Mengenal EP da Gomez: Menutup Lembaran Terakhir



EP da Gomez
Oleh Jannes Eudes Wawa

Senin, 18 Mei 2020 siang kita dikejutkan berita duka berpulangnya EP da Gomez, politisi kawakan di Sikka.

Berita duka ini seolah menyapu segala  hingar bingar di jagat media sosial di kalangan orang Maumere terkait wabah virus corona (Covid) 19 yang menulari 21 warga Kabupaten Sikka. Langit Sikka pun mendung mengantar kepergiannya.

Hidup EP da Gomez begitu melekat dengan buku. Dia sangat maniak membaca buku.

Dia bukan hanya mengetahui isinya, tetapi menghafal dengan pasti nama pengarang, serta warna kulit buku tersebut. Termasuk posisinya dalam rak perpustakaan pribadinya.

Pernah suatu ketika seorang teman diminta EP da Gomez untuk mengambil buku judul tertentu di rumahnya di Maumere.


Sebelum teman itu menuju rumahnya, dia menjelaskan letak dan warna buku yang dimaksud. Begitu tiba di rumah ternyata yang semua informasi itu benar. Teman ini pun acungi jempol.

Selain buku, dia juga konsisten membaca koran, terutama harian Kompas setiap hari. Jika ada artikel yang dinilai penting, dia menglipingnya. Membaca seolah telah senafas dengan hidupnya.

Kecintaannya ini sejalan dengan bakat dalam menulis. Bakat itu diasah dengan tekun dan disiplin sehingga dia mampu menulis dan menuangkan gagasan dengan runut, logis, lugas, bernas dan menggunakan kalimat yang sederhana dan  mudah dimengerti pembaca.

Sudah 29 buku serta ribuan artikel yang ditulis. Ini merupakan warisan yang tidak ternilai, sebab didukung dengan data yang valid, dan pengalaman pribadi mengikuti perkembangan lintas zaman.

Bagi dia, berpolitik tidak cukup hanya berteriak di atas panggung atau beradu pendapat dalam ruang rapat. Berpolitik juga harus diwartakan kepada publik melalui tulisan yang diterbitkan di media massa.

Hanya dengan menulis, gagasan yang dilontarkan diketahui masyarakat dan pembuat kebijakan dengan jangkauan yang lebih luas.

Lebih dari itu, perjuangan dalam gelanggang politik selalu diwarnai dengan perdebatan yang bermutu, bukan kekuatan massa. Debat berkualitas harus didukung dengan pengetahuan yang luas dan data yang akurat.

Pengetahuan itu hanya didapat melalui membaca bacaan yang berkualitas.
Di gelanggang politik yang dibahas adalah upaya mewujudkan kesejahteraan umum.

Di sana, tidak membahas soal kepentingan kelompok mayoritas atau kelompok kepentingan penguasa atau lain semacamnya.

Karenanya, siapa yang mampu menampilkan pikiran dan gagasan yang bernas dan inovatif untuk kepentingan rakyat yang didukung data akurat akan dihormati, dan diterima.

Tidak mengherankan, dalam berbagai kesempatan, terutama saat berkumpul dengan anak muda, EP da Gomez selalu mengingatkan agar mecintai buku.

Harus membaca buku! Bagi dia, semua orang dikaruniai bakat. Tetapi, hanya sedikit orang yang tekun memelihara, memberdayakan serta mengoptimalkan bakal itu bagi diri serta masyarakat luas.

Jalan perjuangan

Keterlibatan lelaki kelahiran 2 Desember 1940 ini di panggung politik dimulai tahun 1961, saat baru berusia sekitar 21 tahun, setelah lulus dari SMA Syuradikara, Ende, tahun 1959, melalui Partai Katolik.

Bahkan, sejak tahun 1965 dia telah dipercaya menjadi anggota DPRD Sikka dari Partai Katolik.

Pengabdiannya itu berlanjut hingga masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil fusi dari Partai Katolik, Parkindo, PNI dan sejumlah partai lainnya pada Januari 1974. Di sinilah, perjuangan sesungguhnya dimulai.

Politisi asal Sikka yang mau terlibat dalam PDI semakin sedikit, menyisahkan Frans Seda, Ben Mang Reng Say dan VB da Costa di tingkat nasional,  Kanis Pari (Bung Kanis) seorang diri di Kupang, lalu di Sikka hanya FM Hekopung, OLM Gudipung, FX Babanong, Stef Wula, Thomas Nining Pau, EP da Gomez dan beberapa orang lagi.

Selama Orde Baru, PDI dimana-mana diberangus. Hampir semua kabupaten di NTT, Golkar seratus persen dalam setiap pemilihan umum. Warga yang ingin menjadi pengurus PDI diintimidasi dan diancam pengusaha bersama segala kekuatannya agar tidak melibatkan diri.

Tidak heran, nyaris tidak ada warga yang berani terang-terangan untuk terlibat mengurusi partai politik.

Kampanye PDI diberbagai tempat dihalangi dengan sangat kasar dan brutal. Rakyat pemilih PDI dianiaya, rumah dilempari batu, diintimidasi dan dikucilkan oleh penguasa setempat.

Bahkan, di wilayah tertentu, sejumlah warga mengaku memilih PDI, tetapi yang diumumkan petugas pelaksana Pemilu adalah Golkar 100 persen.

Tantangan yang dihadapi sungguh berat. Pengorbanan yang diberikan sulit terhitung. Tetapi, mereka tidak pantang menyerah.

Intimidasi, ancaman, tekanan, hinaan, cemooh dan segala tindakan represif lainnya dari penguasa dianggap sebagai risiko yang harus dihadapi dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan.

Kuatnya pengaruh rezim otoriter Orde Baru itu tidak mematikan semangat dan langkahnya Bersama sekelompok kawanan banteng yang seide dan tahan memikul derita untuk terus berjuang dan berpihak kepada rakyat kecil.

Semakin ditekan, mereka semakin kreatif. Selalu mencari sejuta peluang untuk keluar dari tekanan agar terus berjuang dan menghidupi keluarga.

Konsistensi dan sikap pantang mundur itu membuat perpolitikan di Sikka berbeda warna dibanding kabupaten lain di NTT.

PDI Sikka selalu mendapatkan kursi DPRD dalam setiap pemilihan umum. Bahkan pada Pemilu 1987 meraih tiga kursi dan Pemilu 1992 dapat lima kursi.

Berbekal kecerdasan inteletual yang dimiliki didukung pengetahuan yang luas serta data yang akurat, wakil rakyat dari PDI ini mampu mewarnai dinamika perpolitikan di Sikka, dan menjadi mitra yang kritis bagi pemerintahan di bawah Bupati Laurens Say, Daniel Woda Palle hingga beralih ke masa reformasi.

 Itu sebabnya, Sikka selalu dianggap sebagai barometer politik di NTT. Salah satu yang memberi kontribusi ini adalah EP da Gomez.

Ketika demokrasi yang diperjuangkan mulai sedikit mekar, Bung Kanis pergi selamanya pada November 1987.

Selepas Orde Baru tumbang, satu demi satu pejuang dan petarung pun berpulang ke Pangkuan Ilahi, dan menyisahkan EP dan Gomez seorang diri  berjuang bersama generasi baru yang mau berkorban dalam barisan itu.

 Dia seolah diberi tugas oleh teman-temannya untuk menulis lebih banyak buku dan artikel sebagai warisan tidak ternilai, mengingatkan generasi berikutnya agar dalam berpolitik utamakan kepentingan rakyat, dan jangan silau dengan uang serta harta.

Setelah pensiun dari anggota DPRD, dia tidak pernah diam. Seperti dalam salah satu judul bukunya bahwa hidup itu membaca, menulis dan berbicara, dia pun terus melakukannya hingga ajal menjemputnya pada Senin, 18 Mei 2020 pukul 13.45 Wita di Maumere.

Ibarat buku, kini kita telah menutup lembaran terakhir dari sebuah dokumen tidak ternilai tentang Pejuang Demokrasi asal Sikka.

Orang terakhir dari lembaran terakhir tersebut akhirnya harus pergi. Pergi untuk selamanya..

Jannes Eudes Wawa
Wartawan tinggal di Jakarta
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes