Jakob Oetama Tak Mau Koran Jadi Corong Partai

Jakob Oetama di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (27/9/2011).
KONDISI politik di era 1965 ikut melatabelakangi lahirnya Harian Kompas yang dikomandani duet Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong. Saat itu koran-koran nonkomunis bertumbangan akibat diberedel pemerintah.

Suatu hari di bulan April 1965, Menteri/Panglima TNI AD, Letjen Ahmad Yani menelepon koleganya di kabinet, Menteri Perkebunan Frans Seda. Yani minta agar Frans Seda, saat itu menjadi Ketua Partai Katolik, mendirikan koran .

Jenderal bintang tiga yang kemudian menjadi Pahlawan Revolusi tersebut beralasan, hampir semua partai politik memiliki media massa sebagai corong partai. Sebut saja Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mempunyai Bintang Timur dan Warta Bhakti.

Seda kemudian menemui Ignatius Joseph (IJ) Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik, PK Ojong, dan Jakob Oetomo, untuk membahas ide Ahmad Yani. "Ini pasti kemauan Tuhan," kenang Frans Seda.



Awalnya Jakob dan Ojong keberatan. Alasannya, lingkungan politik, ekonomi, dan infrastruktur pada waktu itu tidak menunjang. Dalam pembicaraan antara Jakob dan Ojong dicapai kesepakatan, koran yang akan diterbitkan bukan corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu bersifat umum, didasarkan pada kemajemukan Indonesia.

"Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia," ujar Jakob seperti tercantum dalam buku Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama. Buku tersebut diluncurkan pada saat peringatan ulang tahun ke-80 Jakob Oetama, di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (27/9/2011). 

Kemajemukan dimaksud menyangkut suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya. Dari sisi idealisme, prinsip Jakob dan Ojong tersebut bisa diterima, begitu pula dari sisi bisnis masuk akal.

Ketika pada saat itu semua koran berafiliasi pada sebuah partai politik tertentu, koran yang akan diterbitkan tidak boleh menjadi corong Partai Katolik. Setelah syarat tersebut disetujui Frans Seda dan IJ Kasimo, pembahasan pendirian koran baru dilanjutkan kembali.

Kemudian dibentuk Yayasan Bentara Rakyat sebagai penerbit karena koran baru tersebut rencananya akan diberi nama Bentara Rakyat. Bentara artinya pembantu raja yang bertugas menyampaikan perintah raja. Nama Bentara telah dipakai sebuah majalah yang terbit di Flores.

Rupanya, Bung Karno yang pada saat itu menjadi presiden, mendengar rencana penerbitan koran baru sehingga kemudian bertanya kepada Frans Seda. "Frans, saya dengar jij (kamu) mau menerbitkan koran. Apa nama korannya?" Seda menjawab, "Bentara Rakyat, Bung!" Ternyata Presiden Soekarno punya ide lain soal nama surat kabar.

"Aku akan memberi nama yang lebih bagus.. Kompas! Tahu tho apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!" Apa jawaban Frans Seda? "Baik Bung, akan saya bicarakan dulu dengan redaksi dan yayasan." Nama itu disetujui Ojong, Jakob, dan organ yayasan.

Logo Kompas disiapkan semalam oleh wartawan Kompas, Edward Linggar. Logo tersebut terus dipakai hingga kini meski mengalami beberapa kali perubahan menyangkut tebal-tipis huruf. (Tribunnews.com - Kamis, 29 September 2011 09:41 WIB. Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra Putra)

Artikel Terkait
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes