ia akan meminta Kapolri untuk memulihkan hak-hak mantan Kapolres Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kapolres Kupang ini sebagai anggota Polri, termasuk mengaktifkan kembali jabatan yang sudah dicopot. Karena itu ia mengatakan akan menemui Kapolri untuk menggelar perkara ini. Ketika ditanya pertemuan Wiliardi dengan Ketua KPK non aktif, Antasari Ashar, Johanes mengatakan, selama ini baru tiga kali pertemuan. Pertama, di rumah Sigit Wibisono di Kebayoran Baru, Jakarta. Kedua, di rumah Antasari. "Itu pun hanya sepuluh menit," jelasnya. Sedangkan pertemuan ketiga tak membahas apa-apa.
Pada pertemuan pertama, kata Johanes, Sigit meminta tolong Wiliardi mencari beberapa orang sebagai informan dalam rangka melakukan investigasi atas penjahat- penjahat koruptor. Ini karena Wiliardi percaya pada Sigit yang memiliki kedekatan dengan Antasari Ashar. Karena itu, ia mengikuti saja ajakan Sigit dan mencari informan.
"Wiliardi menemui seseorang bernama Jeri. Kemudian Jeri menemui Edo. Dari sanalah keduanya kembali menemui Wiliardi dan mendapatkan dana operasional serta data oknum koruptor," katanya.
Sebelumnya Wiliardi meminta order kepada Sigit. Order itu berupa siapa saja yang terlibat dalam kasus korupsi. Dari situlah Sigit mengeluarkan dana Rp 500 juta kemudian Wiliardi menyerahkan kepada Jeri dan Edo. Saat itu hubungan mereka putus karena Wiliardi menjaga diri. "Setelah kejadian justru mereka mengkambinghitamkan Wiliardi," jelas Johanes. Kini, Johanes sedang berupaya menangguhkan penahanan Wiliardi.
Sementara pengacara tiga orang NTT, kecuali Aduardus Mbete, Petrus Balla Pattyona, ketika dihubungi, Minggu (10/5/2009) malam mengatakan, tiga kliennya telah menjalani pemeriksaan hari Jumat (8/5/2009).
Para tersangka, kata Petrus, ditahan di Polda Metro Jaya. Yang jelas, lanjutnya, pemeriksaan dari aparat berwajib akan terus dilakukan sepanjang masih dibutuhkan. Ia tetap berpendirian bahwa para tersangka ini dijebak oleh sebuah skenario yang dilakukan pihak-pihak tertentu.
Informasi lain yang dihimpun menyebutkan, kini kondisi psikologis Eduardus Ndopo Mbete (Edo), mengalami tekanan luar biasa. Karena itu tim pengacaranya, yakni Nyoman Ray, S.H, dan Situmorang, S.H, akan menjemput orangtuanya di Watuneso, Ende untuk memberikan suport kepada Edo.
Empat warga NTT yang terlibat, yakni Fransiskus Tadon Kerans, Daniel Daen, Hendrikus Kia Walen dan Eduardus Mbete. Mereka menghabisi Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, 14 Maret 2009.
Sebelumnya (Pos Kupang, 6/5/2009), pengacara Petrus Balla Pattyona, S.H, M.H, saat dihubungi Pos Kupang ke handphone-nya, Selasa (5/5/2009), mengatakan, para pelaku ditugaskan untuk mengeksekusi korban menyusul informasi yang menyebutkan bahwa sejumlah dokumen rahasia negara berada di tangannya. Korban juga diinformasikan membahayakan keselamatan pejabat negara sehingga patut dihabisi.
Para eksekutor, jelas Petrus, telah "diindoktrinasi" untuk menghabiskan korban yang disebutkan sebagai "musuh negara" itu sebelum pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres). (pol)
Pos Kupang edisi Senin, 10 Mei 2009 halaman 1