Senandung Pilu Petani Reroroja

DALAM kurun waktu dua tahun terakhir sebagian besar petani di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan hal yang sama. Ketika memasuki musim tanam tahun 2011, curah hujan terlalu tinggi di sejumlah wilayah sehingga tanaman pertanian mereka tidak bertumbuh sewajarnya. Dan, petani NTT menikmati dampak nyata yakni gagal panen. Kalaupun memanen hasil jagung, kacang atau sayuran, produksinya jauh dari harapan. Tidak memadai untuk menopang pendapatan petani yang hanya mengandalkan hasil pertanian.

Memasuki musim tanam tahun 2012 lagi-lagi petani kita mengeluh. Kali ini hujan terlambat turun ke bumi dan curahnya sangat minim. Dalam kondisi normal, bulan Januari dan Februari biasanya curah hujan sangat tinggi di NTT dengan sebaran merata. Kenyataan sekarang sebaliknya. Di banyak tempat panas matahari justru menggigit kulit sejak Januari hingga akhir Februari 2012.

Curah hujan yang sangat minim membuat petani menjerit. Mereka tidak dapat menanam sesuatu untuk mempertahankan cadangan pangan keluarga. Rawan pangan dan kelaparan kini mengancam kehidupan petani Flobamora. Jeritan terkini kita dengar dari Mageloo dan Duli, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Petani di sana sudah menanam padi tapi padi mati karena minimnya debit air yang masuk ke sawah. Bibit padi yang siap ditanam pun telah kering. Sekitar 300 ha sawah di wilayah tersebut dipastikan tidak bisa ditanami padi karena ketiadaan air.

“Petani di Desa Reroroja tahun ini tidak bisa tanam. Yang sudah tanam sekarang saja padi mati karena air tidak masuk. Sekarang ada lahan yang mau ditanami tapi air tidak ada lagi. Tahun ini pasti gagal panen lagi,” kata Kepala Desa Reroroja, Cyrilianus Badjo, Senin (27/2/2012). Menurut Badjo, lahan persawahan di Reroroja yang bisa ditanami padi tahun ini sekitar 200 ha saja karena kecilnya debit air dari sungai.

Kita bisa memastikan kenyataan pahit tersebut tidak hanya menimpa petani Reroroja, Kabupaten Sikka. Masih banyak petani di wilayah lain NTT seperti di Pulau Timor, Sumba, Rote dan Sabu yang mengalami nasib serupa. Mereka tidak bisa menanam padi, jagung, kacang-kacangan dan sayur karena ketiadaan air. Dampak kekeringan sudah mereka rasakan sejak awal musim tanam Menyedihkan memang! Ujung dari semua itu sudah bisa diprediksi yakni rawan pangan dan gizi buruk, bencana tahunan masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan retoris kerap terlontar di ruangan ini. Di manakah pemerintah daerah ketika petani menghadapi dampak anomali iklim yang sudah memberi bukti empiris selama satu dasawarsa terakhir? Mengapa pemerintah daerah melalui dinas teknis tidak juga mampu membekali petani menghadapi kekekeringan panjang? Setiap kabupaten dan kota di NTT memiliki dinas pertanian dan tanaman pangan. Apa saja yang mereka kerjakan sepanjang tahun untuk petani agar mampu menghadapi kekeringan panjang secara kreatif?

Kalau debit air minim mestinya ada solusi alternatif agar ketahanan pangan petani tetap tercukupi. Anomali iklim bukan hal baru dan tidaklah elok kita menghujat alam. Yang perlu dibangun adalah kesadaran untuk bersahabat dengan anomali iklim itu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mestinya memampukan petani kita menghadapinya dengan cara baru. Dan, peran pemerintah tetap sangat diperlukan agar petani NTT lebih cerdas menghadapi perubahan iklim.

Perhatian terhadap nasib petani sungguh miris di daerah ini. Tiga tahun lalu Pimpinan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kupang memperlihatkan contoh sederhana namun dalam sekali maknanya. Menurut pimpinan BMKG, para bupati/walikota di Propinsi NTT tidak pernah meminta data tentang iklim dan curah hujan dari BMKG. Padahal data BMKG menjadi rujukan dalam menetapkan kebijakan di bidang pertanian dan perkebunan.
BMKG rutin mengirim data tentang perubahan iklim, cuaca dan tingkat curah hujan kepada bupati/walikota, namun data tersebut tidak dipelajari serius untuk membantu petani serta banyak tujuan lainnya. Menurut standar kerja BMKG, data prakiraan curah hujan dikirim setiap bulan. Sedangkan prakiraan perubahan iklim dikirim dua kali dalam setahun.

Boleh jadi data BMKG berupa angka-angka itu dianggap tidak penting oleh bupati/walikota serta pimpinan dinas pertanian dan perkebunan. Mereka lebih peduli pada data proyek fisik pembangunan dengan jumlah uang yang jelas baik dari sumber APBD maupun APBN. Boleh jadi juga pimpinan daerah hanya tertarik pada urusan politik kekuasaan. Bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan selama mungkin termasuk dengan cara tidak fair. Kita berharap jeritan petani Reroroja tentang kekeringan membuka mata hati pemimpin daerah ini bahwa 80 persen dari jumlah total penduduk NTT adalah petani. Jika pemimpin rajin omong pro rakyat, mestinya nasib petani merupakan kepedulian utama dan prioritas nomor satu. *

Pos Kupang, Rabu 29 Februari 2012 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes