ilustrasi |
Wartawan, tinggal di Kupang
Medio pekan lalu, tepatnya hari Kamis, 2 November 2017, Kota Kupang geger. Sekelompok orang, beberapa di antaranya aparatur sipil negara (ASN), `menyerbu' Wakil Walikota Kupang, dr. Herman Man, di ruang kerjanya. Mereka bertindak kasar terhadap wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat itu.
Kejadian ini kita nilai geger. Geger karena sangat jarang terjadi di Tanah Air seorang kepala daerah dimarahi ASN yang pangkat, jabatan dan golongannya masih kecil. Kalau insiden ini terjadi di rumah pribadi seorang warga bernama dr. Herman Man dan di luar jam dinas, maka soal dan urusannya bersifat privat dan bisa diselesaikan di rumah dengan hukum adat.
Tetapi karena terjadi di ruang kerjanya di Kantor Walikota Kupang terhadap Wakil Walikota Kupang pada jam dinas, maka soalnya sudah berat dan terbuka ruang sangat besar untuk diselesaikan di sidang pengadilan melalui hukum positif. Ada seperangkat aturan hukum yang bisa digunakan dalam memroses kasus ini.
Tulisan ini tidak melihat insiden itu dari sudut pandang dugaan pelanggaran peraturan yang dilakukan ASN terhadap seorang wakil kepala daerah. Sebaliknya tulisan hanya fokus menyoroti kekuatan pengaruh media sosial (medsos) di ruang publik saat ini dengan membawa efek yang juga luar biasa dan di luar dugaan.
Efek Medsos
Yang mengejutkan adalah kejadian itu direkam menjadi video dan kemudian ditayangkan di medsos. Tak pelak, dalam hitungan jam saja, kejadian itu berulang-ulang ditayang. Sampai dengan hari Minggu (5/11/2017), atau tiga hari setelah kejadian, video itu sudah 14 ribu lebih kali ditayangkan. Ketika tulisan ini Anda baca, boleh jadi insiden itu telah ditayangkan puluhan ribu kali.
Karena ditayang ulang berkali-kali, kejadian itu kemudian menjadi viral. Dalam dunia maya, viral itu artinya suatu kejadian yang lagi ngetren, terkenal dan menyebar luas secara cepat karena banyaknya orang yang membaca, menonton dan kemudian mengunggahnya kembali.
Kata "viral" digunakan untuk menyebut sesuatu yang menyebar dengan cepat di internet. Sebuah gambar, tulisan/artikel, atau blog yang dibagikan secara massif oleh orang banyak disebut viral.
Dalam catatan Etymologi Online Dictionary, kata ini sudah muncul sejak tahun 1944. Kata ini diartikan sebagai "segala sesuatu yang berkaitan dengan virus". Virus sendiri adalah istilah dari ilmu kedokteran untuk menyebut mikroorganisme yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, penyebar penyakit tertentu.
Kata virus belakangan juga digunakan untuk menyebut software jahat (ilegal) yang dimasukkan ke dalam sistem komputer melalui jaringan atau flash disk sehingga menyebar dan dapat merusak program yang ada.
Ada kesamaan esensial dari kata "virus" yang dipakai dalam bidang kedokteran dengan kata yang sama dalam bidang komputer. Kedua-duanya digunakan untuk menyebut sesuatu yang cepat menyebar. Kesamaan itulah yang digunakan sebagai arti kata "viral. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, `viral' diartikan sebagai "bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus."
Apakah kejadian yang sudah viral di Kantor Walikota Kupang itu hoax? Kata hoax berarti memperdayai atau mengelabui. Pada dasarnya hoax itu berbeda dengan fake news (berita bohong, berita palsu). Pada hoax masih terdapat fakta, tetapi fakta itu sangat dilebih-lebihkan atau didistorsi, dipelintir untuk mendukung isu yang sedang aktual diperbincangkan. Sebaliknya fake news tidak merujuk fakta apa pun. Singkat kata pada fake news itu memang tidak ada fakta.
Meski berbeda secara mendasar, hoax dan fake news punya tujuan sama, yakni membohongi orang lain dengan merekayasa fakta yang ada menjadi sangat provokatif atau menampilkan `fakta' dari praktik-praktik ilusif. Contoh hoax yang paling fenomenal di Tanah Air adalah serbuan tenaga kerja dari China beberapa tahun lalu.
Faktanya benar bahwa ada serbuan tenaga kerja dari China. Jumlahnya puluhan ribu. Tetapi oleh pembuat hoax, jumlah tenaga kerja dari China itu digelembungkan hingga menjadi dua puluhan juta. Tujuannya menciptakan kekacauan atau kekisruhan untuk memompa semangat anti China.
Di dunia jurnalisme ada juga media yang suka membuat kehebohan dengan menampilkan hoax. Media-media seperti ini berpegang teguh pada adagium ini: if it bleeds, it leads. Jika informasi yang dipelintir itu mampu menciptakan pertikaian yang sungguh brutal, maka semakin layak dirayakan penuh kehebohan.
Dengan penjelasan serba singkat ini jelaslah bahwa insiden di Kantor Walikota Kupang yang jadi viral itu bukan hoax. Kejadian itu ditampilkan apa adanya sesuai fakta yang terjadi. Walikota Kupang, menurut koran harian yang beredar di Kupang, sangat menyesalkan kejadian itu. Para pihak yang diduga terlibat dalam insiden itu, sebagaimana ditampilkan dalam video yang menyebar, juga sudah memberi penjelasan yang kemudian dikutip media mainstream (koran).
Penyesalan Walikota Kupang dan penjelasan mereka yang terlibat adalah bukti sah bahwa insiden Kamis pagi itu bukan hoax. Insiden itu benar terjadi dan diviralkan tanpa dilebih-lebihkan. Dia tampil utuh dengan durasi sekitar 6 menit.
Untuk konteks kita di NTT, agaknya inilah `informasi' yang paling banyak menyita perhatian publik. Dia (kejadian itu) ditayangkan ulang sebanyak belasan ribu kali, dibagikan dan disebar ribuan kali, serta ditonton puluhan ribu warganet di NTT dan luar NTT.
Fakta ini sekaligus menunjukkan betapa kuatnya efek media sosial. Inilah bukti betapa kekuatan medsos begitu dahsyat melebihi media mainstream (koran, majalah, televisi, radio, online/daring).
Perlu Bijak
Tetapi fakta ini sekaligus memperlihatkan sisi lain dari medsos. Yakni bahwa para penggunanya sangat sering lupa bahwa medsos itu tak ubahnya ruang publik yang membutuhkan etika dalam setiap interaksi di dalamnya. Banyak kita sering lupa ketika memegang smartphone kita tidak lagi sendirian. Satu kali pencet tanpa sadar membawa akibat yang sangat jauh dan tidak terbayang sebelumnya.
Maka, yang dibutuhkan adalah bijak melihat status atau postingan yang kita buat
sendiri. Sebisa mungkin menghindari postingan yang memicu pergolakan dalam norma yang berlaku di tengah masyarakat. Medsos memang dunia paling bebas menyampaikan pendapat. Akan tetapi sebisa mungkin menggunakan bahasa yang santun dan tdak menyakiti perasan orang lain ketika menyampaikan pendapat itu.
Kasus Wakil Walikota Kupang adalah contoh kasus yang tepat. Andaikata insiden itu tidak diposting ke media sosial, ceritanya tidak seheboh yang terjadi sekarang. Sangat boleh jadi orang pertama yang memosting insiden tersebut di medsos sama sekali tidak bermaksud jelek. Dia juga barangkali tidak membayangkan pencetan jarinya membawa dampak yang sangat luas.
Kita jadi ingat kasus yang pernah heboh di Tanah Air beberapa bulan lalu ketika seorang ibu rumah tangga bernama Sri Rahayu ditangkap Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Ibu rumah tangga berusia 32 tahun ini ditangkap karena menyebarkan ujaran kebencian di media sosial melalui akun facebooknya.
Medsos memang sudah menjadi `mainan' atau `hiburan' baru yang begitu digandrungi semua kalangan. Tetapi mainan baru ini ibarat pisau: berguna tetapi juga bisa membunuh. Maka perlu bijak dan butuh kesadaran penuh ketika memegang handphone. *
Sumber: Pos Kupang 9 November 2017 halaman 4