ilustrasi saja |
Sejak Nagekeo menjadi daerah otonom, Mbay sontak berubah wujudnya menuju kota nomor dua terbesar di utara Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur setelah Maumere, Sikka. Mbay tidak lagi sekadar kampung dengan hamparan sawah dan padang penggembalaan ternak yang luas. Mbay kini menjadi simbol sekaligus titik simpul pergerakan ekonomi menuju masyarakat Nagekeo yang taraf hidupnya lebih baik, lebih sejahtera dan makmur dibandingkan kondisi pra otonomi.
Status Mbay sebagai ibu kota Kabupaten Nagekeo menebarkan daya pikat tersendiri. Sejak sekitar enam atau tujuh tahun lalu banyak orang pun berbondong-bondong menuju Mbay. Mereka mau berinvestasi di sana dalam beragam lapangan usaha. Dampak yang langsung terasa adalah harga tanah menjadi mahal sekaligus menimbulkan silang sengketa yang pelik.
Menurut catatan kita, sudah banyak konflik tanah yang terjadi di Mbay selama ini. Sebagaimana lazimnya di wilayah Flores, status kepemilikan tanah menjadi pelik manakala lahan itu merupakan hak ulayat suatu masyarakat adat. Seseorang atau sekelompok orang tidak serta-merta boleh mengklaim sebagai pemilik hak ulayat.
Salah urus dalam konflik tanah menyebabkan sebagian keluarga tercerai-berai gara-gara memperebutkan hak kepemilikan. Tak sedikit juga warga masyarakat yang dirugikan karena status kepemilikan tanah yang tidak jelas bahkan terkatung-katung penyelesaiannya. Investor enggan menanamkan modal bahkan lari ke daerah lain bila tanah status di Mbay tidak jelas secara hukum.
Duet pemimpin Nagekeo, Elias Djo dan Paul Nuwa Veto agaknya menyadari masalah sosial yang rumit tersebut. Mereka pun bertekad memberikan solusi dengan menjadikannya sebagai satu di antara program prioritas Kabupaten Nagekeo. Fokus menyelesaikan konflik tanah lewat pendekatan adat dan budaya telah ditetapkan sebagai program prioritas dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) RPJMD Kabupaten Nagekeo 18 Juni 2014. Program prioritas pemerintah tersebut sudah selayaknya didukung oleh semua pemangku kepentingan di Mbay dan Nagekeo pada umumnya.
Bila konflik tanah di Mbay dapat diminimalisir, maka iklim yang kondusif tersebut akan memberi rasa nyaman kepada semua pihak. Kita pun bisa memastikan investasi akan mengalir deras ke wilayah tersebut karena ada jaminan kepastian hukum soal status tanah, perizinan, keamanan dan lainnya.
Sudah banyak contoh konkret investor membatalkan niatnya karena masalah tanah yang tak kunjung tuntas. Kita memberi apresiasi terhadap langkah Pemerintah Kabupaten Nagekeo menuntaskan konflik tanah. Semoga program prioritas ini dilaksanakan dengan kesungguhan hati demi mencapai sasaran yang diharapkan. (*)
Sumber: Pos Kupang edisi Kamis, 26 Juni 2014 halaman 4