Damai


MALAM Natal itu kesabaran nona rambut merah nyaris sirna. Meski jarum jam telah menunjukkan pukul 23.00 Wita, nona rambut merah sulit memejamkan mata. Dia bergegas meninggalkan kamar tidur menuju garasi lalu mengambil balok kayu sepanjang satu meter. Si nona pun keluar dari pintu gerbang rumah. Dia menuju sisi jalan dengan wajah geram. Waw! Berani betul si nona rambut merah.

Malam-malam sendirian berdiri di pinggir jalan dengan balok di tangan.
Rupanya nona rambut merah menunggu segerombolan remaja tanggung yang sejak berjam-jam lalu melewati depan rumah itu sambil meremas gas sepeda motor tanpa saringan knalpot. Raungan sepeda motor mereka sungguh memekakkan telinga.

"Lu (kau) lewat sudah, beta habok lu (pukul) dengan balok ini!" katanya setengah berteriak sambil mengacungkan balok kayu ke arah remaja tanggung itu. Para remaja usia SMP dan SMA rupanya keder juga. Sontak berbalik arah. "Anak-anak itu memang perlu diberi pelajaran," kata nona rambut merah dengan nada kesal.


Inilah pertama kali si nona rambut merah kesal berada di Kupang. Padahal selama bertahun-tahun, si nona rambut merah selalu rindu pulang ke Kupang, kota kelahirannya. Kota dia dibesarkan orangtua yang amat mengasihi. Kota tempat para sahabat dan famili selalu menyambutnya dengan ramah. Apalagi saat Natal, Kupang penuh sukacita yang tak terlukiskan utuh dengan kata-kata.

Malam hari di Kupang dia bisa sepuas hati memandang bintang dan bulan. Memandang sinar langit tanpa halangan kabut atau asap hitam, sesuatu yang jarang dia nikmati di kota tempatnya bekerja. Dan, Kupang adalah kota yang hening. Kota di mana dia bisa tidur pulas. Cocok betul untuk berlibur.

Sayang sekali, Kupang sudah berubah. Pada malam Natal 2009 serta malam-malam sebelumnya, nona rambut merah sulit tidur. Dia kerap terjaga oleh raungan sepeda motor yang tiada henti melewati jalan utama di depan rumah orangtuanya. Bahkan sejak senja menjemput malam, ketenangannya terusik oleh letusan kembang api. Kembang api yang menyalak kasar menyesakkan dada.

Tuan dan puan warga Kota Kupang dan kota lain di NTT mungkin sama merasa geram seperti nona rambut merah tadi. Flobamora hari-hari ini - di saat libur Natal dan Tahun Baru -- senantiasa dihiasi raungan sepeda motor tak terkontrol. Juga bunyi petasan yang memekakkan telinga bahkan membuat jantung terasa hendak copot. Kembang api menyalak hingga larut malam. Bukan di lokasi khusus, misalnya bibir pantai atau lapangan bola, tetapi di mana saja. Di kawasan perumahan padat, jalan umum bahkan di samping rumah ibadah. Di beberapa tempat ditambah lagi dengan letusan meriam bambu yang dimainkan orang dewasa.

Pesta kembang api memang pernik sukacita. Tetapi sukacita itu tak lagi menjunjung tata krama. Tidak sensitif. Saat kebaktian Malam Natal 2009 sedang berlangsung, orang tanpa beban membunyikan petasan di dekat gereja. Bum...bum... buaarrr! Bunyinya bersahut-sahutan. Para pemain petasan seolah berlomba dalam hal bunyi. Pencetus bunyi paling dasyhat akan merasa paling hebat!

Mereka tidak menghargai sesama yang sedang berdoa. Tidak peduli dengan kenyamanan orang lain. Prinsipnya, yang penting saya girang. Dalam sejumlah insiden, pengendara sepeda motor justru dijahili pelempar petasan saat melaju di jalan umum. Beberapa perempuan berteriak histeris. Sejumlah pengendara nyaris terkapar mencium tanah karena terkejut mendengar letusan tiba-tiba.

Hati seperti tersayat melihat pelempar petasan tersenyum bangga. Ada apa dengan orang kita? Semakin banyak manusia kehilangan hati. Manusia yang riang melihat orang lain susah. Entah apa yang dicari orang dengan menembakkan kembang api ke langit yang kerlap-kerlipnya cuma bertahan sekian detik itu. Entah apa yang ada di kepala para pemain kembang api ketika letusannya nyaris merobek gendang telinga sendiri? Masyarakat egois sedang tumbuh mekar di beranda Flobamora ini.

Selain busana, asesoris natal dan aneka kue, petasan kembang api adalah dagangan terlaris di Kupang selama musim Natal dan Tahun Baru kali ini. Mudah ditemui di berbagai lokasi strategis. Harganya mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Makin mahal, makin keras letusannya. Dagangan itu diserbu anak-anak, remaja dan orang dewasa. Urusan konsumtif, kita orang NTT memang ahlinya bung!

Korban sudah jatuh. Seorang warga Kupang buntung tangannya disambar petasan minggu lalu. Tapi gairah membeli kembang api belum surut jua. Proficiat untuk para pedagang serta institusi negara yang memberi izin. Tuan dan puan sungguh paham selera pembeli. Cerdas mempraktekkan ilmu marketing. Berapa kontainer petasan yang sudah laku di pasar Nusa Tenggara Timur (NTT)? Angka pasti menarik untuk ditelusuri. Ketika kota lain melarang keras petasan, dagangan itu membanjiri bumi NTT. Damai Natal di sini kok identik dengan letusan! Identik dengan bau belerang yang membuatmu sesak napas. Tidurlah terus Flobamora!

Seorang sobat yang tinggal di kawasan utara Kupang mengisahkan pengalamannya dua malam lalu. Dia begadang karena bayinya yang berusia lima bulan menangis sepanjang malam gara-gara bunyi petasan. Sobat itu menelepon Polsek terdekat. Memohon bantuan menegur tetangga yang tidak sensitif. Telepon berkali-kali tak diangkat. Penasaran dia menuju ke Polsek. Di sana anggota polisi piket lagi asyik bercengkerama di depan pesawat televisi yang sedang menyala. Wah?

Mendengar pengaduannya, polisi piket spontan berkata, "Jangan marah, kami sarankan Om lapor ke lurah dulu!" Sang kawan pulang dengan muka asam (kecewa). Dia mengaku tak habis pikir, lembaga Polri yang memberi izin penjualan petasan, tapi ketika masalah mendera warga, laporan pertama wajib kepada lurah. "Kantor lurah sekarang sudah buka 24 jam ko?" tanyanya.

Beta tak sudi menjawab karena dia pun tahu jawabannya. Beta cuma mengucapkan selamat Natal dan siap menyambut Tahun Baru 2010. Selamat menikmati hidup di kota yang semakin tak ramah. Kota egois bermotto Kasih. Ironis! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 28 Desember 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes