ilustrasi |
Semesta mengutus Covid
Saat Bumi sesak napas karena polusi
Diare akut lantaran sampah
Langit menurunkan Corona
Tatkala Bumi bising berisik
Merintih terkuras habis isi perutnya
Cakrawala menebarkan sampar
Agar Bumi berselimut sunyi
Boleh hening memulihkan diri
Ini bukan kebijakan manusia
Bukan kebajikan pemimpin bangsa-bangsa
Bukan karya para kepala negara
Pun bukan pula aksi nyata khalayak
Ini murka alam kawan
Buana mengamuk
Dikau terkurung di rumah saja
Telah berhari-hari
Berbulan-bulan
Entah sampai kapan…
Selamat Hari Bumi 2020.
Hari yang spesial. Niscaya akan lama terkenang.
Cita-cita sang penggagas Hari Bumi, Gaylord Nelson sejak tahun 1970 mulai tampak.
Setidaknya wajah Bumi lebih ceria dari lazimnya.
Senang melihat langit biru menghiasi kota-kota dunia.
Dari Roma, New York, Beijing. Abuja hingga Batavia.
Amboi indahnya menatap jalanan lengang, asap kendaraan bermotor dan pabrik cuma serawit cilik.
Dan, sampah plastik berkurang drastis. Udara yang puan hirup terasa lebih segar bukan?
Ketika Bumi letih rupanya semesta mengutus Covid-19 lantanan manusia gagal mendesain perawatan Bumi yang terencana dan berkesinambungan.
Sudah banyak forum membahas isu lingkungan, dari sekelas lobi bilateral hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dunia.
Tak sedikit kesepakatan diteken pemimpin bangsa-bangsa namun tetap saja tak bergigi.
Dari waktu ke waktu manusia di planet Bumi ini tak pernah mampu mencapai kesepakatan global hingga level aksi untuk menjaga keseimbangan alam agar Bumi tidak sekarat.
Eksekusi agenda aksi luruh berderai menghadapi egoisme dan keserakahan yang demikian super.
Maka untuk mengerem keserakahan itu, alam dengan caranya yang unik menyembuhkan dirinya dan membungkan kesombongan manusia.
Semesta minta sokongan virus. Benda tak kasat mata yang sungguh mematikan.
Sampai Selasa 21 April 2020, berdasarkan catatan worldometers, Covid-19 telah menjangkiti 2.475.356 orang di seluruh dunia.
Dari jumlah itu sebanyak 170.069 orang meninggal dunia dan pasien yang sembuh 645.200 orang.
Angka kematian diprediksi masih bergulir hingga air mata terus mengalir sampai jauh.
Kadar Polusi Menurun
Kita sudah hidup di era Revolusi 4,0 tapi masih saja bersikap kolot.
Menanti jagat menebar sampar baru sadar. Ironis!
Demi iklim Bumi yang lebih sehat bagi penghuninya, semesta mendatangkan pagebluk bernama Corona. '
Ada tangis menyayat hati tapi juga senyum mengulum.
Saya kutip secuil kabar baik. Kabar mengenai kadar polusi udara dunia yang menurun selama pandemi Covid-19.
Kepada BBC yang dikutip pada Minggu 29 Maret 2020, sejumlah peleliti di New York menyebutkan, tingkat polusi udara dan gas rumah kaca di beberapa kota dan wilayah di dunia terjun secara signifikan.
Hasil riset awal para peneliti itu menunjukkan karbon monoksida, terutama dari mobil berkurang hampir 50 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019.
Tidak heran bila emisi berbagai gas terkait energi dan transportasi anjlok.
Toh aktivitas ekonomi global menurun drastis selama pandemi Corona yang kini memasuki bulan keempat sejak pertama meledak di Wuhan China.
BBC melaporkan, dengan minimnya penerbangan, pembatasan perjalanan dan jutaan orang bekerja dari rumah, emisi di banyak negara tak akan menjulang.
Para ilmuwan mengatakan, pada Mei 2020 tatkala emisi CO2 mencapai puncaknya berkat dekomposisi daun, level yang tercatat mungkin terendah.
"Saya berharap kita akan memiliki peningkatan terkecil pada Mei,” kata Prof Roisin Commane dari Columbia University.
Profesor ini rutin sekali memantau tingkat polusi udara New York.
Menurut laporan teranyar, emisi karbon dunia mengalami penurunan terbesar sejak Perang Dunia II.
Berikut ini sampel menurunnya emisi karbon monoksida hingga akhir Maret 2020 di beberapa negara.
Kota New York,wilayah paling menderita akibat serangan Covid-19 di Amerika Serikat, tingkat lalu lintas turun 35 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Emisi karbon monoksida, terutama yang keluar dari lambung mobil dan truk, turun sekitar 50 persen.
Peneliti di Columbia University juga menemukan ada penurunan CO2 sebanyak 5-10 persen serta menyusutnya metana di New York.
"Dan ini adalah yang terbersih yang pernah saya lihat. Kurang dari setengah dari apa yang biasanya kita lihat pada bulan Maret," kata Prof Commane.
Kabar baik pun datang dari negeri Tirai Bambu.
Analisis untuk situs web iklim, Carbon Brief, terungkap penurunan 25 persen dalam hal penggunaan energi dan emisi di China selama periode bulan Maret 2020.
Italia utara mencatat penurunan signifikan nitrogen dioksida terkait pengurangan perjalanan mobil dan aktivitas industri.
Gas tersebut merupakan polutan udara serius dan secara tidak langsung berkontribusi terhadap pemanasan planet kita.
Sampah Menyusut
Kebijakan bekerja dari rumah, tutupnya sebagian besar mal, hotel, restoran dan fasilitas publik karena lockdown, karantina atau pembatasan sosial, ikut menyusutkan produksi sampah.
Teristimewa sampah plastik yang memang mencemaskan dunia sejak lama.
Sebagai misal saya sajikan data dari Jakarta dan Bogor, dua kota padat populasi di Indonesia.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta menyebut jumlah sampah dari Jakarta menuju Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Bantargebang, Bekasi, berkurang signifikan sejak penerapan Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah pada 16 Maret.
Kepala DLH DKI Jakarta Andono Warih menyatakan penurunan itu rata-rata mencapai 620 ton per hari.
"[Penurunan itu] jika dibandingkan dengan data rata-rata harian periode 1-15 Maret 2020 sebelum penerapan WFH, dengan rata-rata tonase sampah 16-31 Maret 2020 setelah penerapan WFH," kata Andono dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu 8 April 2020 dikutip dari kantor berita ANTARA.
Menurut Andono, penurunan aktivitas masyarakat memang berdampak terhadap berkurangnya timbunan sampah.
"Kebijakan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah membuat sampah berkurang terutama dari sumber komersial, seperti hotel, mal, restoran, perkantoran dan tempat wisata," tuturnya.
Penurunan volume sampah juga terjadi di Kota Bogor. Kepala Bidang Persampahan, Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor, Dimas Tiko menyatakan, penurunan sampah di Kota Bogor mencapai 100 ton per hari.
Dari lazimnya 500 ton kini menyusut jadi 400 ton.
"Jika dibandingkan awal bulan lalu sampai hari ini penurunannya cukup banyak, bisa mencapai 100 ton," kata Dimas, 7 April 2020. Berkurangnya sampah terjadi karena aktivitas manusia di Kota Bogor relatif menurun akibat Covid-19.
Penurunan volume sampah juga karena hotel, restoran dan objek wisata yang menjadi penyumbang sampah tutup sementara selama pandemi Covid-19.
Kondisi yang sama bisa dipastikan terjadi pula di Bali, berbagai kota di Tanah Air serta belahan dunia lainnya.
Bahkan setiap rumah tangga hari ini bisa mereken sendiri produksi sampahnya setelah terkunci di rumah saja.
Menarik pernyataan pegiat lingkungan Dwi Sasetyaningtyas dalam diskusi daring bertajuk "Pro Kontra Covid-19 sebagai Obat Bumi" yang diselenggarakan #SayaPilihBumi pada Sabtu 4 April 2020 lalu.
Sasetyaningtyas, founder Sustaination melukiskan situsi saat ini sebagai Bumi sedang memulihkan dirinya sendiri.
Menurut Tyas, sebagaimana dikutip dari Nationalgeographic.co.id, momentum ini menjadi waktu yang tepat bagi kita memperbarui sikap merawat alam.
"Kita bisa mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Saat ini, ketika banyak melakukan aktivitas di rumah, bisa dimanfaatkan untuk belajar memilah sampah sendiri di rumah dan membuat kompos.
Mungkin saja, setelah pandemi berakhir, muncul kesadaran pada setiap individu untuk lebih menjaga alam," ujarnya.
Tyas berharap, perubahan gaya hidup tidak hanya melibatkan individu tapi juga kepedulian dari pemerintah dan industri.
"Aku ingin proses produksi berjalan selaras alam sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Jangan lagi kembali ke aktivitas-aktivitas yang menyebabkan kerusakan dan polusi," katanya.
Tyas mengajak semua orang bersama-sama merefleksi diri. Memikirkan apa yang bisa tuan dan puan kerjakan untuk membantu sesama dan menjaga kelestarian alam setelah pandemi Coronavirus Disease 2019 bertepi.
Poinnya adalah menurunnya level polusi dan produksi sampah hari-hari ini hingga wajah Bumi lebih riang bukan efek by design karya manusia.
Manusia yang selama berabad-abad mencicipi kemurahan Bumi dan segenap isinya.
Kondisi Bumi memang agak membaik selama pandemi, tapi ini bukan hal yang patut dirayakan dengan pesta pora lantaran terwujud karena murka alam.
Bumi mencari keseimbangan baru lewat mekanisme dan caranya sendiri.
Manusia berjanji, dia juga yang mengingkari. Perayaan Hari Bumi di seluruh dunia pada 22 April sejatinya untuk menunjukkan dukungan bagi perlindungan lingkungan.
Hari Bumi dirancang sedemikian rupa demi meningkatkan kesadaran dan apresiasi umat manusia terhadap planet yang indah ini.
Faktanya Hari Bumi sekadar ritual tahunan yang hampa. Tahun berganti Bumi makin sesak dan muram.
Akhir kata, udara segar dan langit biru sekarang benar-benar hanya sementara kawan.
Ketika badai Covid-19 berlalu, dikau tak pernah tahu apakah manusia yang luput dari maut akan mengubah cara pandang dan aksi merawat Bumi lebih baik dan kontinu.
Jangan-jangan menanti sampar baru lagi agar Bumi kembali hening memulihkan diri.
Teringat Mahatma Gandhi.
Bumi dan segala isinya lebih dari cukup memenuhi kebutuhan seluruh penghuninya.
Berapa pun banyaknya. Tapi tak pernah cukup untuk satu orang yang serakah. (dion db putra)
Sumber: Tribun Bali