Gerson Poyk, Perintis Sastra NTT

Gerson Poyk
Oleh Yohanes Sehandi
Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia
dari Universitas Flores, Ende

HARIAN Pos Kupang 28 Desember 2011 (halaman depan) menurunkan buah pena sastrawan Indonesia, Gerson Poyk. Judul buah pena sastrawan yang sangat berjasa mengangkat citra sastra NTT ini sangat impresif, yakni “Mata Air Kenangan: Sepenggal Otobiografi.”

Sewaktu membaca penggalan otobiografi ini, secara perlahan-lahan muncul kembali dalam ingatan saya cerita-cerita Gerson Poyk yang terdapat dalam sejumlah novel dan kumpulan cerita pendeknya. Saya membaca sebagian besar karya-karya sastra beliau pada 1980-an, pada waktu kuliah di Semarang. Meskipun lebih dari 30 tahun yang lalu, cerita-cerita Pak Gerson tidak mudah hilang dalam ingatan. Mengapa? Cerita-ceritanya sederhana, unik, lucu, memikat, terkadang mengejutkan, namun tetap terselip nilai pendidikan dan moral kemanusiaan universal.

Konteks cerita Gerson bukan di kota, tetapi di daerah-daerah, bahkan daerah terpencil. Cerita-ceritanya tentang dusun, hutan, air pegunungan, padang ilalang, sabana, tentang orang desa, pengalaman iris tuak, pikul kayu, petik labu jepang, buat jerat babi hutan, buat gubuk pakai daun lontar, tentang kebun kopi, kerja sawah, dagang kerbau, main judi, pesta rakyat, perang tanding, dan berbagai cerita khas masyarakat desa, yang tidak lain adalah masyarakat desa NTT.

Tokoh cerita Gerson tidak jauh dari petani, tukang kayu, nelayan, guru, ibu rumah tangga, pedagang kecil, penjudi, dan sejenis itu. Membaca karya-karya Gerson seolah-olah menghadirkan kembali kenangan masa kecil kita, masa kecil di desa. Sebagian besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang NTT, latar cerita adalah NTT dan masyarakat NTT, budaya NTT, gaya khas NTT. Logat bahasa Indonesia para tokohnya kental dipengaruhi logat bahasa-bahasa daerah di NTT, logat Manggarai dan logat Kupang, misalnya. Beliau sangat piawai untuk itu.

Sebagian besar masyarakat NTT atau para pembaca Pos Kupang mungkin hanya “kenal nama” saja Gerson Poyk. Siapa sesungguhnya Gerson Poyk, bagaimana perjalanan hidupnya, karya-karya sastranya, rupanya belum banyak diketahui orang NTT. Penggalan otobiografi yang sangat singkat yang dimuat Pos Kupang itu, rasanya hanya semacam sobekan kecil dari perjalanan panjang Gerson Poyk dalam mewarnai panggung sastra Indonesia modern.

Untuk mengetahui lebih banyak tentang sastrawan legendaris NTT ini, saya terpanggil untuk menampilkan riwayat hidupnya lewat Pos Kupang ini, agar masyarakat NTT dan para pembaca Pos Kupang semakin mengetahui siapa sesungguhnya Gerson Poyk itu. Dalam sejarah panjang sastra NTT yang telah berusia puluhan tahun ini, Gerson Poyk adalah tokoh legendarisnya. Beliau adalah tokoh perintis sastra NTT. Riwayat hidup singkat Pak Gerson ini diambil dari dokumen pribadi saya yang di dalamnya berisi riwayat hidup 20-an sastrawan NTT.

Gerson Poyk lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Kabupaten Rote Ndao, NTT. Beliau putera pasangan Johanes Laurens Poyk dan Juliana Manu. Sejak kecil terbiasa pindah tempat tinggai dan sekolah. Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Flores, khususnya di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Tempat sekolah berpindah-pindah sesuai dengan perpindahan tempat kerja ayahnya. Masuk SD di Bajawa, Kabupaten Ngada, pindah ke Ruteng, Kabupaten Manggarai, dan menamatkan SD di Ruteng, terus pindah ke Maumere, Kabupaten Sikka.

Ketika ayahnya pindah bertugas di Kalabahi, Kabupaten Alor, Gerson ikut pindah ke Alor dan masuk OVO di Kalabahi. Dari Alor ia melanjutkan studi di Sekolah Guru Bawah (SGB) di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Timor. Setelah tamat SGB di Soe ia masuk Sekolah Guru Atas (SGA) Kristen di Surabaya (1955). Selesai SGA Kristen di Surabaya (1955), Gerson Poyk menjadi guru di SMP Negeri dan SGA Negeri di Ternate, Maluku Utara (1956). Dari Ternate pindah ke Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia menjadi guru di Bima selama 7 tahun (1956-1963).

Tahun 1963 Gerson berhenti dari guru dan memilih menjadi wartawan harian Sinar Harapan. Pada tahun 1969 Gerson Poyk berhenti dari wartawan dan menjalani hidup sebagai penulis lepas (free lancer) dan penulis tetap (kolomnis) di berbagai media cetak di Indonesia. Tahun 1970-1971 beliau orang pertama dari Indonesia yang mengikuti International Writing Program yang diselenggarakan oleh The University of Iowa, Amerika Serikat, dengan biaya dari Pemerintah Amerika Serikat. Akhir tahun 1982 menghadiri sebuah Seminar Sastra di India.

Karya-karya Gerson tersebar di berbagai media cetak di Indonesia, baik yang serius maupun hiburan, seperti Mimbar Indonesia, Cerita, Sastra, Horison, Bali Post, Sinar Harapan, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Kompas, Selecta, Violeta, Vista, Femina, Sarinah, Kartini, Mutiara, dan lain-lain. Cerpen awal Gerson yang sangat menggugah berjudul “Mutiara di Tengah Sawah” (Majalah Sastra, Nomor 6, Tahun I, 1961), dan mendapat hadiah dari Majalah Sastra sebagai cerpen terbaik majalah itu pada 1961.
Karya-karya sastra Gerson sebagian besar telah dibukukan, baik berupa kumpulan cerpen maupun novel. Yang dalam bentuk buku dapat disebutkan, antara lain: (1) Hari-Hari Pertama (1968); (2) Matias Akankari (1972); (3) Sang Guru (novel, 1972); (4) Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Aleksander Rajagukguk (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1974); (5) Nostalgia Nusa Tenggara (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1975); (6) Jerat (cerpen, Nusa Indah, Ende, 1978); (7) Cumbuan Sabana (novel, Nusa Indah, Ende, 1979); (8) Petualangan Dino (novel anak-anak, Nusa Indah, Ende, 1979); (9) Giring-Giring (1982); (10) Di Bawah Matahari Bali (1982); (11) Seutas Benang Cinta (1982); (12) Requem untuk Seorang Perempuan (1983); (13) La Tirka Tar (1983); (14) Mutiara di Tengah Sawah (cerpen, 1985); (15) Anak Karang (1985); (16) Puber Kedua di Sebuah Teluk (1985); (17) Doa Perkabungan (1987); (15) Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988); (16) Poti Wolo (1988); dan (17) Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY (2011). Buku yang terakhir ini diluncurkan pada 17 Februari 2011 di Bentara Budaya, Jakarta.

Sejumlah karya sastranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia, Belanda, Jepang, dan Turki. Bahkan, banyak mahasiswa dalam dan luar negeri memperoleh gelar S1, S2 dan S3 dengan mengkaji atau menelaah karya-karya sastra Gerson Poyk.

Gerson Poyk pernah memenangkan dua kali Hadiah Adinegoro (1985, 1986) hadiah tertinggi di bidang jurnalistiik diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan penghargaan sastra ASEAN untuk novelnya Sang Guru (1972). Memenangkan Sea Write Award (1989), Lifetime Achivement Award dari harian Kompas. Menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan tahun 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya.oPada 17 Februsri 2011 lalu, Gerson Poyk meluncurkan bukunya yang terbaru berjudul Keliling Indonesia, dari Era Bung Karno Sampai SBY.*

Sumber: Pos Kupang, Jumat 24 Februari 2012 halaman 4



Baca juga: Membaca Peringatan Gerson Poyk
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes