Angin Ende dan Sedapnya Goragosa

Ende, Flores
GORAGOSA adalah sejenis rumput alang-alang. Goragosa yang menjadi bumbu dasar masakan Flores tempo dulu itu hadir kembali sebagai bumbu santapan nikmat di Kota Ende, Nusa Tenggara Timur.

Angin malam Kota Ende mengantar kami memasuki rumah panggung berdinding kulit bambu, Restoran Pangan Lokal, di Jalan Melati. Tikar daun pandan dan meja berkaki rendah menyambut kami dalam suasana lesehan yang santai. Suasana ini yang memikat turis dari 16 negara untuk menjajal citarasa asli Ende Lio, di pesisir selatan Pulau Flores, NTT.

Suster Martini CIJ, pengelola restoran itu, sepertinya tahu kami sungguh lapar. ”Kalian datang malam-malam, tidak banyak menu yang tersedia. Mungkin bagus menjajal nasi jagung dan ikan kuah asam?” ujarnya menawarkan.

Ah, membayangkan sup ikan ekor kuning segar dari Laut Sawu di selatan Kota Ende semakin memompa nafsu makan. Namun, sepertinya tidak akan memuaskan rasa lapar. Dengan ragu kami juga memesan ikan kerapu bakar.

”Ada, tetapi harus menunggu dibakar, bumbunya juga rumput goragosa,” sahut Suster Martini.

Rumput goragosa memang menjadi salah satu bumbu dasar hampir semua menu di Restoran Pangan Lokal yang menampik semua bumbu penyedap rasa buatan. Seperti 50-an sayuran dan bumbu dapur lainnya, goragosa juga ditanam di pekarangan luas rumah makan itu.

”Slowfood” ala Ende

Tidak hanya memasak dengan bumbu segar, seluruh menu baru dimasak setelah dipesan. Ikan dibakar dengan kayu di perapian kecil di belakang dapur. Sementara bumbu diparut, bunga pepaya dan ubi jalar dicacah lembut untuk bahan urap.

Dua cawan jahe panas, jahe yang pedas dan berasa tajam, disuguhkan terlebih dahulu menemani waktu menunggu awak dapur menjalankan ”ritual” slowfood mereka. Sekitar 45 menit kemudian, barulah hidangan bermunculan dari dapur.

Nasi bercampur jagung tersaji dalam cambung atau bakul tembikar. Ikan kuah kuning pun tersaji dalam cambung berukuran lebih kecil. Air liur segera terbit oleh uap beraroma rumput goragosa.

Sup ikan kuah kuning itu sedikit pedas, pedasnya rempah. Rasa masam yang lembut membuatnya terasa segar, itulah citarasa rumput goragosa. Rasa masam yang lebih tawar dari rasa masam asam jawa atau belimbing, namun juga terasa segar. Goragosa memang menjadi salah satu bumbu dapur andalan, terutama kala asam jawa susah didapat di pasar dan harganya relatif mahal. Selain itu, ada pula alternatif yang lain, yakni rumput uta mela meski rumput jenis ini agak sulit diperoleh sebab tumbuh di daerah pegunungan.

Ikan kerapu bakar tersaji dalam nampan yang dialasi daun pepaya segar bersama mentimun dan kemangi. Tumbukan rumput goragosa, kunyit, bawang merah, dan bawang putih yang dilarutkan dengan minyak kelapa meresap di dagingnya, segar, sedikit pedas oleh merica, juga gurih. Rasa masam yang sama lembutnya.

Ngeta, urap bunga pepaya dan daun ubi yang bercampur dengan parutan kelapa yang telah disangrai tersaji pula. Pelengkapnya berupa sambal tomat bercampur kemangi yang disajikan dalam separuh batok kelapa.

Kejutan muncul ketika mencocol sambal kemangi yang berair oleh rajangan tomat. Pasangan ikan bakar itu sungguh pedas, pedas cabai Ende yang tajam, setajam aroma jahe hangat minuman kami. Adonan aneka rempah membuat keringat bercucuran bahkan ketika kami belum selesai bersantap.

Diburu wisatawan

Restoran Pangan Lokal yang awalnya berdiri sebagai tempat praktik siswa SMK Muktiasa, Ende, itu masih menjadi satu-satunya restoran di Ende yang menawarkan citarasa kuliner lokal. Namun, restoran itu justru tak diminati kebanyakan orang Ende.

Padahal harga yang dipatok terbilang murah meriah. Bahkan, Suster Martini mengatakan, jika dihitung melulu secara ekonomis, restorannya terbilang merugi. Ada paket murah yang ditawarkan dengan harga Rp 22.500 per paket, yang terdiri dari nasi merah, ikan kuah asam, ngeta, sambal, plus minuman. Minuman yang disuguhkan mulai dari kopi lokal, juga aneka teh, seperti teh jahe, teh pandan, atau pun teh serai. Pembeli tinggal memilih sesuai dengan selera.

Nasi yang ditawarkan di restoran ini juga sangat khas sekaligus menjadi menu andalan, yakni nasi jagung dan nasi kacang. Kacang yang dimaksud bukan kacang hijau, melainkan kacang hitam yang merupakan salah satu jenis pangan lokal di Ende.

”Pengunjung di sini kebanyakan memang wisatawan asing. Sudah ada wisatawan dari 16 negara yang menyantap menu kami, termasuk wisatawan Amerika Serikat, Jerman. Yang paling banyak wisatawan Italia. Biasanya, mereka datang berombongan, dengan memesan terlebih dahulu, tidak menunggu proses memasak yang lama,” ujar Suster Martini.

Yang unik, Suster Martini justru siap membuka resep berbagai masakannya. ”Kami justru ingin setiap orang mau kembali menghidangkan kembali berbagai masakan tradisional Ende Lio. Semakin banyak orang meninggalkan cara menghidangkan makanan yang serba instan akan semakin baik. Memasak dengan hati, itu kunci kelezatan hidangan kami,” ujarnya tertawa.

Masalahnya, sejauh ini rumput goragosa hanya tumbuh di Flores. Jadi, cita rasa sesungguhnya dari nasi jagung, ikan kuah kuning, dan ikan bakar memang harus diburu di Ende. Carilah kesempatan mencicipinya. Ada sensasi eksotisme.(Aryo Wisanggeni dan Samuel Oktora/Kompas)
Sumber: Kompas.Com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes