Bintang Mahaputra Utama disematkan Presiden Soeharto tahun 1973 | Kompas.com |
JAKOB Oetama, pendiri Kompas Gramedia (KG), merayakan ulang tahun ke-80 pada 27 September 2011. Selain syukuran di Bentara Budaya Jakarta, peringatan ulang tahun Chairman KG tersebut juga ditandai peluncuran buku berjudul Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, disusun ST Sularto, wartawan senior Kompas. Berikut petikan buku setebal 659 halaman itu.
MALAM menjelang 5 Februari 1978, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong tengah berdiskusi membahas tawaran pemerintah Soeharto. Tawaran itu terkait pelarangan terbit Harian Kompas, bersama 12 koran dan majalah lainnya, sejak 12 Januari 1978.
Kompas boleh terbit kembali asal menandatangani pernyataan tertulis, berisi permintaan maaf sekaligus berjanji tidak akan memuat tulisan yang menyinggung penguasa. "Jakob, jangan minta maaf. Mati dibunuh hari ini, nanti tahun depan, sama saja," ujar PK Ojong seperti ditirukan Jakob Oetama.
Mendengar perkataan PK Ojong tersebut Jakob menjawab, "Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di ataranya lewat media massa." PK Ojong mengundur dan Jakob mengambil alih persoalan dengan menandatangani pernyataan minta maaf dan janji tertulis kesetiaan seperti diminta pemerintah.
Situasi politik pada saat itu diwarnai oleh protes mahasiswa di mana-mana. Aksi protes lewat pertemuan-pertemuan di kampus, aksi poster, maupun turun ke jalan, sudah terjadi di berbagai tempat.
Mahasiswa menuntut pengunduran diri Soeharto di awal 1978.
Semua peristiwa itu ditulis hampir semua media, termasuk Kompas. Pada 16 Januari, Jakob menulis tajuk rencana berjudul Aspirasi Mahasiswa, bersamaan dengan pemuatan berita di halaman depan berjudul Kas Kopkamtib Sudomo: Turun ke Jalan Akan Ditindak Tegas.
Selama Orde Baru berkuasa, berkali-kali Kompas mendapat teguran, bahkan seringkali disertai ancaman. Hingga pada akhirnya Kompas, bersama beberapa media lainnya, dibredel selama dua minggu.
Keputusan menerima tawaran pemerintah tak lepas dari faktor kemanusiaan yaitu nasib sekitar 2.500 karyawan, termasuk wartawan, yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada 1965 (saat Kompas baru terbit 3 bulan).
"Saya tahu Ojong berat hari mengiyakan. Sikap dan pandangan hidupnya sebagai orang yang sudah punya jam terbang lebih lama dibandingkan saya, selain Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis, yang masing-masing punya sosok kewartawanan sendiri," kata Jakob
Pria kelahiran Desa Jowahan, Magelang, Jawa Tengah itu yakin pilihan menerima tawaran pemerintah merupakan langkah yang benar, ketika mengikuti pelatihan jurnalisktik di Universitas Hawaii, pada 1980-an. Saat itu ada peserta dari Amerika Serikat yang nyeletuk, "Jakob, you are a living hero (Jakob, Anda pahlawan yang hidup)."
Jakob yakin keputusan yang dilakukan pada saat itu bukan menjual diri atau kompromistis, namun bentuk dari prinsip teguh dalam perkara tetapi lentur dalam cara. Prinsip sebagai pedoman kerja tersebut telah dikembangkan sejak Kompas lahir.
Kepada PK Ojong, yang juga pendiri Kompas Gramedia, Jakob menyatakan, "Tanda tangan ini basa-basi saja. Tidak akan berlaku seumur hidup."
Keputusan dalam kapasitas sebagai Pemimpin redaksi Kompas tersebut tidak terlalu diwarnai motivasi bisnis, kecuali tanggung jawab menyediakan lapangan kerja bagi karyawan, tetapi terutama motivasi idealisme memberi pengaruh pada perkembangan masyarakat.
"Daripada peranan Kompas diambialih media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat dipenuhi," kata Jakob. PK Ojong akhirnya setuju, namun sejak itu ia memutuskan tidak aktif lagi dalam pengambilan kebijakan redaksional.
Setelah terbit kembali 6 Februari 1978, tekanan politik yang keras terhadap Kompas tetap terjadi. Padahal Kompas duah bersikap netral. Kompas ibarat bermain di atas buih. Saat Jakob berjabat tangan dengan Presiden Soeharto pada acara Hari Pers ke-32 di Solo, 9 Februari 1978, penguasa Orde Baru bicara singkat tapi jelas maksudnya.
"Aja meneh-meneh (Jangan lakukan lagi)," kata Soeharto. Jakob jenggah karena kalimat Soeharto itu bernada ancaman. Kalimat senada dilontarkan Soeharto di pesawat ketika melakukan lawatan kenegaraan ke Yogoslavia dan Uni Sovyet.
"Tak gebuk," ujar Soeharto menjawab pertanyaan tentang liputan media massa berkaitan dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1980-an yang mirip gerakan mahasiswa 1970-an. Berbeda dengan ekspresi dingin saat melontarkan acaman pada 1978, kali ini tangan Soeharto mengepal siap meninju. (Tribunnews.com - Rabu, 28 September 2011 09:05 WIB. Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra)
Artikel Terkait