Watu Maladong |
Sang petani tak habis pikir bagaimana babi- babi itu bisa masuk ke dalam kebunnya yang sekelilingnya dipagar tinggi. Pintu masuk kebunnya pun selalu tertutup dan dikunci kalau sang petani pulang ke rumah.
Rasa penasaran membuat sang petani memutuskan untuk menunggui kebunnya malam itu. Dengan bekal tombak sakti warisan leluhurnya, Numbu Ranggata, sang petani duduk diam di atas sebuah pohon sambil mengamati sekeliling. Dugaan petani itu benar. Tak berapa lama ia menunggu, terdengarlah suara sekawanan babi hutan mendatangi kebunnya. Sungguh aneh, kawanan babi itu mampu menembus tembok pembatas kebunnya dengan mudah.
Sang petani mengamati seekor babi yang tengah asyik memakan umbi keladi persis di bawah pohon tempat ia duduk. Karena penasaran, sang petani melempar tombak Numbu Ranggata miliknya yang tepat mengenai perut babi sial itu. Sekawanan babi hutan itu langsung pergi meninggalkan kebun begitu mengetahui ada anggotanya yang terluka. Tombak Numbu Ranggata milik sang petani itupun ikut terbawa pergi.
Pagi- pagi sekali sang petani mulai menyusuri jejak darah dari perut babi yang terluka. Kali ini bukan hanya rasa penasaran yang ada di hatinya, sang petani juga resah karena tombaknya ikut terbawa. Tombak Numbu Ranggata miliknya itu harus kembali. Tombak itu adalah tombak sakti yang diwariskan leluhurnya turun temurun.
Lagi lagi timbul keanehan. Jejak darah si babi hutan berhenti di tepi pantai. Sang petani bingung bagaimana mungkin kawanan babi itu datang dari pulau lain. Hal itu membuat sang petani termenung beberapa saat di tepi pantai. Ia tak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi.
Tiba tiba sang petani dikejutkan oleh sebuah suara yang menyapanya. "Apa yang sedang kau lamunkan hai manusia ?", tanya seekor penyu yang rupanya bisa bercakap- cakap. Lagi lagi sang petani terkejut. Belum pernah ia bertemu dengan hewan yang mampu berbicara layaknya seorang manusia.
Meski jantungnya masih berdebar kencang karena terkejut, sang petani menceritakan apa yang dialaminya kepada si penyu. "Aku akan mengantarmu ke pantai seberang jika kau mau," tawar penyu kepada sang petani. "Aku yakin kau akan menemukan apa yang kau cari di sana", ujarnya lagi.
Sang petani semula ragu untuk menerima tawaran penyu besar itu. Namun ketakutannya dikutuk karena telah menghilangkan tombak sakti warisan leluhurnya, membuat sang petani akhirnya setuju. Ia pun segera naik ke punggung penyu. Si penyu bergerak membawa sang petani ke pulau seberang.
Setelah menempuh perjalanan sehari semalam, tibalah penyu dan sang petani di sebuah pulau berpantai indah. "Semoga kau menemukan apa yang kau cari di sini," kata penyu seraya pamit kepada sang petani. "Jika kau memerlukanku, panjatlah sebuah pohon di pantai dan berteriaklah ke arah laut, aku akan datang menjemputmu," pesannya lagi.
Tak lama kemudian penyu itu kembali berenang ke tengah laut.
Sang petani berjalan menyusuri pantai sambil berharap menemukan seseorang tempat ia bertanya. Tak memerlukan waktu lama matanya menangkap sebuah rumah sederhana tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia segera menghampiri rumah itu dan mengetok pintunya. Sang petani berharap empunya rumah bisa memberinya petunjuk.
Pemilik rumah itu adalah seorang nenek yang tinggal seorang diri. Setelah memberikan sang petani sedikit makan dan minum, si nenek menanyakan apa maksud kedatangan sang petani ke pulau itu. Ia mendengarkan cerita sang petani sambil terkadang menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Aku paham ceritamu. Babi- babi yang merusak kebunmu adalah babi jadi jadian dari pulau ini," kata si nenek. "Mereka adalah sekelompok manusia yang mempunyai ilmu gaib. Mereka merupakan orang- orang yang menguasai pulau ini," tambahnya lagi. Kelihatannya si nenek tahu pasti tentang penduduk pulau tempatnya berdiam.
Sang petani sungguh senang karena pertanyaannya tentang babi- babi yang merusak kebunnya terjawab sudah. Namun demikian ia tak dapat meninggalkan pulau itu tanpa membawa pulang tombak saktinya, Numbu Ranggata. Beruntunglah nenek yang baik hati itu mau melatih sang petani beberapa jurus ilmu sakti yang ia miliki.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah nenek itu, sang petani segera pergi ke perkampungan sesuai petunjuk si nenek. Di sana ia tinggal sebagai pendatang yang diterima bekerja pada seorang penduduk yang cukup berada. Dari hari ke hari sang petani terus memasang telinganya dengan baik. Ia senantiasa menyimak setiap pembicaraan orang di sekitarnya. Sang petani berharap segera memperoleh informasi yang ia perlukan.
Pada suatu malam tanpa sengaja sang petani mendengar percakapan tuannya tentang kepala suku mereka yang sedang sakit. Sudah banyak tabib yang mencoba mengobatinya, bahkan yang didatangkan dari pulau - pulau lain, namun semuanya gagal. Sang kepala suku masih saja terbaring sakit.
Sang petani memberanikan diri untuk mengobati kepala suku itu. Ia pun memohon bantuan tuannya untuk dibawa ke kepala suku. Sang petani menduga kepala suku dan keluarganya adalah orang orang sakti pemilik ilmu gaib seperti yang diceritakan si nenek.
Keesokan harinya, dengan ditemani tuannya, sang petani berhasil menemui kepala suku. Atas izin keluarga yang mulai putus asa, sang petani melihat kondisi kepala suku. Rupanya firasat petani itu benar adanya. Matanya langsung tertuju pada perut sebelah kanan kepala suku yang terus meneteskan darah. Ia teringat akan tombaknya yang menancap di perut seekor babi jadi jadian tempo hari.
"Kalau boleh saya menebak, apakah perut bapak tertikam sebilah tombak ?", tanya sang petani langsung pada kepala suku. Kepala suku dan seluruh anggota keluarganya yang ada di ruangan itu terkejut. Mereka tak menyangka sang petani mengetahui penyebab sakitnya kepala suku.
Kepala suku mengangguk perlahan seraya berkata, "Ya, perutku tertikam tombak," ujarnya pelan. "Jika kau berhasil mengobati lukaku ini, aku akan memberikan apa saja yang kau mau," janjinya lagi.
Kepala suku berharap sang pendatang di kampungnya itu mampu mengobatinya. "Baiklah..", kata sang petani singkat. "Besok pagi aku akan kembali membawa ramuan untuk bapak minum," ujarnya lagi. Sang petani dan tuannya segera pamit pulang.
Sore itu sang petani datang lagi menemui nenek tua di tepi pantai. Sang nenek memberinya ramuan untuk mengobati kepala suku. "Jika kepala suku itu telah sembuh, selain tombak Numbu Ranggata milikmu, mintalah juga batu yang disebut Watu Maladong miliknya. Batu itu mampu menciptakan sumber air dan menumbuhkan tanaman palawija dimana saja yang kau kehendaki," kata si nenek lagi.
Sang petani tertarik sekali atas usul si nenek, iapun menyetujuinya. Si nenek memberinya beberapa jurus ilmu sakti lagi kepada sang petani. Si nenek tahu kepala suku itu tak akan memberikan Watu Maladong dengan cuma - cuma. Ia pasti akan mengajak sang petani mengadu kesaktian lebih dulu.
Sungguh ajaib, ramuan sakti yang diberikan sang petani kepada kepala suku langsung membuat lukanya sembuh. Kepala suku seketika itu juga merasa dirinya pulih seperti sediakala. Hatinya sungguh senang. Ia sangat berterima kasih kepada sang petani.
"Apa yang kau minta sebagai balasan atas jasamu menyembuhkanku ?", tanya kepala suku kepada sang petani. "Kalau tak keberatan, ada dua permintaanku", kata sang petani sambil menatap kepala suku. "Aku minta tombak yang menghujam perutmu dikembalikan. Sesungguhnya tombak itu adalah milikku yang merupakan warisan dari leluhurku," kata sang petani perlahan.
Wajah kepala suku merah padam mendengar ucapan sang petani. "Berarti orang ini mengetahui rahasia keluargaku yang bisa menjadi babi jadi -jadian," pikirnya sambil mencoba menahan amarah. "Bukankah ia yang melemparkan tombaknya ke perutku sewaktu aku berwujud seekor babi ?", ujar kepala suku dalam hati sambil menatap tajam ke arah sang petani.
"Baiklah..", kata kepala suku singkat dengan suara bergetar.
"Aku akan mengembalikan tombakmu," katanya singkat. "Lalu apa permintaanmu yang kedua ?", tanyanya tak sabar. Sang petani semula ragu mengutarakan keinginannya. Tapi mengingat kampung halamannya memerlukan mata air dan tanaman palawija yang bisa tumbuh subur di sana, akhirnya ia berkata. "Aku menginginkan Watu Maladong milikmu," ujarnya dengan suara sedatar mungkin. "kampungku memerlukannya", tambahnya lagi sambil mengamati reaksi kepala suku.
Kepala suku bagaikan disambar petir mendengar permintaan sang petani. "Tentulah orang ini bukan orang sembarangan", pikirnya mengambil kesimpulan. "Kalau tidak, bagaimana mungkin ia tahu Watu Maladong kepunyaanku ?", gumamnya perlahan sambil menahan tubuhnya yang mulai gemetar menahan emosi.
"Kau tahu kesaktian Watu Maladong milikku bukan ?", tanya kepala suku. Sang petani mengangguk. "Aku akan memberikannya padamu dengan satu syarat," ujar kepala suku dengan tegas. "Kau harus bisa mengalahkan kesaktianku lebih dulu," kepala suku berkata sambil berdiri. "Jika kau setuju, aku menunggumu nanti malam untuk bertempur di tanah lapang belakang rumahku".
Sang petani setuju. Ia kembali ke rumah si nenek di tepi pantai sambil membawa Numbu Ranggata yang dikembalikan kepala suku kepadanya. "Tak usah gentar," kata si nenek kepada sang petani yang terlihat ragu. "Sesungguhnya kaupun memiliki kesaktian sebagai pemilik Numbu Ranggata," ujar si nenek pelan.
"Kau bisa mendatangkan petir dengan mengarahkan tombakmu ke langit," lanjutnya lagi. "Petir itu akan menyambar siapa saja yang menjadi lawanmu".
Sang petani mendengarkan kata - kata si nenek dengan seksama. "Satu hal yang perlu kau ketahui", si nenek berkata sambil memandang ke arah laut. "Jurus andalan mereka adalah mengguncang bumi. Jangan panik jika bumi mengguncangmu. Diam saja dan menyatulah dengan bumi. Niscaya goncangannya akan segera berhenti," lanjut si nenek membuka rahasia kepala suku.
Setelah mendengar penjelasan si nenek, petani itu yakin dirinya akan menang bertarung melawan kepala suku. Ketika matahari mulai terbenam, ia berangkat menuju rumah kepala suku dengan membawa tombak saktinya.
Seluruh keluarga kepala suku telah berkumpul di lapangan belakang rumah mereka. "Lawanlah putra sulungku," kata kepala suku sambil berdiri menyambut kedatangan sang petani. "Jika kau berhasil mengalahkannya maka itu berarti kau telah mengalahkanku," katanya seraya menepuk - nepuk pundak seorang pemuda yang berdiri di sampingnya.
Pertempuran pun dimulai. Setelah beradu kesaktian lewat perkelahian sengit, sang petani dan putra kepala suku sama- sama tangguh. Mereka telah bertempur selama dua jam lebih ketika akhirnya putra kepala suku menggunakan jurus andalannya. Ia segera memejamkan mata, menunjuk bumi dengan kedua belah telapak tangannya dan seketika itu juga bumi tempat sang petani berdiri berguncang dengan hebatnya.
Sang petani teringat akan kata- kata si nenek. Iapun segera berbaring sambil memegang Numbu Ranggata di tangan kanannya. Matanya terpejam, ia membiarkan tubuhnya seolah olah menyatu dengan bumi. Sang petani merasakan bumi terbelah dan ia tertelan bumi. Meski sedikit panik, ia terus memejamkan mata sambil menenangkan diri. Cukup lama sang petani merasakan tubuhnya terguncang sebelum akhirnya guncangan itu semakin berkurang. Kira- kira satu jam kemudian sang petani mendapati dirinya berada dalam posisi terlentang di atas tanah tempatnya berdiri. Sang petani bersyukur dirinya baik baik saja.
Tak mau membuang waktu, sang petani segera mengarahkan tombak saktinya ke arah langit malam. Tak lama kemudian petir menyambar membelah langit yang gelap. Sinarnya sungguh menyilaukan mata. Sebuah petir yang diikuti suara menggelegar menyambar tubuh pemuda lawannya. Tubuh sang pemuda itu hangus terbakar. Seketika itu juga sang pemuda tewas.
Kepala suku dan seluruh keluarganya memekik. Mereka terkejut melihat kematian sang pemuda. Meski menahan kesedihan yang begitu mendalam, kepala suku berjiwa besar dan menerima kekalahannya. Ia menyerahkan Watu Maladong yang sedari tadi dibawanya kepada sang petani.
"Batu ini ada tiga," katanya sambil menyerahkannya kepada sang petani. "Ketiga batu ini akan mengeluarkan air di tempat yang kau inginkan. Ketiganya juga akan menumbuhkan padi, jagung, dan jewawut di tanah kelahiranmu kelak," tambahnya. Kepala suku dan seluruh keluarganya mengantarkan sang petani ke pinggir desa.
Sang petani yang membawa Numbu Ranggata dan Watu Maladong itupun singgah di rumah nenek yang telah menolongnya untuk pamit. Ia memanjat pohon kelapa di depan rumah si nenek dan memanggil penyu yang segera datang untuk membawanya pulang kembali ke Sumba. Ia naik ke punggung penyu dan menghilang di lautan.
Watu Maladong yang dibawa sang petani memberikan empat mata air di Sumba, yaitu mata air Nyura Lele di Tambolaka, mata air Weetebula di Weetebula, mata air Wee Muu di perbatasan Wewewa Barat dan Wewewa Timur dan mata air Weekello Sawah di Wewewa Timur yang bentuknya menyerupai juluran lidah seekor naga. Ketiganya juga menumbuhkan padi, jagung, dan jewawut di tanah Sumba.(gem/berbagai sumber)
Sumber: Pos Kupang 8 Januari 2017 hal 4