Paha

"OM mau paha atau dada?" kata nona baju merah sambil melempar senyum. "Paha nona," kata si Om singkat. "Baik Om, mohon sabar sedikit." Tidak lebih dari 10 menit nona baju merah telah siap menyajikan paha yang langsung 'dilahap' si Om berkepala botak dengan semangat tinggi. Keringatnya bercucuran dan sesekali mata si Om terpejam. Nikmat!

Hussh! Pikiran tuan dan puan jangan ke mana-mana dulu. Paha atau dada itu beta tangkap dari sepenggal obrolan antara nona berbaju merah dengan seorang pria paruh baya saat makan siang di sebuah rumah makan sederhana di Kota Kupang pekan lalu.

Siang itu si Om berseragam PNS pesan menu nasi ayam. Nona pelayan rumah makan pun menawarkan dua pilihan, mau paha atau dada? Ternyata si Om memilih paha ayam goreng. Jika tuan dan puan adalah warga Kota Kupang atau sudah lama bermukim di kota ini, pertanyaan semacam itu agaknya bukan hal baru. Pengelola rumah makan di Kupang umumnya menyiapkan dada atau paha ayam siap saji. Tinggal tuan pilih, apakah dada atau paha ayam mau digoreng atau dibakar? Semua tergantung selera yang tidak patut diperdebatkan.



Tentang paha atau dada ayam, survei membuktikan selera orang Indonesia umumnya lebih memilih paha ketimbang bagian dada. Boleh jadi mereka melihat daging paha ayam lebih 'berisi' dibandingkan dengan dada. 

Nah, terkait selera paha ayam sempat merepotkan pemerintah. Penghujung tahun 2009, Menteri Perdagangan RI, Mari Elka Pangestu diprotes pengusaha dan peternak unggas, antara lain yang bernaung dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI) dan Persatuan Peternak Ayam Nasional (PPAN). Mereka protes karena pemerintah berniat membuka keran impor paha ayam dari Amerika Serikat (AS) tanpa batas. Pengusaha unggas dalam negeri cemas karena hal itu bakal mematikan usaha mereka.

Mengapa harus impor paha ayam dari Amerika? Lagi-lagi menyangkut selera. Penduduk negeri Barack Obama itu lebih suka konsumsi dada ayam, sehingga produk paha ayam AS yang mencapai 3 juta ton per tahun dilempar ke negara lain seperti Indonesia yang orang-orangnya lebih suka paha dan sayap ayam. Karena tidak dibutuhkan warga Amerika, paha ayam masuk ke Indonesia dengan harga murah. Harganya cuma 50 sen dolar AS atau Rp 5 ribu per kilogram. Maka wajar bila GAPPI dan PPAN protes. Jika serbuan paha ayam impor tak dibatasi pemerintah maka usaha sekitar 3 juta peternak dan industri pemotongan ayam Indonesia akan mati lemas.

Dibandingkan negara lain di Asia Tenggara, konsumsi ayam potong di Indonesia tergolong rendah yakni hanya 4,8 per kilogram per kapita per tahun. Bandingkan dengan Filipina 6,80, Thailand 12,10 atau Malaysia dengan konsumsi rata-rata nasional sebesar 36,30 kg per kapita per tahun.

Meski tingkat konsumsi tergolong rendah, Indonesia ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan daging ayam dalam negeri sehingga harus diimpor meski dalam jumlah yang dibatasi pemerintah. Soal kebutuhan daging, bukan cuma ayam yang kita impor. Sampai detik ini Indonesia masih mengimpor daging sapi. Bahkan garam pun kita masih impor.

Data tersebut memberi gambaran bening bahwa usaha peternakan ayam merupakan peluang bisnis yang menggiurkan. Sayang belum banyak orang mau menggelutinya. Coba tuan dan perhatikan restoran atau rumah makan di beranda Flobamora yang menyiapkan menu daging ayam. Hampir pasti ludes. Meski harganya terbilang mahal, anak NTT tetap mengincar paha ayam. "Ko enak na," kata orang Kupang. He-he-he...

Banyak keluarga di sini yang pusing bila mau menggelar sebuah hajatan karena tidak mudah mendapatkan ayam pedaging sesuai kebutuhan. Baru-baru ini stok ayam pedaging di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai menipis drastis sehingga harganya melejit, sempat menembus angka Rp 75 ribu per ekor. Maklum sebagian besar ayam pedaging didatangkan dari Surabaya.

Masih banyak sisi menarik dari kepribadian ayam. Tidak sekadar paha atau dada. Kalau ayam betina mau bertelur dia akan berkotek dulu sampai seluruh ayam betina sekampung serta pemiliknya tahu bahwa dia mau bertelur. Si ayam betina tidak peduli alias malas tahu meski kenyamanan warga sekampung sangat terusik oleh kotekannya. Dia baru diam saat menghasilkan telur sebutir. Jika hendak bertelur sebutir lagi, ayam betina berkotek lagi. Bikin ribut lagi!

Beda sekali dengan bebek betina. Bila mau bertelur, dia diam-diam saja. Tanpa suara. Tidak berteriak seperti ayam. Tiba-tiba saja yang empunya bebek kaget setengah mati karena bebeknya telah menghasilkan telur yang sama gizinya dengan telur ayam. Perilaku ayam makin jauh kelasnya bila dibandingkan penyu yang menghasilkan ribuan butir telur justru dalam keheningan.

Mari kita tanya diri. Apakah kita menganut falsafah ayam betina yang nyaring berkotek untuk sebutir telur ataukah mengusung falsafah bebek dan penyu. Menghasilkan karya luar biasa tanpa retorika. Lebih banyak berbuat daripada omong. Lebih suka bekerja daripada bicara hingga mulut berbusa.

Sebelum berpisah dari ruangan ini, beta mau titip ala kadarnya buat saudara- saudariku yang baru saja memilih pemimpin kampung di sejumlah wilayah Flobamora. Lihat dan simak, apakah pemimpinmu mengusung falsafah ayam betina atau bebek betina? Kalau soal rasa, paha ayam betina dan bebek betina rasanya sama-sama enak bukan? (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 15 November 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes