KITA adalah homo ludens, makhluk bermain. Maka bermainlah adik. Jadilah pemain, main sesuai aturan main. Jika permainanmu dimainkan main-main hasilnya sekadar mainan. Tiada berguna. Kau akan jadi korban permainan, terhempas dari gelanggang kehidupan yang demikian keras.
Kata-kata manis itu acap diucapkan para senior saat membina anak baru di organisasi ekstra kampus tahun 1980-an dulu. Pembinaan iman kali otak kali watak selalu dikemas dalam suasana bermain. Ada waktu bermain logika. Ada saat mainkan rasa. Rasa dan nalar mesti seimbang. Nalar semata dunia akan kehilangan hati. Rasa melulu hidup enggan mati tak mau.
Urusan main, pemain, bermain, permainan dan aturan main kini menghangatkan Indonesia yang baru sepuluh hari menghirup udara 2011. Juga memanasi tungku beranda Flobamora yang hari-hari ini terus diguyur hujan disertai angin.
Di fora nasional hardikan perang terlontar dari mulut Nurdin Halid, ketua umum PSSI, merespons inisiatif Arifin Panigoro menggulirkan Liga Primer Indonesia (LPI) mulai 8 Januari 2011. Pemain yang bermain di klub peserta LPI haram masuk tim nasional karena kompetisi tanpa dana APBD tersebut dianggap ilegal. Nurdin berdalih sesuai aturan main PSSI dan FIFA hanya mengakui kompetisi sepakbola di bawah asuhan PSSI yaitu Liga Super Indonesia (LSI). Wuih!
Hardikan itu sungguh membilur luka. Masyarakat Indonesia yang baru saja mereguk secuil bahagia atas penampilan apik tim Garuda di ajang Piala AFF selama Desember 2010, meski gagal menjadi juara, tiba-tiba sadar menjejak bumi yang getir. Betapa negeri ini amat riang mencabik-cabik. Melukai.
PSSI kobarkan perang terhadap LPI. Konfrontasi. Ganyang habis. Lebih garang ketimbang semangat ganyang Malaysia yang gagal Merah Putih taklukkan di final Piala AFF 2010. Kental benar arogansi pengurus organisasi tertinggi persepakbolaan nasional. Jalan dialog seolah tabu di medan bola Indonesia.
Sebagai ajang kompetisi yang dicita-citakan menjadi profesional dan menjujung tinggi fair play, seyogianya LPI diberi kesempatan dulu untuk membuktikan misinya tanpa harus diganggu. Ini belum apa-apa PSSI sudah main ancam. Tebar teror! Atas nama aturan main, inisiatif LPI dimainkan PSSI sedemikian rupa agar layu sebelum berkembang.
PSSI tidak berperan sebagai induk yang memelihara anak-anak bola Indonesia agar tumbuh besar dan berjaya. Oleh kepentingan terselubung PSSI justru menjadi pemain. Pemain dengan karakter menyerang siapa saja yang dianggap mengganggu privelesenya. Jangankan level Asia atau dunia, sekadar jawara di Tenggara Asia pun sekadar mimpi bila mengelola sepakbola dengan cara main-main semacam ini.
Pemain paling yahud alias top markotop tak pelak lagi milik Gayus Tambunan.
Gayus mempermainkan aturan main serta keangkeran Tahanan Brimob dengan uangnya berkarung-karung. Setelah heboh pelesir ke Bali yang wajahnya terekam kamera wartawan, tanggal 24-30 September 2010 Gayus juga melakukan perjalanan ke luar negeri yakni ke Makau dan Kuala Lumpur dengan paspor palsu, rambut palsu, identintas palsu. Namanya Sony Laksono. Dapat paspor dari kantor imigrasi menggunakan jasa calo.
Negeri ini kalah melawan seorang Gayus yang mungkin berprinsip terlanjur basah lebih baik mandi sekalian. Semua orang tahu kelihaian Gayus memainkan aturan perpajakan demi perkaya diri. Uang gemuk, kenapa tidak dipakai? Selagi mungkin manfaatkan kesempatan. Mumpung penjaga tahanan juga muka uang. Sekali sorong langsung monyong. Dengan uang Gayus menunjuk bukti bahwa dia tidak sendirian. Gayus bukan pemain tunggal di medan laga korupsi, kolusi dan nepotisme. Hampir semua lini penegak hukum merupakan pemain profesional.
Republik ini mirip kartel yang dikendalikan para bandit dan penggarong. Fiat justitia et ruat coelum. Keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh adalah utopia di negeri kita. Langit hukum di ini negeri telah runtuh beribu kali. Dewi hukum berderai air mata oleh permainan memuakkan.
Saat heboh Gayus pelesir ke Bali terungkap medio November 2010, pemimpin negeri berkoar dalam waktu sepuluh hari kasus itu masuk pengadilan. Puihh... omong kosong belaka. Hampir dua bulan sudah proses hukumnya tidak jelas. Kalau di jantung ibukota negara saja cara kerjanya semacam itu, apalagi jauh di dusun seperti Nusa Tenggara Timur. Hancur-lebur.
Dalam dua tahun terakhir beribu kali media mewartawakan penahanan batu mangan oleh aparat negara karena melawan aturan main. Belum seorang pun masuk bui karena mangan. Maklumlah semua pemain profesional. Mangan adalah uang. Menjadi kabur air siapa pemain, siapa wasit, siapa penjaga.
Di ujung Timur Nusa Bunga yang kaya panorama gunung dan laut membiru, permainan tak kalah menggemparkan. Setahun sudah Pemilu kada Flores Timur jalan di tempat. Pengatur laku telah berganti tapi perang, perang dan perang lagi. Semua ingin menang sendiri. Perjuangkan kepentingan sendiri.
Semua jadi pemain, entah kiri dalam atau kanan luar. Aturan main dimain-mainkan. Menjadi bola permainan baru. Repotnya lagi semua mau menjadi pemain menyerang. Serang sana serang sini. Tak ada yang berbesar hati menjadi wasit saja. Pengamat saja. Menjadi penengah atau pengayom menuju solusi. Lilin sudah lama redup di Nagi. Sedih. Energi rakyat nyaris terkuras habis.
Energi juga tercurah di Kota Kupang. Jalan buntu ketika elite eksekutif dan legislatif membahas anggaran untuk pembangunan dan pemerintahan tahun 2011. Mereka bertemu tapi tak saling sapa. Bersua tanpa jumpa. Kau di sana, aku di sini. Ini dadaku, mana dadamu? Dialog seolah haram. Pintu maaf terkunci rapat. Natal Bersama dengan pesan damai riuh rendah bergema di kota seribu gereja ini. Hallo para pemimpin, tunjukkan secuil kepada kami apa makna pesan damai dan kasih itu? Main, pemain, permainan, aturan main, main aturan, main-main, mainkan, mainan dimain-mainkan untuk permainanmu?
Saat guntur mencabik langit Kupang, angin dan hujan tumpah berjam-jam lamanya sepanjang akhir pekan lalu, seorang teman menulis status di akun FB-nya. Tuhan e.., apakah ini tanda-tanda ada yang mau tumbang ko? Tuhan tahu meski Ia tak menyahut.
Beta berkomentar, bukan lagi-lagi tanda-tanda bung, memang sudah ada yang tumbang! Ya, itu... beberapa pohon di dekat pondok tinggalku di Kolhua. Dia ngakak dari balik telepon. Senang beta masih ada tawa di Kota KASIH, di tengah telaga kasih yang kian mengering. (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang Senin, 10 Januari 2010 halaman 1