Peneliti Di Indonesia Today, Jakarta
Banyak pihak di negara-negara Eropa, Asia dan Amerika Latin memboikot produk-produk Trans National Corporation (TNCs), seperti McDonald, Cocacola, Pepsi, Starbuck, karena mematikan ambisi pebisnis-pebisnis lokal. Nutrisi yang digadang-gadang dari produk-produk TNCs tak sebanding dengan makanan dan minuman lokal. Produk-produk ini unggul hanya karena embel nama besar negara asalnya yakni USA.
Kritikan Sri Palupi “Pilot Yang Salah Pesawat” berkaitan dengan kondisi Indonesia yang sedang berjumpa kapitalisme. (Baca; Kompas, 2/2) Kritik utama ditujukan kepada pemimpin kita yang tak berdaya di hadapan kekuasaan TNCs. Bayangkan! TNCs ini kerap melakukan tekanan politik melalui lembaga-lembaga multilateral, seperti IMF dan Bank Dunia untuk mendobrak negara bandel.
Survey Control Risk Group (2004 ) menemukan, TNC kerap menggunakan tekanan
politik dari negara asal untuk mendobrak negara yang bandel. Dari survey itu, hanya 7,6 % perusahaan USA dan 9,2 % negara OECD yang tidak melalui tekanan politik. Akibatnya, 78.000 TNCs, berikut produk-produknya, membanjiri pasar seluruh dunia dan domestik. (Baca; UNCTAD, 2007)
Tak heran kalau pedagang-pedagangan asongan yang berjejer di setiap lorong metropolis gagap melihat outlet-outlet, seperti 7Eleven, Cyrkle-K, Lotte Mart. Rumah makan tradisional menjadi tidak menarik bagi konsumen karena hadirnya McDonald, KFC, Burger King dan sebentar lagi restoran cepat saji, Johnny Rockets (AS ) segera hadir di Indonesia. Mobil produk SMEA di Solo merupakan produk lokal terbaru yang disambut basa-basi konsumen karena masih kuatnya cengkeraman raksasa Honda, Toyota, dan mobil-mobil buatan Eropa.
Kapitalis Lokal
Tampaknya Palupi hanya menyoroti korporasi asing (TNCs) dan lupa korporasi domestik. Padahal, sepak terjang korporasi nasional dan transnational sama saja, profit-oriented. Lihat saja daftar 40 orang kaya Indonesia yang mengakumulasi kekayaan sebesar US$ 85,1 miliar. Nilai kekayaan mereka setara dengan 11 persen total PDB tahun 2011 yakni US$752 miliar. Total kekayaan dan aset mereka terus meningkat. Mereka mengkapitalisasi semua bidang-pertambangan, ritail, perkebunan, pertanian-sehingga tak ada ruang bagi rakyat mengembangkan usaha.
Kapitalis lokal tidak susah mencari uang. Mereka bisa mencari uang ke bank dan bank investasi. Tetapi, yang menyulitkan mereka adalah mendapat lahan konsensi dan perijinan. Sehingga, mereka perlu bersahabat
dengan penguasa. Bahkan ada yang menjadi pengurus dan penguasa Parpol. Di era otonomi daerah hanya Parpol yang bisa mengendalikan kepala daerah, karena bupati adalah anggota Parpol tertentu. Persahabatan kapitalis dan penguasa bukan untuk urusan publik, tetapi untuk kepentingan diri. (Baca; Adam Smith).
Kapitalis mendapat kemudahan berbisnis dan penguasa mendapat dana untuk proyek politik selanjutnya. Dengan demikian, baik TNCS maupun korporasi domestik sama-sama buruk karena mereka menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepentingan privat, membangun korporatocracy dan merusak demokrasi. Jika TNC memasarkan demokrasi sebagai pintu masuk usahanya ke Indonesia, korporasi lokal malah bisa menjadi pemain dalam sistem demokrasi. Demokrasi bagi korporasi lokal menjadi sekedar tunggangan mengakumulasi modal.
Dengan cara seperti itu mereka mencaplok kekayaan seluruh nusantara. Genapalah sepenggal syair lagu Koes Plus, orang bilang tanah kita tanah surga, tetapi dalam genggaman kapitalis, tongkat, kayu dan batu bisa jadi tanaman. Dalam genggaman kapitalis lahan dan tanah pertanian warga dicaplok hanya untuk investasi tambang dan pembangunan mall-mall. Maka, baik TNCS maupun korporasi domestik sama-sama buruk karena keduanyaa menguasai sumber hayat orang banyak untuk kepentingan privat, membangun korporatocracy dan membuat cita-cita Pancasila dan UUD’45 jauh dari harapan.
Dalam genggaman kapitalis, model pembangunan kita semakin mengarah ke rezim liberal. Liberalisasi membuka pintu bagi pembangunan top down. Model ini menggodai lembaga-lembaga intermediasi, seperti perbankan untuk berpihak pada korporasi-korporasi berskala raksasa.
Data tahun 2008 menunjukan, bank-bank nasional lebih suka memberi kredit kepada 331 perusahaan raksasa daripada kepada sektor UMKM yang mencapai 44 juta. Rendahnya akses kredit berakibat langsung pada minimnya daya saing industri dalam negeri. Itulah sebabnya, meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat 6,5 persen dan pendapatan per kapita mencapai Rp30.8juta tahun 2011,tetapi pertumbuhan itu tetap tidak menyentuh kehidupan rakyat kecil.
Dalam teorinya, rakyat kecil, seperti petani akan mendapat berkah dari pertumbuhan ekonomi jika ekspor digenjot, karena menyentuh langsung petani penggarap. Ekspor kita memang menunjukkan grafik menaik beberapa tahun terakhir. Tahun 2010 misalnya, kenaikan ekspor ditopang beberapa sektor non-migas, seperti kelapa sawit. Persoalannya, meskipun kelapa sawit adalah salah satu industri yang menopang ekspor per Januari-Novemeber 2010 (US$ 140,65 miliar), namun bukan petani plasma yang mendapat berkah dari kanaikan harga CPO global,melainkan pengusaha-pengusaha besar sekelas Wilmar Group. Begitupun nasib warga sekitar areal tambang emas, nikel dan mangan. Mereka hanya mendapat secuil berkah kenaikan harga komoditas, seperti emas dan mangan. Justru yang mendapat keuntungan besar adalah investor tambang. Pertanyannya adalah mengapa warga kecil selalu menjadi korban pembangunan?
Tidak Diperhitungkan
Dalam pemerintah korporatocracy, rakyat kecil tidak diperhitungkan. Suara rakyat yang berteriak menegosiasikan kehidupan mereka di ruang publik, tidak tersambung ke parlemen. Rakyat hanya konstituen mereka sebelum pemilu. Setelah pemilu usai, konstituen mereka bukan rakyat lagi, tetapi pemodal yang membiayai mereka dalam kampanye pemilu. Soalnya, dalam demokrasi elektoral pendaftaran parpol dan biaya operasional saja sangat mahal. Sehingga perlu mencari pendanaan melalui pengusaha, dana asing dan dana ilegal untuk menghidupi partai. Tak heran jika banyak politisi terjebak korupsi.
Untuk lolos serbuan KPK, mereka membentuk kartel politik. Kartel untuk melumpuhkan kinerja aparat penegak hukum dan mensabotase setiap aksi pencarian informasi. Kartel politik akhirnya bermuara pada hancurnya fungsi institusi-institusi demokratis. Institusi-institusi demokratis tetap dipelihara sebatas simbol tanpa substansi. Pemilu tetap dijalankan secara regular, namun tidak membawa perubahan konkret bagi hidup rakyat kebanyakan. Itulah sebabnya, kendati institusi-institusi demokratis tampaknya bekerja, namun persoalan-persoalan menyangkut hidup rakyat kebanyakan tidak tersentuh kerja institusi-institusi tersebut.
Pemimpin Indoneisa perlu belajar dari keberanian Mantan presiden Brasil, Lula Da Silva, yang berani mengambil jarak terhadap kapitalisme global dan menerapkan program pro-rakyat. Dalam genggamannya, ekonomi Brazil tahun 2010 bertumbuh 7 persen dan mampu menyerap 2.5 juta angkatan kerja yang ditopang kebijakan perbankan yang baik, proteksi terhadap industri kecil dan kebijakan land reform yang baik. Strategi ini yang diharapkan mekar dari industri-industri kecil dan menengah di Indonesia.
Sumber: Opini Kompas, Selasa 28 Februari 2012