MASIH dalam suasana perayaan HUT ke-68 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), kita dikejutkan dengan sejumput warta berikut ini dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur. Anggota Kepolisian Resor (Polres) Kupang Kota, Carlos Wiliam Amalo (30), yang tiga bulan lalu dipindahkan dari Polres Ngada, ditetapkan masuk daftar pencarian orang (DPO) dalam kasus penggelapan sejumlah mobil rental.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kupang Kota, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Tito Basuki Priyatno, didampingi Wakapolres Kupang Kota, Komisaris Polisi (Kompol) Yulian Perdana, menyampaikan hal ini saat ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Selasa (8/7/2014). Tito menjelaskan, Carlos sudah melakukan penggelapan mobil sejak bertugas di Polres Ngada dan puncaknya di Kota Kupang ketika muncul banyak pengaduan dari para pemilik mobil rental.
"Saat ini kami telah mengamankan lima mobil sebagai barang bukti. Empat mobil sudah dibuat laporan polisi. Modus yang dimainkan pelaku dalam menjalankan aksinya, yaitu dia sengaja menyewa mobil rental lalu dia gadaikan," demikian Tito.
Lain Carlos lain lagi oknum polisi di Lewoleba, Kabupaten Lembata. Pekan lalu seorang oknum polisi berinisial Mah ditangkap anggota Polres Lembata bersama tiga kontraktor. Mereka pun ditetapkan sebagai tersangka kasus narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba). Empat tersangka ikut dalam jaringan pemasaran barang haram tersebut dari Makassar, Sulawesi Selatan. Pada saat hampir bersamaan dua oknum polisi di Bajawa Kabupaten Ngada ditangkap polisi karena terlibat perjudian.
Jika mau dilitanikan agaknya masih panjang daftar tindakan oknum polisi yang merusak citra kepolisian. Pertanyaan menarik bagi kita hari ini adalah mengapa secara kuantitas makin tinggi saja kecenderungan oknum Polri bertindak merusak?
Pendapat Kriminolog Reza Indragiri Amriel bisa menjadi acuan pencerahan. Reza Amriel, seperti dikutip Kompas.Com, Rabu (6/11/2013), mengkritis rekrutmen anggota Polri yang tidak cermat. Masalah itu lalu menghasilkan tiga subkultur di tubuh Polri, yakni sub-kultur brutalitas, sub-kultur korup dan chauvinism. Dalam pembinaan anggota Polri jarang disentuh secara psikologis.
"Berapa banyak polisi yang pernah menjalani konseling? Sangat minim," kata Amriel. Kerapuhan psikologis mendorong mereka beradaptasi dengan cara merusak seperti terlibat kasus narkoba, gelapkan barang dan sebagainya.
Kita sependapat bahwa penanganan psikologi personel belum menjadi prioritas institusi Polri. Polri masih dominan melakukan pendekatan hukum semata. Anggota yang salah ditindak. Selesai perkara! Padahal ada sisi kemanusiaan mereka yang perlu disentuh. Yang sedang rapuh mentalnya patut didampingi, ditolong. Demi melahirkan sosok anggota Polri yang dapat dipercaya masyarakat, maka sudah seharusnya pimpinan Polri tidak tinggal diam berpangku tangan. Masalah psikologis yang akut ini harus dibenahi. Selekas mungkin! *
Sumber: Pos Kupang 11 Juli 2014 halaman 4