Umbu Landu Paranggi meninggal dunia pada Selasa dini hari, 6 April 2021 di RS Bali Mandara, Denpasar, Bali.
Penyair Wayan Jengki Sunarta, mengatakan Umbu meninggal pukul 03.55 Wita.
"Saya di sini dari kemarin siang. Sekarang masih menunggu kedatangan keluarganya," katanya.
Menurut Jengki, Umbu mulai dirawat di RS Bali Mandara sejak Sabtu, 3 April 2021.
"Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya di bidang sastra," kata Jengki.
Kabar duka ini pun disampaikan sastrawan Warih Wisatsana kepada Tribun Bali Selasa pagi.
"Sahabat kita, Bung Umbu Berpulang. Guru batin kami pamitan dini pagi tadi. Kawan-kawan yang berjaga di rumah sakit Bali Mandara mengabari, pukul 03.55 Wita." kata Warih.
"Mohon maaf dan perkenan doa teman-teman bagi penyair rendah hati yang tulus ini, semoga lapang jalan pulangnya dalam naungan Kasih Sang Maha Indah," kata Warih.
Berikut profil Umbu Wulang Landu Paranggi.
Umbu Wulang Landu Paranggi lahir pada tanggal 10 Agustus 1943 di Kananggar, Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Seniman yang terkenal dengan julukan Presiden Malioboro ini kerap disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.
Umbu Landu dikenal luas melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media massa.
Umbu merupakan penyair sekaligus guru bagi para penyair muda pada zamannya, antara lain Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Memilih jalan sunyi
Umbu Landu Paranggi lama menimba ilmu di Yogyakarta dan memiliki banyak murid di sana serta pengagumnya.
Pada tahun 1970-an Umbu Landu membentuk Persada Studi Klub (PSK) yaitu komunitas penyair, sastrawan, seniman yang berpusat di Malioboro Yogyakarta.
Komunitas sastra ini sangat mempengaruhi perjalanan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia. Itulah sebabnya Umbu Landu Paranggi dijuluki sebagai Presiden Malioboro.
Kehidupan Umbu Landu unik. Penyair besar ini memilih jalan sunyi. Dia menjauh dari popularitas dan sorotan publik. Amat jarang dia tampil dalam acara yang meriah.
Ia sering berkenala sambil membawa kantung plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi koleksinya.
Umbu Landu Paranggi |
Sebagian orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pupuk" saja.
Di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi pernah dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor.
Tahun 1975 Umbu Landu Paranggi meninggalkan Yogya dan kemudian bermukim di Denpasar, Bali.
Dia sempat mengasuh rubrik Apresiasi di Harian Bali Post.
Di Pulau Dewata ini Umbu melahirkan banyak sastrawan dan dianggap sebagai mahaguru.
Pada tahun 2020, ia mendapatkan penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra.
Kenangan Cak Nun
Mengutip Artikel Tribun Bali berjudul Bali Beruntung Memiliki Umbu tayang 31 Oktober 2020, budayawan asal Jombang, Jawa Timur, Emha Ainun Najib pada diskusi sastra Jatijagat Kampung Puisi, Rabu 29 Oktober 2014 mengaku lega setelah berjumpa Umbu Landu Paranggi.
Cak Nun, begitu ia biasa disapa, hadir ke acara di Jalan Cok Agung Tresna, Denpasar itu setelah menjenguk penyair Umbu Landu Paranggi di RSUP Sanglah.
Malam itu budayawan ini mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga menyentuh siku.
Duduk di atas karpet merah, Cak Nun berbicara dalam diskusi sastra yang diadakan komunitas pegiat puisi Jatijagat Kampung Puisi.
Umbu Landu Paranggi, penyair yang dianggap guru oleh Cak Nun, adalah pendiri komunitas tersebut.
Ide dadakan untuk menggelar diskusi sastra malam itu berawal dari kunjungan Cak Nun ke Denpasar untuk menjenguk Umbu yang dirawat di RSUP Sanglah.
Pada diskusi berlangsung itu Cak Nun menyiratkan rasa hormatnya pada penyair yang telah lama tinggal di Bali ini.
“Jangan harap memahami Umbu. Ia tidak bisa dimengerti, hanya bisa dinikmati,” ujar budayawan suami Novia Kolopaking ini.
Lontaran ini seakan mengomentari tanggapan beberapa masyarakat tentang sosok Umbu yang lebih sering dikenal sebagai seniman yang angkuh.
Sebaliknya, bagi Cak Nun, keangkuhan Umbu adalah bentuk penolakan penyair yang dikenal nyentrik ini terhadap budaya basa-basi.
Menurutnya, Umbu tidak bisa dijangkau lewat obrolan remeh-temeh.
Makna kata menikmati yang ia lontarkan berarti bahwa memahami Umbu hanya bisa dilakukan dengan mengamati kesehariannya secara langsung.
Hanya saja kesempatan bertatap muka dengan Umbu merupakan momen yang langka.
Cak Nun bertutur, Umbu hanya bisa ditemui jika memang Umbu sendiri yang menginginkan pertemuan itu.
Karenanya, meski pada akhirya Cak Nun berhasil bertemu langsung dengan Umbu yang sedang terbaring sakit, momen pertemuan itu adalah momen yang paling dirindukan Cak Nun.
Cak Nun berujar, di balik sosok angkuh yang lebih banyak diketahui masyarakat, Umbu adalah sosok yang hangat.
Sosok hangat ini dituturkannya lewat pribadi rendah hati dari penyair yang dikenal lewat karyanya seperti puisi Melodia ini.
Cak Nun tak sendiri malam itu. Ia ditemani budayawan yang aktif di Jogjakarta Imam Budhi Santosa.
Senada dengan Cak Nun, penyair ini pun menaruh hormat pada Umbu.
Cak Nun mengaku memahami pribadi Umbu bukan dengan cara mengajaknya ngobrol. Melainkan membaca karya sekaligus lakunya.
“Bali sangat beruntung memiliki Umbu,” ujar Cak Nun
Biodata singkat
Nama: Umbu Landu Paranggi
Lahir: 10 Agustus 1943 di Kananggar, Sumba Timur
Anak: Rambu Anarara Wulang Paranggi, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Mira MM Astra
Pendidikan: Universitas Janabadra, Universitas Gadjah Mada, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta
Sumber: Tribun Bali
Baca juga tentang Umbu di sini