MAUMERE kota nyiur melambai, kota di mana terik mentari membakar dada hingga ubun-ubun. Kota di Flores yang tersohor hingga ke sudut bumi ketika gempa disusul tsunami menghardik pada Sabtu kelabu 12 Desember 1992. Lebih dari 2.000 nyawa hilang dalam sekejap.
Soeharto, penguasa rezim Orde Baru meninggalkan kenyamanan Istana Merdeka Jakarta. Dia terbang ke Maumere bersama Ibu Tien yang keibuan itu. Pasangan Soeharto-Tien mengunjungi barak dan tenda. Menguatkan mereka yang terluka. Meneguhkan yang kehilangan orang-orang terkasih.
Beta tiba di kota ini 7 Juli 2011. Tiba disambut terik Bandara Frans Seda untuk memulai tugas baru entah sampai kapan. Inilah pertama kali beta bertugas sebagai wartawan di kota tsunami. Puji Tuhan akhirnya Maumere kugauli juga. Kuakrabi dalam waktu yang lama, tidak sekadar nginap semalam, sehari dua bahkan cuma transit beberapa jam.
Sepekan menjadi penghuni MOF (nama udara untuk Kota Maumere) beta menangkap kesan yang mengesankan tentang Maumere, tentang anak-anak nian Sikka zaman ini. Di depan Gelora Samador da Cunha, tempat “suci” yang pernah ditapaki Beato Johanes Paulus II tahun 1989, celetukan dua remaja berseragam putih abu sekilas memberi gambaran tentang Maumere Manise.
“Itu cewek mayoret esema frater cantik ngeri! Saya dengar dia belum ada pacar,” kata remaja A pemilik muka oval, kulit hitam manis, rambut sarimi (keriting) dan kepala agak lonjong seperti kebanyakan ana Lio, tanah darahku tumpah pertama dari rahim ibundaku dulu. “Ai, tidak mungkin ka dia belum ada pacar,” timpal rekannya. Profil fisik yang ini Sikka banget. Kuduga garis darahnya dari pantai selatan Flores yang ganas menghardik karang, seputar kawasan Bola atau Lela timur.
Cantik ngeri! Apa maksudnya? Kudapat jawaban seiring hari berganti dan waktu bergulir di MOF yang terik mendidih dan susah air bersih. Air harus “pake beli” kata orang di sana untuk melukiskan dana ekstra rumah tangga buat kebutuhan vital ini. Sebulan bisa habiskan “uang air” sebesar Rp 200 ribu lebih guna memenuhi satu rumah tangga dengan anggota lima orang.
Ngeri adalah diksi untuk menggambarkan betapa cantiknya cewek mayoret drumband SMAK Frateran Maumere yang digosipi kedua pemuda tanggung itu. Ngeri telah bergeser maknanya bagi orang Maumere. Ngeri tidak mesti berarti ngeri! Di Pasar Alok, pasar modern dan terbaik dari sisi penataannya di NTT beta menguping dialog penjual dan pembeli ayam begini. “Mo’at Hiro, berapa harga ayam ini?” “Lima puluh ribu nong,” jawab si penjual. “Mahal ngeri e...”
Jadi bukan hanya cantik ngeri. Harga ayam pun mahal ngeri. Kalau tuan dan puan ke kota ini, maklumilah bila amat kerap mendengar diksi ngeri. Ngeri terdengar di hotel, restoran, pinggir jalan, kantor polisi atau bank. Ngeri pun riuh di pasar, pertokoan, toko buku, kantor pemerintah bahkan gereja yang lebih banyak kaum hawa dibanding adam setiap kali misa. Entah misa harian pagi, misa hari raya atau Minggu biasa.
Maumere memang serba ngeri. Kecelakaan lalulintas ngeri. Perkosaan ngeri, selingkuh ngeri, KDRT ngeri, bunuh diri ngeri, mabuk moke ngeri, berdoa ngeri, belis ngeri, pesta ngeri, rabies ngeri, nyamuk malaria ngeri, politik ngeri, korupsi juga ngeriiiii sekali!
Sepeda motor masuk got, angkot seruduk pohon, ojek bakusenggol di lorong-lorong terlihat biasa saban hari. Naik motor tanpa helm adalah pemandangan jamak di jalan-jalan MOF. Bahkan mereka melintas tanpa beban di depan Kantor Polres Sikka yang halamannya diteduhi pepopohan rindang.
Dua bulan pertama di Maumere hampir tiap hari beta edit berita tentang KDRT. Laki pukul bini, bini hajar laki. Bapak aniaya anak, anak tikam ayah dengan belati. Juga perselingkuhan. Bukan lagi selingkih tipis-tipis sekadar memandang mengagumi, meremas jari atau tos pipi. Mereka selingkuh benaran sambil tega meninggalkan istri, menanggalkan suami untuk hidup bersama meski sama-sama sudah beranak seorang dua hingga setengah lusin. Maumere begitu jauh berubah dibanding memori masa bocahku dulu di Watuneso, kawasan tapal batas – sekitar 50 km barat Maumere.
Tatkala gong waning berdentang di jalan-jalan kota, digebuk sekelompok pria di atas mobil pick up, tahulah awak bahwa akan ada pesta. Lazimnya pesta kawin. Akan ada pengantin baru malam ini. Tapi pesta di Maumere bukan cuma sehari saja. Bisa dua hari sebelum dan dua hari sesudah hari H. Kesibukan keluarga luar biasa. Mulai dari buat panggung atau tenda sampai bubar panitia. Babi, ayam, kambing, anjing dan sapi tidur tak nyenyak. Sekian ekor disembelih. Sekian jerigen moke bakal dilahap sampai habis. Musik berbunyi hingga telingamu teler. Pung pang hingga malam larut. Saat hari H malah sampai fajar menyingsing. Demi pesta nikah atau sambut baru jalan umum ditutup. Kelakuan MOF mirip warga Kupang, ibukota propinsi Nusa Tenggara Timur.
Dugaan korupsi dana Bansos Rp 10 miliar di Sikka lebih telah menghiasi lembaran media massa cetak sejak berbulan-bulan, menghuni audio pendengar radio dan ditatap jutaan pasang mata di kotak kaca televisi. Juga informasi hilir-mudik di jalur online. Proses hukum berbelit ngeri. Berputar-putar ngeri. Entah berujung sampai di mana. Penasihat hukum ngeri bersilat lidah. Penegak hukum ngeri nian memainkan sandiwara. Tersangka pelaku berkelit ngeri (dengan segala cara), seolah tanpa dosa, ngeri betul mencari tumbal korban, mencari kambing hitam.
Maumere memang serba ngeri. Namun kengerian ini membuat beta mulai jatuh cinta pada kota ini. Jatuh hati pada ikan segarnya yang murah namun berkualitas wahid, sesuatu yang sulit ditemukan di Kupang dan kota lain NTT. Jatuh cinta pada dinamika sosial masyarakat yang makin sadar dan bertanggungjawab terhadap hak politik dan demokrasinya. Kuterpikat pada senyum manis kaum ibu yang masih memakai konde di rambutnya dan berbusana Sikka. Saat ke gereja, ke pesta nikah atau hajatan lainnya. Oh Maumere manise. Enak ngeri pernah menghunimu. Epangawang. Terima kasih.*
Beru, akhir September 2011 (untuk pembaca "berandaku yang telah mati." Beta belum berhenti menulis)