Judi

SEPULUH tahun mereka hidup bersama sebagai suami istri dengan dua orang anak. Lima tahun pertama, mereka sungguh menikmati kebahagiaan. Prahara datang di tahun ketujuh. Tahun kesepuluh, pernikahan mereka bubar gara-gara judi!

"Semula dia hanya iseng bermain judi kartu dengan teman-temannya di saat senggang. Waktu itu saya anggap wajar saja. Lama-kelamaan dia ketagihan. Uang gaji bulanan tak pernah saya terima dalam jumlah utuh. Ada saja alasannya. Saya masih bersabar, termasuk saat dia diam-diam menjual perhiasan saya. Tapi sewaktu dia menjual mobil dan rumah kami bahkan cincin pernikahan untuk modal berjudi, saya kira pernikahan kami telah berakhir. Biarlah kami hidup sendiri-sendiri. Dua anak ikut bersama saya."

Mulutku terkunci saat mendengar pengakuan ini. Pengakuan mengejutkan dari Mir, saudara sepupuku. Hampir tiga tahun kami tak bersua. Saat berjumpa lagi dengannya di Kota Kupang akhir pekan silam, tiba-tiba beta mendengar kabar dari mulutnya sendiri tentang kegetiran nasib. Mir dan suaminya telah dua tahun hidup berpisah. Perpisahan karena judi. "Sekarang saya bekerja untuk menghidupi kedua anak," katanya.

Beta kenal baik Joni, suami Mir. Dia aktivis mahasiswa yang sangat populer di kampusnya dulu. Dia pemimpin mahasiswa di zamannya. Beta kenal karakternya. Dia orang baik. Tidak sekalipun beta melihat dia berjudi atau menenggak minuman keras. Saat bekerja selepas kuliah kariernya melesat cepat. Ketika dia menikah dengan Mir, beta ikut bangga sekaligus bahagia karena sepupuku itu membangun mahligai rumah tangga dengan pria yang tepat. Ternyata perjalanan waktu serta lingkungan pergaulan bisa mengubah tabiat seseorang. Kasihan nasib Mir dan Joni. 

Tuan dan puan, apa yang beta paparkan hari ini merupakan kisah nyata. Kisah dari lingkungan keluarga sendiri. Beta merasa perlu berbagi karena judi -- sesuatu yang kerapkali kita anggap lumrah dalam masyarakat -- masih saja berlangsung dengan genit kendati dampak negatifnya bisa sungguh merusak kehidupan. Boleh jadi tuan dan puan pun pernah mengalami 'kehancuran' akibat berjudi secara overs dosis. 

Banyak orang mencibir ketika membahas tentang judi. Sebab penyakit masyarakat yang usianya setua peradaban manusia itu tidak pernah mati. Banyak cara telah ditempuh demi memberantas perjudian. Namun, judi tetap tumbuh, berkembang dan menular. Sebuah anekdot menyatakan, praktik perjudian dan pelacuran hilang kalau bumi tidak lagi dihuni manusia.

Artinya, selama manusia masih ada judi dan pelacuran tetap tumbuh dan berkembang. Sejumlah negara di dunia mengemas sisi positif perjudian. Nafsu manusia untuk berjudi dikelola secara profesional demi membuka lapangan kerja sekaligus meraup devisa. Mereka bangun industri perjudian dengan efek ekonomis mengagumkan. Amerika Serikat, Taiwan, Singapura dan Australia merupakan contoh negara yang mengelola judi secara profesional. Bagi orang Amerika yang doyan berjudi, pergilah ke Kota Las Vegas. Jika tuan punya banyak uang untuk bersenang-senang lewat judi, silakan main di sana.

Itulah bedanya dengan Indonesia yang sampai hari ini tidak memberi ruang untuk membangun bisnis perjudian secara legal.

Kita selalu berbicara tentang moral ketika wacana itu dimunculkan. Padahal setiap detik praktik perjudian terjadi di sini. Makin dilarang, judi terus menjalar. Celakanya, judi di kampung halaman kita bukan karena orang kelebihan uang. 
Menurut para ahli, judi adalah transaksi dua belah pihak atau lebih untuk pemilikan suatu barang atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi itu dengan suatu aksi atau peristiwa.

Pengalaman Indonesia menunjukkan, makin sering diberantas, penjudi makin cerdas dan kreatif. Soal kreativitas, orang NTT terkenal jenius. Jika judi menggunakan media kartu, dadu, biliar atau kupon putih mudah digulung polisi, mereka pilih cara lain yang unik. Aksi mereka sulit diendus polisi karena tidak meninggalkan bukti, sesuatu yang disyaratkan dalam proses hukum di negeri ini.

Pernah terjadi di suatu daerah di Pulau Flores, pengumuman pemenang judi kupon putih menggunakan media radio. Radiogram lewat RSPD. Misalnya begini. Radiogram berasal dari Yoseph Ganteng di Reo untuk Yasinta Sayang di Waelengga. Besok pagi saya kirim barang dari Reo dengan bis kayu yaitu lima sak semen, lima ember plastik, dua dos mie dan satu karung beras. Mohon ditunggu. Bagi yang awam, isi pesan radiogram itu seolah sungguhan dari Yoseph kepada Yasinta. Tapi bagi pemain kupon putih, mereka mengerti sebagai kode atau angka hasil undian kupon putih. 

Di kampung beta ada cara berjudi hanya dengan duduk di deker pinggir jalan raya menebak nomor polisi kendaraan roda dua atau empat yang lewat. Tebak nomor awal ganjil atau genap, tergantung kesepakatan. Modus begini sungguh mengibuli polisi. Mereka kelihatan hanya duduk santai di deker. Faktanya mereka serius berjudi. Modus lainnya menggunakan perahu kayu di selokan. Mereka bermain seperti kanak-kanak. Perahu kayu diuji, mana yang akan sampai finish duluan.

Medio tahun 1990-an ada kisah menarik di kampung kami. Seorang anggota Resimen Mahasiswa (Menwa) memberi pelajaran kepada ayahnya yang doyan berjudi. Suatu malam saat dia pulang ke rumah sekitar pukul 22.00 usai pelesir bersama temannya, sang ayah sedang asyik bermain judi kartu dengan lima orang lainnya. Anak itu masuk kamar dan tidur. Sekitar pukul 02.00 dinihari dia bangun menuju toilet. Dia kaget karena ayah dan rekannya masih berjudi ria. "Bapa tua ini benar-benar keterlaluan. Judi sampai lupa istirahat," gumamnya.

Anak itu kembali ke kamar, pakai baju loreng, topi dan sepatu ala militer-nya sebagai Menwa. Dia menyelinap lewat pintu belakang menuju teras rumah. Di sana dia mengentak-entakkan kaki di lantai teras rumah sambil berkata dengan nada suara yang disamarkan. Selamat malam Bapak-Bapak. Mengapa sampai jam begini belum tidur?

Bunyi sepatu militer membuat sang ayah dan penjudi lainnya terkejut. Tanpa komando mereka lari tunggang langgang melalui pintu belakang. Ambil langkah seribu, berusaha selekasnya hilang dalam kegelapan agar tidak tertangkap.

Sekitar sepuluh meter dari rumah tiba-tiba sang ayah melihat bayangan hitam di depannya berdiri. Dia sontak angkat kedua tangan dan berkata dengan suara memelas, "Maaf pak, bukan saya." Bayangan hitam itu diam saja. Ternyata yang terlihat berdiri adalah babi jantan peliharaan bapak itu sendiri yang biasa dia ikat di pohon mangga. Babi itu terbangun tanpa suara karena dengar langkah kaki dan mencium bau badan tuannya. Bayangkan, gara-gara judi, pak tua angkat tangan dan mohon maaf kepada seekor babi. He-he-he... (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang Senin, 8 November 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes