Belu Dikepung 95 Perusahaan Tambang

Tambang mangan di Timor (ist)
KUPANG, PK--Seluas 101.046 hektar (ha) atau 78,64 persen dari 128.484 ha wilayah Kabupaten Belu 'diobrak-abrik' menjadi kawasan pertambangan mangan. Jumlah perusahaan tambang yang sudah dan akan beroperasi di wilayah itu sebanyak 95 perusahaan.

Demikian disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT, Herry Naif, didampingi Manajer Program Walhi NTT, Melky Nahar, kepada Pos Kupang saat ditemui di kantornya, Kamis (8/5/2014) siang.  Walhi merupakan salah satu lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan kini konsen memberi perhatian terhadap masalah pertambangan di NTT.

Herry mengatakan, sebagian besar wilayah Belu dipatok menjadi kawasan pertambangan karena banyak perusahaan pertambangan yang melirik potensi pertambangan di kabupaten itu.

Catatan Walhi NTT, demikian Herry, 95 perusahaan tambang kini menggarap potensi pertambangan di wilayah Kabupaten Belu. Dari jumlah perusahaan tersebut, ada perusahaan tambang yang telah beroperasi, ada yang sudah mengantongi izin operasi tapi belum mulai beroperasi dan ada perusahaan tambang yang sedang mengajukan atau memroses izin usaha pertambangan (IUP).

Menurut dia, penyakit gatal-gatal dan penyakit paru-paru yang diderita warga Belu sebagai dampak dari kegiatan pertambangan dan adanya aksi protes para pastor, mestinya membuka mata pemerintah dan berbagai pihak yang terkait di Kabupaten Belu dan di Propinsi NTT.

"Seharusnya kegiatan tambang di wilayah NTT, termasuk di Kabupaten Belu dihentikan sementara sehingga tidak berdampak lebih besar dan membawa korban bagi masyarakat sekitar. Kalau sudah jadi masalah seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab? Semua itu terjadi karena kegiatan pertambangan tidak memperhatikan masalah dampak lingkungan. Proses amdal hanya formalitas atau kopipaste sehingga kegiatan pertambangan tidak memperhatikan masalah lingkungan hidup," tegas Herry.

Catatan Walhi NTT, demikian Herry, peristiwa di Kabupaten Belu merupakan peristiwa kedua di NTT. Peristiwa pertama terjadi beberapa tahun lalu di Torong Besi, Reo, Kabupaten Manggarai. Jika hal seperti ini tidak ditangani serius, kata Herry, sangat mungkin peristiwa yang sama  dan bisa  berakibat fatal akan terjadi di Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur serta di beberapa kabupaten lain di Timor dan Flores.

"Sebenarnya moratorium sudah diperintahkan Menteri ESDM RI. Dalam tata ruang nasional, wilayah NTT bukan daerah tambang karena merupakan daerah kepulauan dengan ekosistem yang terbatas. Kalau dilakukan kegiatan tambang, ekosistem akan rusak dan sebagian ekosistem akan punah. Mestinya kegiatan tambang  dihentikan," tandas Herry.

Terhadap aktivitas tambang yang berdampak pada kerusakan lingkungan, kata Herry, sudah diperjuangkan oleh Walhi kepada Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Hal terpenting saat ini, demikian Herry, kemauan pemerintah untuk menyikapi masalah tambangan ini secara serius. "Yang menjadi masalah, kegiatan pertambangan dilakukan serampangan. Tidak ada pemetaan wilayah yang baik di mana harus dilakukan kegiatan tambang dan di mana yang tidak boleh. Pemberian izin usaha tambang oleh pemerintah terkesan ada dugaan mafia," katanya. (mar)


Tim Turun ke Ai Tameak


KETUA DPRD Belu, Simon Guido Seran, meminta tim gabungan yang terdiri dari unsur DPRD Belu diwakili Komisi C dan Pemda Belu  segera turun ke lokasi penambangan mangan di Ai Tameak, Kecamatan Lamaknen Selatan, Belu. Tim harus turun  lapangan untuk melihat langsung kondisi masyarakat dan lokasi tambang dengan dampak ikutannya.

Ditemui di ruang kerjanya, Kamis (8/5/2014), Simon menjelaskan, dalam dialog dengan massa Gerakan Pro Kehidupan (G-ProK), sudah banyak persoalan yang disampaikan massa termasuk dampak ikutan dari tambang mangan itu.

Namun, fakta dari massa G-ProK ini harus dibuktikan dengan melihat langsung obyek lapangan. Untuk itu, pada pertemuan itu disepakati membentuk tim gabungan DPRD Belu  dan Pemda Belu, sementara G-ProK memilih berada di luar tim untuk menjamin independensi mereka.

"Saya sudah sampaikan di forum harus bentuk tim yang beranggotakan Komisi C dan instansi terkait lainnya. Kehadiran tim untuk melihat langsung dan sekembalinya mereka membuat rekomendasi kepada Pemda Belu, apakah tambang itu di moratorium atau tidak. Untuk urusan di lapangan ada Komisi C yang punya bidang tugas. Entah kapan tim ini turun saya belum dapat informasi yang pasti," ujarnya.

Sebelumnya saat dialog dengan massa G-ProK, Rabu (7/5/2014) Ketua DPRD Belu, Simon Guido Seran, dalam kesimpulannya, meminta para pihak segera membentuk tim khusus untuk turun ke lokasi. Hasil pengamatan tim di lapangan dibuatkan  rekomendasi sebagai pegangan, apakah pertambangan itu di moratorium atau tidak. "Nanti Komisi C yang membidangi siap tindaklanjuti. Kita juga tunggu  hasil lab sebagai dasar untuk buktikan apakah penyakit itu ditmbulkan dari air karena pencucian mangan. Kalau betul,  PT Nusa Lontar harus bertanggung jawab," tegas Simon. (yon)

Sumber: Pos Kupang 9 Mei 2014 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes