Nothing That is Worth Knowing Can Be Taught

Theodor-Heuss Akademie
Nothing That is Worth Knowing Can Be Taught. Tak satupun pengetahuan yang bermanfaat bisa diajarkan. Kalimat provokatif dari pengarang Irlandia, Oscar Wilde tersebut dikutip Direkttur FNS Indonesia, Rainer Heufers dalam kata pengantar buku Direktori Alumni IAF Indonesia 2011 yang diterbitkan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNS) Indonesia pada bulan Mei 2011.

Lewat kutipan itu Heufers mau melukiskan filosofi kerja FNS melalui programnya melayani masyarakat Indonesia selama empat dekade. “Yayasan kami (FNS) tentu saja tidak bermaksud mengajari, baik di Indonesia maupun di akademi kami di Jerman. Sebaliknya yang kami lakukan adalah mempertemukan para pemimpin masa kini dan calon-calon pemimpin masa depan dan menyediakan platform dimana mereka dapat berbagai pandangan dan pengalaman,” tulis Heufers.

Begitu kembali ke Indonesia peserta ini menerapkan pengalaman mereka ke dalam praktek dan melakukan replikasi terhadap metote berbagi pengalaman tersebut dengan kolega-koleganya dan masyarakat umum yang tertarik dengan cara yang terbuka dan demokratis. Dengan satu atau lain cara, mereka semua telah membantu Indonesia membentuk institusi-institusi demokratis dan masyarakat sipil yang ada saat ini.

The International Academy for Leadership (IAF) atau Akademi IAF di Jerman menawarkan kursus-kursus tentang nilai-nilai liberal, manajemen konflik, pemerintahan daerah, perekonomian global dan banyak topik lainnya yang penting secara prinsipil dan politis. Kursus-kursus tersebut merupakan kursus singkat yang biasanya diikuti peserta dari 20-an negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa. Hal ini memungkinkan terjadi diskusi kritis dan konstruktif yang tidak hanya menjembatani perbedaan geografis melainkan juga perbedaan kepercayaan, budaya dan sistem politik dan ekonomi.

Menurut Heufers, selama bertahun-tahun ratusan peserta Indonesia telah mengikuti kursus-kursus tersebut di IAF yang terletak di Kota Gummersbach, Jerman.

Buku “Direktori Alumni IAF Indonesia 2011” dengan editor Nur Rachmi dan Fifianty Debora berisi 142 orang alumni asal Indonesia yang menimba ilmu di IAF sejak tahun 1990-an. Mereka berasal dari berbagai latar belakang profesi. Buku direktori alumni IAF ini diterbitkan dalam rangka memperingati 40 tahun keberadaan FNS di Indonesia.

Saya merasa beruntung termasuk dalam 142 alumni dalam buku direktori tersebut. Saya mengkuti kursus di IAF pada bulan Maret 2010 bersama teman saya dari JIL, Saidiman Ahmad. Kami mengikuti kursus dengan topik: Liberalisme dan Religiositas. Ternyata banyak tokoh terkenal yang pernah mengenyam ilmu di IAF. Sebut misalnya mantan menteri, Yusril Ihza Mahendra, pengacara Todung Mulya Lubis, Anggota Dewan Etik ICW, Teten Masduki, staf pengajar dari FISIP UGM, Cornelis Lay, Guru Besar UI, Didick J Rachbini, J Kristiadi dari CSIS, wartawan senior Lukas Suwarso, Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat dan lainnya.

Pada halaman 34 buku direktori alumni tersebut, saya menulis kesan sbb: Peserta seminar Liberalism and Religiosity 2010 sebanyak 24 orang dari 21 negara (Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa). Sembilan topik utama dalam seminar itu sungguh memperkaya wawasan saya tentang liberalisme, agama dan sekularisme. Topik seminar sangat relevan dengan kondisi Indonesia. Manfaatnya sangat besar bagi saya dalam menjalani profesi sebagai wartawan. Seminar itu sungguh merupakan amunisi ilmu pengetahuan dan pengalaman baru yang membuat saya lebih bijak dan obyektif mempromosikan sikap toleransi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Terima kasih FNS.

Menurut Direktur IAF, Birgit Lamm, IAF telah aktif di Gummersbach, kota mungil tak jauh dari Koln, Jerman sejak tahun 1995. Sejak itu sekitar 300-an peserta internasional menghadiri seminar-seminar IAF setiap tahunnya. Angka ini membentuk komunitas alumni yang mengesankan yang terdiri dari lebih 5.000 orang di seluruh dunia, di antaranya adalah peserta dari Indonesia.

“Pengalaman IAF tidak hanya merupakan pengalaman dan pengetahuan baru, tetapi juga membantu menciptakan persahabatan dan jaringan yang berkelanjutan di antara para alumninya. Inilah barangkali salah satu pencapaian jangka panjangnya yang terpenting. Di banyak negara jaringan alumni meneruskan semangat IAF dan menyebarkan gagasan-gagasan liberal. Direktori alumni IAF Indonesia ini merupakan suatu langkah besar ke arah tersebut dan akan menjadi titik awal kontak yang lebih erat di antara para alumni IAF dari Indonesia sendiri dan semoga pula tercipta kerja sama di antara mereka di masa mendatang. IAF selalu mendorong proyek-proyek seperti ini dan menawarkan dukungannya kepada semua kegiatan pembentukan jaringan di antara alumni kami,” demikian Birgit Lamm dalam kata pengatar buku tersebut.

Harapan Lamm ini mestinya menggugah alumni IAF di Indonesia. Siapa yang mau mengambil inisiatif membentuk jaringan alumni???

Friedrich-Nauman-Stiftung Fur die Freiheit (FNS) didirikan pada tahun 1958 oleh Presiden pertama Republik Federal Jerman, Theodor-Heuss. Ia menamakan lembaga ini sesuai dengan nama seorang pemikir Jerman, Friedrich-Naumman (1860-1919), yang memperkenanlkan pendidikan kewarganegaraan di Jerman untuk mewujudkan warga yang sadar dan terdidik secara politis.

FNS mengawali kegiatannya di Indonesia pada tahun 1969 dan memulai kerja sama resminya dengan pemerintah Indonesia sejak 26 April 1971. FNS membagi pengetahuan dan nasihat kepada para politisi, pembuat keputusan, masyarakat sipil dan masyarakat secara umum. Lembaga ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat dan institusi-institusi pendidikan untuk berbagi pengetahuan dan membantu menciptakan perubahan yang positif dan damai pada masyarakat di negara-negara itu. Selengkapnya kunjungi www.fnsindonesia.org. (Dion DB Putra, alumni IAF 2010).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes