ilustrasi |
Tapi negeri itu pula yang kini menempati puncak klasemen kematian yang direnggut Covid-19.
Sampai kemarin setidaknya ada 639.664 orang di negeri berjulukan Paman Sam tersebut yang terinfeksi virus corona dan 34.552 orang meninggal dunia.
Pada hari Rabu 15 April 2020, Johns Hopkins University , seperti dilansir AFP, menyebut angka 2.569 kematian dalam waktu 24 jam.
Angka ini merupakan rekor baru jumlah kematian tertinggi dalam sehari di seluruh dunia.
Terbayang betapa repotnya mengurus pemakaman jenazah sebanyak itu. Memakamkan satu orang saja sudah mengurai air mata duka.
Pada hari yang sama tersembul peristiwa menarik di Lansing, ibu kota Negara Bagian Michigan.
Di kota tersebut sekelompok masyarakat justru menggelar aksi protes terhadap kebijakan Gubernur Michigan memperpanjang masa karantina terbatas.
Unjuk rasa berlangsung jalan-jalan dalam kota dan di depan gedung parlemen Negara Bagian Michigan, Rabu (15/4/2020) waktu setempat.
Mereka berteriak agar gubernur membatalkan kebijakan mengurung mereka di rumah.
Gubernur Michigan Gretchen Whitmer memperpanjang masa karantina terbatas hingga 30 April 2020.
Warga diminta tinggal di rumah, tidak boleh mengunjungi tetangga dan berkendara untuk menemui teman, kolega atau keluarga.
“Sebuah anomali negara kampiun demokrasi, kepingin hidup bebas di tengah pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda reda di AS.”
Demikian catatan Mas Febby Mahendra Putra di akun medsosnya. Tepat sekali!
Di tengah pandemi Covid-19 yang menelan korban jiwa setiap detik, masih ada yang mempersoalkan kebijakan pemerintah atas nama kebebasan individu.
Virus yang belum ada obatnya ini tak pandang bulu.
Menjaga jarak aman (physical distancing) dengan berdiam di rumah saja, menghindari kerumuman, merupakan pilihan terbaik yang ditempuh semua negara di dunia saat ini.
Di Amerika Serikat lebih dari 20 negara bagian sudah memberlakukannya.
Bertengkar dengan China
Sisi lain Paman Sam yang menarik perhatian di tengah pandemi Covid-19 adalah semangat bertengkarnya dengan China yang tak habis-habisnya.
Bertengkar dan menuding.
Padahal negeri tirai bambu tersebut memberikan bantuan memadai agar AS segera pulih dari serangan corona.
Awal pekan ini Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penghentian dana untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Trump beralasan badan kesehatan PBB tersebut telah menutup-nutupi keseriusan wabah virus Corona di China sebelum menyebar ke seluruh dunia.
Sumbangan dana dari pemerintah AS kepada WHO merupakan yang terbesar selama ini.
Tahun 2019, misalnya, pemerintahan Trump menggelontorkan dana sebesar 400 juta dolar AS untuk WHO.
Dalam konferensi pers, Trump mengatakan pemerintahannya menghentikan dana bagi WHO sambil melakukan peninjauan untuk “menilai peran WHO dalam salah kelola yang parah dan menutupi penyebaran virus corona."
Menurut Trump, WHO tidak transparan mengenai wabah tersebut sehingga AS menderita seperti sekarang.
"Dengan terjadinya pandemi Covid-19, kami memiliki keprihatinan mendalam apakah kemurahan hati Amerika telah dimanfaatkan sebaik mungkin," kata Trump seperti dilansir kantor berita AFP, Rabu (15/4/2020).
Trump menyebut WHO bias terhadap China dan berkolusi untuk mencegah saingan utama ekonomi AS itu terbuka tentang bencana kesehatan sekarang.
Menurut Trump, hal ini telah menyebabkan negara-negara lain kehilangan waktu krusial untuk bersiap dan menunda keputusan physical distancing atau lockdown.
"Seandainya WHO melakukan tugasnya membawa para ahli medis ke China untuk menilai secara obyektif situasi di lapangan dan membeberkan kurangnya transparansi China, wabah itu bisa diatasi pada sumbernya dengan kematian yang sangat sedikit," demikian Trump.
Lagi-lagi China yang dia tuding. Saat hampir semua pemimpin dunia menggalang solidaritas demi aksi kemanusiaan mengadapi Covid-19, Trump tetap saja bertengkar dan menuduh saingannya China.
Dunia sesungguhnya tidak kaget.
Sebab Trump memang terkesan anggap remeh terhadap keganasan Covid-19 ketika virus ini mulai menelan korban jiwa di Wuhan bulan Februari lalu.
Trump sempat melukiskannya sebagai virus biasa yang tak mesti dicemaskan secara berlebihan.
Ketika korban terus berjatuhan di Korea, Iran dan Italia pun, pemerintahan Trump masih melihat sebagai sesuatu yang biasa.
Amerika baru terkejut saat kematian di Amerika melonjak drastis sejak penghujung Maret 2020.
Keputusan pemerintahan Trump menghentikan dana bagi WHO merupakan anomali dalam versi berbeda. Langkah kontraproduktif di tengah usaha bersama dunia memerangi corona.
Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyesalkan keputusan Presiden Amerika Serikat tersebut. Tedros terus menyerukan persatuan global untuk memerangi pandemi virus corona.
"Amerika Serikat telah lama menjadi sahabat WHO yang dermawan dan kami harap itu akan terus berlanjut," ujar Tedros, Rabu (15/4/2020).
"Kami menyesalkan keputusan presiden Amerika serikat yang memerintahkan penghentian pendanaan untuk WHO," imbuh Direktur Jenderal WHO itu seperti dilansir kantor berita Reuters.
Tedros mengatakan, anggota WHO pasti akan menilai kinerja badan dunia tersebut dalam menghadapi krisis kesehatan sejagat ini.
"Pada waktunya, kinerja WHO dalam menangani pandemi ini akan ditinjau oleh negara-negara anggota WHO dan badan-badan independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas," ujarnya.
Tedros menambahkan, selain memerangi pandemi Covid-19, WHO juga membantu banyak orang miskin dan lemah di dunia yang berjuang melawan penyakit dan kondisi lainnya.
Tedros menyebut program-program WHO mencakup penanganan polio, malaria, dan kesehatan mental.
Tembak Mati di Nigeria
Anomali lainnya terjadi di Nigeria, negeri yang timnas sepakbolanya berjulukan elang super Afrika.
Saat menegakkan kebijakan lockdown aparat penegak hukum di negeri itu dilaporkan telah menembak mati 18 orang dalam 2 pekan terakhir. Duh!
Data memilukan hati tersebut disampaikan Komisi Hak Asasi Manusia Nasional (NHRC), Rabu 15 April 2020. NHRC merupakan badan independen.
"Telah terjadi delapan pembunuhan di luar proses hukum yang menyebabkan 18 orang mati antara 30 Maret dan 13 April 2020,” demikian pernyataan NHRC.
Seperti dilansir Kompas.com, pembunuhan dilakukan petugas lembaga pemasyarakatan (LP) Nigeria, polisi dan tentara.
Menanggapi hal itu, seorang juru bicara Badan Pemasyarakatan Nigeria mengatakan 4 narapidana tewas setelah kerusuhan yang membuat sejumlah tahanan dan staf masuk rumah sakit.
Namun, laporan komisi hak asasi manusia menyebut 8 orang yang tewas.
Dilansir dari Reuters, Kepolisian Nigeria dan Angkatan Darat Nigeria tidak menanggapi panggilan telepon untuk mengomentari pernyataan NHRC.
Pernyataan itu berbunyi, "agen penegak hukum mengeksekusi 18 orang di luar hukum dengan alasan penegakan hukum" terkait kebijakan lockdown.
Lockdown Nigeria awalnya dijadwalkan selama 14 hari mulai 30 Maret 2020 di Lagos, Ogun, dan ibu kota Abuja.
Pada hari Minggu 12 April 2020, pemerintah memperpanjang lockdown selama 2 minggu yang meliputi daerah lain seperti pusat perekonomian Kano.
Menurut NHR, sebagian besar pelanggaran yang terlihat selama periode tersebut muncul akibat penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak proporsional, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan ketidakpatuhan terhadap hukum nasional dan internasional, praktik terbaik dan aturan keterlibatan.
NHRC mengaku telah menerima 105 pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam 2 minggu pertama masa lockdown.
Polisi dan militer Nigeria telah berulang kali dituduh oleh para pembela hak asasi, telah menggunakan kekuatan berlebihan. Namun tudingan tersebut terus dibantah dan mereka menolak disalahkan.
Tahun lalu pelapor khusus PBB tentang pembunuhan di luar pengadilan juga menuduh pasukan keamanan Nigeria menggunakan kekuatan berlebihan.
Polisi dan militer negeri elang super tidak menanggapi tuduhan itu.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Beda negeri berbeda pula cara menghadapi corona.
Sebagian warga Amerika Serikat ingin bebas lepas. Di Nigeria seolah bebas membunuh atas nama corona.
Satu hal yang pasti sampai hari ini jumlah kematian akibat corona terus menanjak.
Jumlahnya hampir 150 ribu jiwa. Kurang lebih penduduk satu kabupaten yang tergolong padat di Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Data Worldometers seperti dirilis Kompas.com hingga Jumat (17/4/2020) pagi menunjukkan kasus infeksi virus corona jenis baru tercatat 2.178.848 kasus.
Dari angka itu, sebanyak 145.359 orang meninggal dunia, dan pasien sembuh sebanyak 546.743 orang.
Sejumlah negara masih melaporkan penambahan angka kasus yang cukup tinggi, sementara di beberapa negara Eropa mengalami tren penurunan.
Berikut 10 Negara dengan kasus corona tertinggi di dunia.
1. Amerika Serikat: 676.339 kasus, 34.552 meninggal dunia, dan
57.271 sembuh.
2. Spanyol: 184.948 kasus, 19.315 orang meninggal dunia, dan 74.797 sembuh.
3. Italia: 168.941 kasus, 22.170 orang meninggal dunia, dan 40.164 sembuh.
4. Perancis: 165.027 kasus, 17.920 orang meninggal dunia, dan 32.812 sembuh.
5. Jerman: 137.698 kasus, 4.052 orang meninggal dunia, dan 77.000 sembuh.
6. Inggris 103.093 kasus, 13.729 orang meninggal dunia .
7. China: 82.341 kasus, 3.342 orang meninggal dunia, dan 77.892 sembuh.
8. Iran: 77.995 kasus, 4.869 orang meninggal dunia, dan 52.229 sembuh.
9. Turki
10. Belgia: 34.809 kasus, 4.857 orang meninggal dunia, dan 7.562 sembuh.
Para pemimpin bangsa-bangsa kini sedang diuji kemampuan melindungi rakyatnya agar selamat dari amukan pandemi Covid-19.
Dari dulu sejarah dunia mewariskan keutamaan ini, seorang pemimpin sejati teruji pada saat krisis.
Semoga pandemi cepat berlalu.
(dion db putra)
Sumber: Tribun Bali