Pungli SIM di NTT Mencapai Rp 6 Miliar

ilustrasi
KUPANG, PK - Praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum polisi diduga masih terjadi  dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Nusa Tenggara Timur (NTT) baik ketika  masih manual maupun secara online. Berdasarkan penelusuran Pos Kupang, total nilai pungli di NTT bisa menembus angka sekitar Rp 6 miliar per tahun.

Adanya pungli dalam pengurusan SIM  diakui Kepala Satuan Lalulintas Polres Kupang Kota AKP Multazam Lisendera dan Kepala Ombudsman Wilayah NTT Darius Beda Daton. Keduanya mengakui itu sesuai pengaduan dari masyarakat. Darius bahkan mengalami sendiri saat hendak memperpanjang SIM.

Penelusuran Pos Kupang selama sepekan sejak Kamis (1/10/2015) hingga Rabu (7/10/2015) di tempat pengurusan SIM Polres Kupang Kota di Jalan Nangka Kota Kupang mendapatkan indikasi tersebut.  Polanya beragam di antaranya, pemohon tidak perlu mengurus formulir di BRI tetapi diurus oknum petugas atau mampir ke loket BRI selanjutnya diurus oknum polisi, tidak mengikuti ujian tertulis dan praktek, tanpa melampirkan surat keterangan dokter.

"Bayar di BRI Rp 100.000, kalau yang Rp 150 ribu itu langsung kasih ke petugas di loket. Saya tidak mau ribet, pokoknya diminta seperti itu ya dikasih saja biar cepat beres,"  ujar seorang pria di lokasi itu Senin (5/10/2015) sekitar pukul 11.00 Wita.  
Hal yang sama dialami seorang ibu pada hari yang sama. Ibu berbaju warna kuning itu mendaftar lalu menuju loket pemeriksaan kesehatan. Setelah  mengantongi  formulir merah muda, wanita itu memasukkan dokumen ke petugas di loket pelayanan. Sekitar  30 menit kemudian, namanya dipanggil petugas  masuk ke satu ruangan dan beberapa saat kemudian dia keluar dengan memegang  SIM yang sudah dicetak.

"Di dalam loket itu bayar Rp 150 ribu, selain bayar Rp 100 ribu di BRI. Daripada ikut tes ini dan itu lebih baik bayar saja. Tadi waktu daftar sudah dikasih tahu petugas, kalau cepat bayar saja," katanya menjawab  Pos Kupang.

Pengalaman serupa  dialami pasangan suami istri  Itha dan Jimy, warga Kelurahan Kayu Putih, Kupang.  Betapa terkejutnya mereka berdua karena petugas meminta sebesar Rp 230 ribu setelah mereka membayar Rp  20.000 di loket kesehatan.
Ditemui  Selasa (6/10/2015), Kasalantas Polres Kupang Kota, AKP Multazam Lisendera, menjelaskan  rata-rata per hari ada sekitar 60 blangko SIM yang dikeluarkan untuk masyarakat sehingga dalam satu bulan atau 25 hari kerja, dibutuhkan 1.500 blangko SIM.

Seandainya 50 persen dari 60 pemohon SIM yang dikeluarkan Polres Kupang Kota dipungli maka ada 30 pemohon setiap hari. Berdasarkan beberapa pengakuan dari pemohon mereka menyetor Rp 150.000 di luar setoran wajib ke BRI Rp100.000 dan Rp 20.000 untuk biaya surat keterangan dokter, maka dalam sehari jumlah pungutan liar mencapai Rp 4.500.000 atau dalam 25 hari kerja sebesar Rp 112.500.000 atau Rp 1.350.000.000/tahun

Sementara untuk pengurusan SIM manual di  15 Polres  berdasarkan data bulan Mei, Juni dan Juli 2015 yang diterima Pos Kupang dari Dirlantas Polda NTT menyebutkan total selama tiga bulan itu sebanyak 14.885 pemohon.15 Polres itu adalah  Polres Kupang, TTS, TTU, Belu, Sumba Timur, Sumba Barat, Lembata, Flotim, Sikka, Ende,  Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Alor, Rote Ndao.

Jika dirata-ratakan maka ada 13 - 14 pemohon SIM setiap hari di masing-masing 15 Polres. Apabila 50 persen dari pemohon SIM tersebut dipungli sebesar Rp150.000 maka dalam setahun jumlah uang yang diraup Rp  4.725.000.000. Dengan demikian dugaan pungli dalam setahun untuk Polres Kupang Kota dan 15 Polres lainnya adalah  Rp 1.350.000.000 (kota) + Rp. 4. 725.000.000 (15 Polres)  = Rp 6.075.000.000

                    Korban Pungli
Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, SH  juga menjadi korban pungli saat memperpanjang SIM C, Rabu (26/8/2015) pada di mobil SIM  keliling yang parkir di perempatan  Budaran PU Kupang.

Saat itu Darius dilayani petugas yang berpakaian sipil dan seragam Polri yang meminta fotokopi KTP Darius.  Polisi itu mengatakan biaya perpanjangan SIM C  Rp 150.000. Darius komplain. Mendengar itu, petugas meminta Darius masuk ke dalam mobil SIM dan akan dilayani sesuai aturan. Namun ditolaknya karena sudah terkena pungli.  "Saya berulangkali diminta Dirlantas untuk mengurus SIM namun saya sudah tidak mau urus lagi. Biar saya tidak punya SIM, silahkan tilang saya. Daripada SIM yang saya peroleh itu karena prosedur yang tidak sesuai aturan," kata Darius.

Korban lainnya Marthen Salu, Asisten Kordinator Penghubungan Komisi Yudisial RI Wilayah NTT. Pada Kamis (26/4/2015), Marthen mengurus perpanjangan SIM. Dia mengikuti prosedur sesuai aturan. "Saya ikut prosedur dari awal, ujian praktek, naik motor simulator itu. Saya ikut semua tahapan simulasinya sampai selesai, tapi sebelum sampai di garis finis, saya menurunkan kaki. Saya dinyatakan tidak lulus. Lalu petugas minta saya ikut ujian praktik kembali 7 hari mendatang," kata Marthen.

Pada hari ketujuh dari tanggal 26 April, Marthen datang lagi untuk ujian praktik. Saat itu dia melihat ada beberapa orang tidak ke ruang ujian praktik tapi langsung ke ruang foto dan saat keluar sudah membawa SIM baru. "Saya protes kepada petugas. Kok saya harus ikut ujian praktek selama dua kali, sementara yang lainnya tidak," kata Marthen lalu menelepon Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton untuk melaporkan hal itu. 

Mendengar pembicaraan itu, seorang Polwan bertanya asal  Marthen. "Setelah saya jelaskan, Polwan itu mengatakan, kenapa bapak tidak bilang dari tadi supaya  kami bisa percepat penerbitan SIM," kata Marthen mengutip si Polwan. Marthen kecewa karena  itu mengindikasikan  pelayanan cepat hanya  dirasakan pejabat atau orang yang dikenal polisi.  (vel/jet/aly)


Centang Saja Rp 30 Juta

SENG bangunan itu berwarna coklat. Bangunan berukuran 8 x 6 meter persegi itu memiliki satu jendela di kanan yang ditutupi lembaran kaca nako. Sedangkan dua  lembaran  pintu sudah tidak utuh lagi. Setengah bagian tripleksnya sudah rusak dan pintunya diganjal menggunakan batu bata agar tidak tertutup.

Di sisi kanan pintu terdapat dua buah plat papan bertuliskan praktek dokter umum Fany Angelia Djubida yang membuka praktek dari pukul 08.00 hingga pukul 13.00 setiap hari kecuali hari minggu atau hari libur tutup.

Di bawah papan nama dokter itu terdapat sebuah papan bertuliskan tempat pengurusan surat keterangan dokter SIM.

Pada  Selasa (6/10/2015) Pos Kupang mendatangi tempat itu. Seorang pria perpakaian putih bercelana hitam duduk di kursi berwarna hijau sedang berhadapan dengan seorang pria berjaket biru. Di atas meja terdapat alat pemeriksa tensi darah, stempel, buku register dan lembaran kertas warna merah muda. Di ruang itu juga terdapat alat pengukur tinggi badan dan timbangan berat badan. Di dinding ruangan itu ditempel dua gambar berupa gambar jantung dan alat pencernaan manusia.

Di tempat inilah para pemohon SIM mendapatkan surat keterangan dokter sebagai satu dari sekian persyaratan. Beberapa pemohon yang datang tidak menjalani pemeriksaan kesehatan seperti tensi, tes buta warna, timbang berat badan dan ukur tinggi badan.  Pemohon hanya membutuhkan waktu tiga menit untuk mendapatkan selembar kertas warna merah muda bertuliskan surat keterangan kesehatan. Pemohon hanya cukup memberikan fotokopi KTP dan menjawab pertanyaan tinggi badan, berat badan lalu membayar uang administrasi sebesar Rp 20.000.

Petugas yang memberikan surat keterangan dokter itu menolak ketika dikonfirmasi Pos Kupang terkait standar pemeriksaan hingga pungutan Rp 20.000. Ia meminta menanyakan perihal itu kepada dokter Fany yang membuka praktik pemeriksaan di tempat itu. Ia pun menolak memberikan nama lengkap dengan dalih tidak memiliki kewenangan menyampaikan informasi kepada wartawan.

Dokter Fanny yang dihubungi Pos Kupang via telpon selulernya, Selasa (6/10/2015) keberatan dikonfirmasi terkait persoalan penarikan jasa pemeriksaan kesehatan dan standar operasional pemeriksaan untuk pemohon SIM. Di ujung telpon, dr. Fanny mengaku saat itu masih mengikuti prajabatan di Bali. Ia meminta Pos Kupang mengkonfirmasi persoalan tersebut langsung kepada Kabid Dokkes Polda NTT, AKBP Moh Haris selaku atasannya.

Kabid Dokkes Polda NTT, AKBP Moh Haris yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (7/10/2015), mengatakan, pemeriksaan terhadap pemohon SIM tidak harus dilakukan dokter, terkecuali si pasien berada di rumah sakit maka pemeriksaan harus dilakukan dokter.

Haris mengatakan penunjukan dokter itu dari Biddokes lantaran menggunakan fasilitas RSB Bhayangkara. Sejatinya Biddokes Polda NTT hendak membangun klinik kecil untuk periksa kesehatan pemohon SIM tetapi terkendala anggaran.
Ia mengatakan prosedur pemeriksaan harus dilakukan dari pemeriksaan tinggi badan, berat badan, tensi darah dan test bebas buta warna. Semua prosedur itu harus dilakukan tanpa terkecuali.

Ditanya tidak ada fasilitas test buta warna pada pemohon SIM di ruang pemeriksaan kesehatan, Haris mengatakan, semestinya fasilitas itu ada. Bila tidak ada ia akan menegur dokter atau perawat yang bertugas. Pasalnya test bebas buta warna sangat penting untuk pemohon SIM. Pemohon SIM yang buta warna tidak mungkin diberikan SIM lantaran tidak bisa membedakan warna.

Menyoal penarikan jasa pemeriksaan sebesar Rp 20.000, Haris menjelaskan, dana itu sebagai dana operasional bagi dokternya. Ia menyatakan ada aturan yang mengatur penarikan  uang jasa pemeriksaan kesehatan tersebut.

Bila mengacu pada data yang disampaikan Kasatlantas Polres Kupang Kota rata-rata  setiap hari menerbitkan 60 SIM, maka jumlah surat keterangan kesehatan yang diterbitkan juga 60 lembar. Dengan demikian dari surat keterangan dokter saja sudah dikutip dari para pemohon  Rp 30.000.000/bulan.

Haris menjelaskan sebenarnya pemohon bisa meminta surat keterangan kesehatan ke puskesmas atau dokter praktik lain. "Tadi kami datang bawa surat keterangan dokter dari Puskesmas Air Nona, tapi ditolak. Katanya harus urus di sini, tapi waktu ke sana tidak diperiksa. Petugas hanya centang formulir yang sudah ada terus kita bayar Rp 20.000," demikian seorang pemohon SIM di lokasi tersebut. (aly/jet/vel)

APA KATA MEREKA

Dian Lenggu
PUNGLI saat mengurus SIM sudah biasa. Tawaran bayar lebih untuk mempercepat SIM terbit itu bisa dari masyarakat atau dari oknum petugas. Jadi ada simbiosis mutualisme sehingga susah diberantas.

Helmid
SAYA sudah dua kali mengurus SIM. Saya lihat memang ada indikasi sengaja tarik ulur yang membuat pemohon jenuh. Akhirnya pemohon mau memberi uang  lebih biar SIM cepat terbit.  (vel)

NEWS ANALYSIS
Darius Beda Daton, SH, Kepala Ombudsman NTT

Takut Dipersulit

PUNGUTAN liar atau pungli  sering terjadi di tempat pembuatan Surat Izin mengemudi (SIM) Polresta Kupang. Kami sebagai lembaga yang mengawasi pelayanan publik, selama setahun terakhir ini sudah banyak menerima laporan dari masyarakat yang menjadi korban baik secara tertulis, SMS dan telepon.

Ada sekitar 40-an laporan secara lisan dan hanya sedikit yang dilaporkan secara tertulis. Bahkan saya sendiri nyaris kena pungli oleh oknum di kendaraan SIM keliling saat hendak mengurus perpanjangan SIM C. Umumnya masyarakat enggan melaporkan pungli secara tertulis ke Ombudsman NTT karena mereka takut dipersulit di kemudian hari. Dan terhadap pengaduan masyarakat itu, saya langsung menindaklanjutinya berkoordinasi dengan pihak terkait.

Saya berulangkali kordinasi dengan Kasatlantas Polresta Kupang, Dirlantas Polda NTT, Irwasda hingga Kapolda NTT. Bahkan Ombudsman sudah mengirimkan surat sebanyak tiga kali kepada Kapolda NTT untuk menyikapi aksi pungli di tempat pembuatan SIM.

Saya kritisi dan menduga praktik pungli itu sebenarnya terjadi secara sistemik. Saya sangsi jika perbuatan oknum polisi di lapangan itu tanpa diketahui atasannya.
Namun, para petinggi Polri menegaskan secara institusi Polri, mereka tidak pernah memerintahkan petugas di loket SIM melakukan pungutan lebih dari ketentuan tarif SIM yang diatur dalam PP Nomor 50 tahun 2010 tentang Pendapatan Negara bukan Pajak (PNBP). Itu yang selalu dikatakan para petinggi Polri di NTT.

Pertanyaannya, jika tidak pernah memerintah, kenapa terus saja terjadi pungli oleh oknum anggota di loket pembuatan SIM? Padahal jika Kapolda langsung turun tangan, memerintahkan stop pungli, maka saya yakin, praktik pungli itu tidak akan terjadi lagi. Tapi kalau masih terjadi, berarti ada apa?

Pungli yang terjadi itu beragam modus dan nilainya berbeda untuk setiap orang. Misalnya, untuk perpanjangan SIM C, sesuai aturan perundangan bayar hanya Rp 75.000 namun kenyataan dipungut hingga Rp 150.000 atau lebih. Begitu pula saat mengurus  baru SIM C dari yang seharusnya hanya Rp 100.000 bisa dipungut hingga R 200.000 atau Rp 280.000 hingga lebih. Belum lagi  SIM untuk roda empat.

Belum lagi pemeriksaan dokter yang tidak ditangani langsung dokter yang namanya tertulis pada surat keterangan dokter itu. Namun, pemeriksaan bukan dilakukan dokter. Dalam surat terahir saya kepada Kapolda NTT, saya sudah menegaskan agar masalah pungli SIM i segera dihentikan. Jika tidak, Ombudsman akan membawa persoalan ini dalam rakor di Mabes Polri bulan Desember 2015.

Pungli yang dilakukan oknum Polisi itu menjadi pembelajaran buruk bagi penegakan hukum di masyarakat. Bisa saja masyarakat tidak lagi patuh terhadap hukum karena melihat langsung buruknya perilaku aparat penegak hukum.

Saya berharap masyarakat berpartisipasi untuk bersama-sama memerangi pungli. Ombudsman punya nomor telepon pengaduan 085239018829, 081337190903, 085239092872 dan 08123788320. Jika mengalami pungli di tempat pembuatan SIM atau di tempat pelayanan umum lainnya, silahkan adukan dengan cara sms atau telepon ke nomor tersebut. Kami akan merahasiakan nama jika ada yang tidak mau menyebutkan namanya. (vel)

Tips Agar Tidak Dipungli

1. Bawa Persyaratan lengkap
2. Ikuti prosedur yang ada
3. Tolak ketika dimintai biaya tambahan
4. Jika ada oknum yang pungli, laporkan ke Kasatlantas Polres Kupang Kota
4. Atau sms atau telepon Ombudsman NTT
    08123788320, 085239018829, 081337190903, 085239092872 .

Sumber Pos Kupang 19 Oktober 2015 (edisi khusus Reborn)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes