Gerson Poyk [PT Karya Unipress] |
SELAMA tiga tahun tinggal di Bajawa aku mendengar dari ibu bahwa aku adalah anak nomor lima dan adik perempuanku adalah si bungsu. Di pulau Rote, tepatnya di Nusak (Kerajaan) Ti ada empat saudara tiriku yang memakai nama marga (fam) Messakh. Si sulung bernama Benjamin B. Messakh, nomor dua bernama Mariana Messakh, yang ketiga bernama Dina Messakh dan keempat bernama Benyamin Messakh.
Nenekku dari ibu memang dari keluarga Messakh, kawin dengan ayah ibuku dari keluarga Manu yang tergabung dalam leo (suku-suku) Nalefeo yang pada gilirannya sub subsuku Nalefeo masih berkerabat dengan suku-suku Ndanafeo, Todafeo dan Mesafeo. Semua leo tersebut menurut adat Rote menyediakan isteri-isteri bagi para raja di kerajaan Ti (ejaan Belanda: Thie).
Suami pertama ibuku adalah seorang raja dari kerajaan Ti. Karena ia terlibat dalam perang suku dengan orang Dengka (sebuah kerajaan tetangga) maka Belanda membuang membuang dia ke pulauSumbawa dan Flores . Disana ia kawin lagi. Ibu minta cerai. Kawin lagi dengan raja baru bernama Thobias Messakh, ibu melahirkan dua orang anak yaitu Dina dan Benyamin. Tiba-tiba raja itu meninggal.
Perkawinannya dengan ayahku, melahirkan aku dan adikku yang dibawa ke Bajawa. Aku dilahirkan di pulau Rote seperti halnya keempat kakakku dan adikku lahir di pulau Semau, sebuah kecil di depan teluk Kupang. Semua itu aku dengar dari ibuku. Ibuku juga bercerita bahwa kakekku dari pihak ayah adalah seorang temukung besar kepala beberapa desa yang terkenal karena memperoleh beberapa bintang dari pemerintah karena jasanya selama tiga puluh tahun mengumpulkan pajak dan satu sen pun tidak dikorup. Juga aku pernah mendengar cerita bahwa di pulau Semau, ibuku pernah sakit keras.Ada infeksi parah di geraham ibuku tetapi untung dokter Belanda di Kupang dapat mengobatinya. Kemudian ayah dipindahkan ke Sumba , memimpin klinik di sebuah dusun bernama Langgaliru, terletak diantara Waingapu dan Waikabubak.
Kakakku Benyamin Besar, Mariana dan Benyamin kecil tinggal di Rote sedangkan kakak Dina ikut serta. Ikut juga Hosea Poyk (kami memanggilnya Papa Ose) dan Jeremias Poyk (Papa Mias). Di dusun itu menurut cerita ibu aku pernah jatuh dari atas kerangka mobil tua sehingga dadaku lembek dan batuk-batuk terus. Lalu aku dibawa seluruh keluarga melaluipadang savanna Sumba menuju ke sebelah barat, kekota kabupaten Waikabubak.
Menurut kakak perempuanku Dina, semuanya mengenderai kuda sedang ibuku bercerita bahwa angin mendesing siang dan malam dan batukku tak henti-hentinya. Semua itu tak kusadari. Di tahun 1985, aku sampai dengan bus ke Langgaliru. Berhenti di terminal asal jadi di tepi sungai bening, aku bertanya dalam hati dimanakah klinik yang dikepalai oleh ayahku? yang jelas aku pernah minum dari mata air bening di dusun itu, pernah mandi di sungai bening itu, tetapi semuanya tak kusadari, sampai usiaku memberi kesadaran akan dunia di kota kecil Bajawa, dimana ayahku naik pangkat dari kepala klinik menjadi Hoofdt Mantri yang mengepalai sebuah rumah sakit kabupaten
Pada suatu pagi aku berontak mati-matian karena ibu ingin membawaku ke sekolah. Ibu menggendong aku di pinggangnya dan aku menangis terus, menangis terus meronta-ronta sampai ke Sekolah Rendah yang terletak di seberang lapangan di depan rumah sakit. Sampai disana aku berhenti menangis karena aku melihat banyak anak-anak sebayaku.
Aku turun dari pinggang ibu dan guru menyambutku, mengangkat tanganku lewat kepala, menyuruh aku meraba telingaku. Sudah itu aku didaftarkan sebagai murid kelas satu tetapi boleh pulang. Sekolah baru mulai besoknya. Aku berkeliling sekolah itu. Aku melihat ada beberapa kantong terbuat dari anyaman daun pandan, seperti kresek plastik zaman sekarang, berisi sesuatu, tergantung di tembok sekolah, di pohon dan di tiang lonceng.
Aku melihat-lihat dari bawah, penuh tandatanya. Tidak ada yang menyuruh aku memanjat tiang lonceng tetapi tiba-tiba aku memanjat tiang lonceng untuk melihat apa yang berada dalam kresek anyaman daun pandan itu. Aku merogoh salah satu kantong dan ternyata isinya jagung kering goreng yang kerasnya seperti batu. Tetapi rahang anak Bajawa dapat menghancurkannya. Anak-anak yang membawa jagung goreng kering (tanpa minyak) itu datang dari kampung yang jauh. Makan pagi mereka dari jagung, ubi dan sebagainya, begitu juga makan siang mereka. Tak ada satu pun yang membawa uang jajan.
Pulang ke rumah, entah bagaimana, aku malas ke sekolah. Ibuku membongkar aku dari keasyikan nyenyak pagi, menyuruh aku mandi tetapi aku menolak semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya menolak ke sekolah. Setelah menakut-nakuti aku dengan oto-pos (mobil pos) dan tuan inspektur Belanda, barulah aku mau berjalan bersama ibu ke sekolah. Anak-anak kelas satu telah duduk tenang-tenang di kelas. Ibu langsung mengantarkan aku ke dalam kelas lalu guru mendudukkan aku di bangku paling depan.
Begitu ibuku keluar, sang guru (Tuan Riberu) yang kulitnya hitam membelalakkan matanya kepadaku lalu menggerutu. Jantungku berdebur ketakutan tetapi mataku melihat ke jendela dan ada sedikit rencana kilat muncul di benakku. Kalau dia menyeringai dan bangun mendekatiku, bangun dari kursinya dan menerkam aku maka aku akan lari ke jendela dan melompat lalu lari ke rumah dan takkan kembali lagi selama-lamanya, selama-lamanya! Hanya itu yang kuingat benar ketika masuk sekolah di Bajawa. Aku tidak ingat bahwa guru mulai mengajar membaca, berhitung atau menyanyi. Aku tak ingat berapa lama aku belajar di situ.
Pada suatu malam aku dan adikku dibangunkan lalu dibawa ke mobil dan begitu bangun tidur aku, adikku dan ibuku telah berada di sebuah rumah berlantai tanah dikota pelabuhan Endeh. Ayahku tidak kelihatan ketika aku bangun pagi. Rumah itu terletak di seberang jalan dari rumah Bung Karno, di kampung Tiang Radio, dekat sebuah sumur yang dalam, yang airnya ditarik ramai-ramai oleh beberapa perempuan dari Sabu (sebuah pulau kecil di Laut Sabu). Tidak lama kemudian ayahku kembali, membawa uang logam cukup banyak dan ibu belanja makanan yang cukup enak seperti halnya di Bajawa.
Rumah itu milik seorang bernama Manafe, asal Rote. Begitu ayahku muncul ia membawa kami ke sebuah rumah di samping katedral, di kaki bukit kecil, di sebelah kuburan Tionghoa. Malam pertama telingaku disengat kalajengking sehingga aku terkaing-kaing menangis memecah kesunyian.
Kemudian ayah menggali sebidang tanah lereng, meratakannya dan membangun sebuah gubuk. Maka kami lega memiliki rumah sendiri, tanpa menumpang di rumah orang. Semuanya dibuat oleh tangan ayah. Aku ingat, ia juga membuat sebuah kursi malas lalu duduklah dia sambil makan sirih.
Kemudian ayah menghilang lagi. Aku dengar cerita ibu tentang pekerjaan ayah. Pekerjaan baru. Ayah tidak lagi menjadi Hoofd Mantri. Ayah mengikuti Tuan Lauwoie, seorang pembela perkara.Ada kasus yang diserahkan kepada ayah untuk dibela.
Aku masih ingat, uang yang ditinggalkan ayah terbatas sehingga pada suatu malam ibu memanggil adikku dan aku untuk makan malam. Di sebuah dulang tersedia beberapa potong kue bendera dan teh manis. Kami mengunyah kue itu lalu minum teh manis dan tidur lelap karena lelah bermain sehari suntuk.
Sungguh, sebuah kenangan yang halus mengiris jiwaku.
Sebelum meninggalkan Bajawa, aku dan adikku pernah mengikuti ibuku ke rumah paman kami, komandan tangsi polisi di Bajawa. Rumah itu bersebelahan dengan rumah klerk. Kami berdua tidak tahu apa pasal ibu berkelahi dengan iparnya. Ibu hanya mengatakan bahwa perempuan itu tidak tahu diri. Saudara ibu yang memberi makan dia tetapi dia menyusahkan ibu dan kami semua. Dikota pantai Endeh barulah aku mengetahui bahwa ayahku dipecat karena affairnya dengan seorang ‘Monica Lewinsky Jawa’ yang muda dan manis bernama Maria. Tante Maria tidak punya anak karena suaminya (seorang polisi) tidak berfungsi (mandul).
Sang suami tidak ‘berbunyi’, tidak peduli pada perbuatan istrinya tetapi yang paling cerewet adalah istri kepala polisi yang adalah ipar dari ibuku. Ipar perempuan ibuku itu melaporkan pada atasan ayahku sehingga ayahku dipecat. Itulah yang membuat ibuku marah lalu berantem dengan iparnya itu. Ibu menggigit pipinya lalu keluar dari rumahnya. Aku dan adikku menjemput ibu, berjalan di kiri dan kanan ibu yang menggerutu terus bahwa ia dibikin susah oleh wanita kaltedis (mandul) yang diberi makan oleh saudaranya.
Hidup berubah cepat. Dari anak pegawai menjadi anak pembela perkara amatiran. Namun setiap hari kami bisa makan. Hanya satu kali itu, ingatku bahwa kami tidur malam setelah mengunyah cuma kue bendera.
Di Endeh, aku dimasukkan ke sekolah Protestan. Hanya satu kelas terdiri dari beberapa anak. Di sini tidak pernah aku belajar berhitung dan membaca. Seingatku tidak pernah. Aku hanya ingat Pak Pendeta (ayah Laksamana Samuel Muda, pahlawan Laut Aru) semacam tangga di papan tulis dan di setiap anak tangga ditaruh angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7. Lalu ia memberi contoh suara (nada), do, re, mi, fa, sol, la, si. Selebihnya aku tak ingat ketika bersekolah di kelas satu di gereja Protestan yang kecil di Endeh.
Yang paling aku ingat adalah kegemaranku membeli ubi jalar yang berwarna putih di pasar Endeh dengan uang sen-senan. Lalu membawa pulang dan menggorengnya. Pada hari Natal , ibu mengiris daun pandan dan mencampurnya dengan beberapa jenis kembang, terutama mawar, lalu menyuruh kami mandi dan berpakaian bersih, kemudian membawa kami ke jembatan laut di Endeh, dan menaburkannya ke laut. Ibu berkata, bunga rampai itu dikirim kepada nenek, kepada paman dan sebagainya. Lalu kami bertiga ke jembatan laut menghamburkannya ke laut. Peristiwa itu sangat mengesankan aku. Terasa sangat indah. Terasa bunga itu akan sampai ke suatu tempat rahasia tempat Mama Be’a (Nenek) dan Papa Be’a (kakek) dan sanak saudara bermukim. Ibu telah mengajarkan aku tentang bahasa kerja menanami kebun dan simbol-simbol cinta kasih kepada yang berada di seberangsana , di dalam dan dibalik kehidupan nyata dan fana ini.
***
Tiba-tiba saja, kami bertiga, ibu, aku dan adikku Matilda telah berada di atas sebuah kapal yang berlayar dari Endeh menuju Rote dan Kupang. Aku ingat betul, di kapal kami makan nasi dan ikan asin goreng sepuas-puasnya. Sehabis makan, masih ada tersisa banyak ikan dan nasi. Ibu tidak membuangnya. Aku mengikuti ibu ke atas dek dan membawa nasi itu lalu dijemurnya.
Itulah yang kuingat, bagaimana seorang ibu diterpa tekanan hidup, menjaga baik-baik nasi pemberian Tuhan. Seterusnya entah jadi apa nasi itu, aku tak ingat lagi. Aku hanya ingat bahwa kami turun di pelabuhan Ba’a dan menginap di rumah seorang sanak yang aku tak ingat siapa namanya.
Tiba-tiba muncul abangku tertua, Benyamin J. Messakh. Dia datang dari desa Oetefu dengan kuda. Aku dibonceng ke rumahnya. Di tengah jalan aku melihat pohon kesambi sedang berbuah lebat. Abangku memetik beberapa buah dan menyorong kepadaku. Aku tak ingat apakah aku dibonceng di belakangnya atau didepannya. Tiba di Oetefu aku disambut oleh kakak perempuan nomor dua, Mariana dan langsung diberi makan dan mengunjungi beberapa sanak di rumah adat di belakang rumah utama. Beberapa tanteku menyambut aku dengan ciuman sedang yang satu lagi yang dipanggil Te’o Pokek (Tante Buta) meraba-raba aku mulai dari kaki sampai ke kepala. Kemudian aku dibawa ke rumah utama sebuah rumah panggung dan diberi uang logam beberapa keping lalu membiarkan aku tidur siang di sebuah ranjang berseprei putih dan berkelambu. Aku sendiri yang tidur di rumah itu. Kamar-kamarnya kosong.
Ayah Usi Mariana mungkin saja tinggal di rumah istrinya di luar halaman istana mantan raja yang disebu Mba’adulek. Di halaman yang sekelilingnya berpagar batu itu ada tiga buah rumah. Sebuah rumah cukup besar menurut pandangan seorang anak, berlantai tanah putih.
Begitu bangun sore, aku sendirian di rumah panggung itu. Kakak Usi, Susi Mariana entah di mana. Aku berdiri di beranda depan memandang pohon kelapa dan lontar. Bunyi burung tekukur dan udara panas sore hari membuat aku rindu pada ibu. Maka kerinduan itu membuat aku menangis sendiri, sambil memanggil-manggil, "mama... mama...” Mama tak menjawab, mama tidak muncul-muncul walaupun abang sulungku telah berkuda ke Ba’a yang jaraknya dua puluhlima kilometer.
Tiba-tiba terpikir atau teringat, kata guru Sekolah Minggu, bahwa apa yang kita minta dari Tuhan maka Tuhan akan memenuhi permintaan kita. Aku pun menutup mata dan berdoa kepad Tuhan. "Tuhan, saya minta mama saya cepat datang. Saya kesepian. Tuhan, saya minta kalau saya membuka mata maka mama saya sudah ada di depan saya,” begitulah doaku. Sungguh lucu. Sia-sia. Naif. Begitu aku membuka mata ibu tiada.
Akan tetapi aku sama sekali tidak mengomeli Tuhan. Aku bergerak entah ke mana, lupa, tidak teringat oleh khazanah kenangan masa kecilku. Terlalu banyak detik dan jam yang kulupakan. Aku hanya ingat, tiba-tiba saja ibuku dan adikku datang dibawa oleh abangku dan oleh Tuhan. Aku ingat, kami bertiga ditempatkan di rumah besar di samping kiri rumah utama di kamar depan yang berdinding setengah sehingga pandangan ke halaman tidak terhalang.
Di malam hari dari balik kelambu aku melihat ada manea menjaga kami. Manea adalah petugas sukarela yang bergiliran menjaga di rumah raja. Selain menjaga siang malam, tugas serabutan dilakukannya. Ibu meninggalkan kami bermain di halaman.
Kami diberi makan nasi dan daging penyu yang dibawa dari Pulau Ndana milik rakyat dan Raja Ti, pulau kosong manusia kecuali roh atau arwah rakyat Ndana yang dibunuh orang Ti, kambing liar, rusa dan burung serta penyu yang selalu datang ke pantainya untuk bertelur. Abangku hampir setiap hari berlatih pencak silat di salah satu kamar di rumah besar itu, rumah yang dikelilingi beberapa kulit lola raksasa yang konon diambil dari pantai dan laut selatan Rote.
Tidak lama kemudian kami pindah ke Oekahendak, sebuah dusun kecil yang terdiri dari tiga buah rumah dan sebuah mata air kecil. Disana aku dan adikku bergabung dengan kedua kakak kami, Dina dan Min kecil yang tinggal bersama Papa To’o kami (saudara ibu) dan Te’o Fia kakak perempuan ibu yang tidak kawin.
Seorang kakak perempuan ibu kawin dengan seorang dari keturunan raja Ndana, dari fam (marga) Nunuhitu. Salah satu anak perempuannya yang kami panggil Susi Be’i, kawin dengan Ali Bajiher dan beranak pinak di Ba’a. Hanya Papa To’o (paman) kami yang banyak punya anak sehingga dusun kecil itu tidak terlalu sepi karena memiliki laki-laki yang bisa menyadap lontar dan tati tine (memotong semak belukar di kebun berkarang) dan mengolah sawah yang airnya diperoleh dari Danau Tua dan dari sebuah mata air kecil di Oekahendak itu.
Aku masih ingat wajah Papa To’o, pamanku. Kulitnya kuning seperti ibuku. Badannya kekar. Wajahnya ganteng seperti wajah Hemingway. Ia sangat eksentrik. Sangat eksentrik bagi penduduk sekitarnya karena ia suka memaki dengan bahasa jorok.
Aku sayang betul pada Papa To’o pamanku. Ia suka tertawa keras memperlihatkan giginya yang bagus. Paling kurang senyumnya yang ramah. Pakaiannya celana pendek dan baju tangan pendek. Ia tidak memakai sepatu atau sandal. Aku ingat sekali pada Te’o Fia, tanteku yang tidak banyak bicara tetapi selalu sibuk, menumbuk padi, memberi makan ternak dan sibuk di sawah dan ladang.
Kakak perempuanku membantu Te’o Fia mengambil air ke mata air. Abangku Benyamin (Min Kecil) tak pernah diam. Hampir tiap hari ia pulang membawa tekukur, burung pipit dan udang kecil. Aku sibuk membakar burung-burung itu untuk dimakan. Abangku Benyamin adalah tarsan kecil, spartan. Dia pelempar tepat.
Jika mau makan daging tekukur yang merupakan wabah bagi tanaman padi dan kacang ijo. Min Kecil tinggal memungut batu dan melemparkan ke kerumunan tekukur itu. Lemparannya sangat kuat. Batu yang meluncur sampai berbunyi, mendesing membelah udara. Tekukur yang mati lebih dari satu ekor. Aku sangat gembira bila abangku membawa setumpuk tekukur. Dia lalu mencabut bulunya, membuang usus dan kotorannya dan mencucinya kemudian membubuhkan garam dan memanggang burung itu di halaman.
Kalau tidak tekukur, dia membawa sekeranjang burung pipit yang paruhnya merah dan kuat. Aku mengunyah pipit panggang itu. Dagingnya, tulangnya, sampai ke kepalanya yang berisi otak. Enak sekali dimakan dengan nasi. Ketika musim hujan tiba, parit kecil yang berasal dari mata air itu meluap. Air dipakai untuk mengaliri sawah di sekitarnya.
Yang menarik, udang-udang kecil banyak sekali padahal di musim kemarau parit itu kering. Rupanya Min Kecil menangguk udang-udang itu sampai keranjangnya penuh dan dibawanya pulang. Udang kecil itu direbus dan aku melahapnya. Ketika aku sedang melahap udang beserta nasi, abangku menggodaku.
Dia mengatakan, udang-udang itu telah melahap cucian pakaian orang baru bersalin. Akan tetapi aku aku tidak peduli. Aku makan terus tanpa merasa jijik. Bukankah sudah dicuci.
Setiap hari, sepulang sekolah ia menjadi manusia alam. Dia membuat jerat dari rambut ekor kuda. Aku melihat di ladang jerat-jerat itu berderet panjang sekali mengganggu tanaman padi, jagung dan kacang. Ia juga mengenal gua di sekitar kampung kami denganbaik. Biasanya, kalau kami ke sekolah, bekal kami sebuah lempeng gula lontar. Untuk memperkenalkan guanya ia menyuruh kami berjalan-jalan dan ia berlari ke gua itu lalu memukul-mukul stalagtit dan stalagmit sehingga kedengaran dari jauh bagaikan ia memukul gong. Kemudian sang penemu dan pemandu wisata kembali ke jalanan. Tiba-tiba ia menyuruh kami mundur ke belakang dan menunggu dia pergi sebentar karena ada perempuan putih sedang mandi. Ia ingin mengintip perempuan yang mandi itu. Maka Benyamin, anak Sekolah Rendah yang baru duduk di kelas tiga itu pun pergi. Tidak lama dia kembali dan menggeleng-geleng kepala.
Tidak jadi intip, karena yang mandi itu Susi Di’a (panggilan akrab dari kakak perempuan kami Dina). Libido monyet abangku memang parah. Kalau ia melihat ada gadis-gadis lewat, untuk mencari perhatian gadis-gadis tanggung itu, ia memanjat ke pohon lontar kemudian bergantung kepala ke bawah seperti kalong. Semua orang kagum melihat ia bergantung mengaitkan kaki ke pelepah lontar lalu kepalanya digantungkan ke bawah. Pohon lontar itu cukup tinggi.
Dia tidak takut pada ular berbisa. Pada suatu hari, kami, anak-anak yang lebih kecil darinya sedang mengerubungi dan menonton seekor ular ijo yang berbisa, melingkar di ketiak akar pohon kesambi sambil memagut-magut. Tiba-tiba abangku muncul. “Mundur, mundur, mundur,” katanya lalu meraup leher ular itu dan melenggang pergi.
Ketika raja Thobias Messakh, ayah Kakak Dina dan Abang Min Kecil meninggal, ibu pulang ke Oekahendak, sedangkan abangku yang paling tua Min Besar dan Susi Miana (Kak Mariana), tetap tinggal di istana Mba’adulek, milik ayah mereka raja yang dibuang oleh Belanda ke Sumbawa dan Flores (karena ikut memimpin serangan dalam perang suku antara kerajaan Ti dan Dengka).
Waktu ibu kawin dengan ayahku – seorang mantri rumah sakit di Ba’a, Kak Dina dan adinya seayah tinggal dengan papa To’o dan Te’o Fia. Ketika kami datang ke Oekahendak dari Bajawa, Abang Min Kecil telah duduk di kelas tiga, sebuah sekolah yang terletak tidak jauh dari dusun ibu, disebut Tudameda. Sekolah itu terbuat dari bebak (pelepah gebang) yang bercelah-celah mudah diintip dari luar dan dari dalam. Atapnya terdiri dari daun lontar. Tampaknya seperti kandang kambing, tetapi dari sekolah itu beberapa sarjana dan orang terkenalIndonesia lahir dan bekerja di luar pulau, terutama di Jawa, tak pulang-pulang membangun kampungnya. [Bersambung]
Sumber: Matheos Viktor Messakh
Baca Juga
SEMUA tentang Gerson Poyk
Nostalgia Flobamora (1)
Nostalgia Flobamora (2) Nostalgia Flobamora (2)