NTT Academia Award 2012: Terima Kasih untuk Sebuah Idealisme dan Keluarga Baru

Dari kiri: I Wayan Mudita, Mediatrix, Gerson Poyk
Oleh I Wayan Mudita

Saya tidak sempat menonton pertunjukan monolog Abdi Keraf, saya dan istri tiba terlambat. Kami bukan sengaja ingin datang terlambat, tetapi kami mengijinkan Edi, sopir taksi plat hitam yang kami sewa hari itu, untuk terlebih dahulu mengantar penumpang lain. Kami menggunakan taksi karena khawatir turun hujan, biasanya kami menggunakan sepeda motor saja.

Begitulah, pada saat kami tiba di tempat acara Penganugerahan NTT Academia Award 2012, di aula Universitas Kristen Artha Wacana, acara sudah berlangsung. Kami, dan pada saat itu disertai sahabat kami Remi Natonis, langsung mengambil tempat yang disediakan. Ketika itu, seorang mahasiswi sedang membacakan puisi karya Gerson Poyk, penerima award untuk kategori Literature and Humanity. Lalu, disusul pembacaan puisi oleh Opa Gerson sendiri, maaf, perkenankan saya memanggil beliau dengan panggilan opa. Beliau lahir pada 16 Juni 1931 di Namodale, Ba'a, sekarang ibukota Kabupaten Rote Ndao.

Ketika Dominggus Elcid Li, Ph.D., ketua panitia yang ketika itu merangkap sebagai pemandu acara bertanya kepada Opa Gerson mengenai pendapat beliau terhadap perkembangan sastra di Kota Kupang, beliau menjawab bahwa beliau gembira karena kinisastra dan kesenian sudah mulai mendapat tempat di Kupang. Kini sudah ada Komunitas Sastra Dusun Flobamora yang menerbitkan Jurnal Sastra Santarang, Sabana Lontar Karang. Beliau juga mengatakan, sangat bangga pada kemampuan Abdi Keraf, yang telah membawakan naskahnya dengan sangat baik.

Abdi Keraf dipanggil ke panggung, ditanya bagaimana bisa tampil dengan begitu utuh. Dia mengatakan sempat gugup juga harus menghapal naskah yang cukup panjang dalam beberapa hari, belum lagi menjiwainya, tetapi dia bersyukur pada seluruh nenek moyang, dia bisa membawakannya. Opa Gerson mengelus pundak anak muda ini, beliau tampak begitu bahagia.

Saya mengenal karya-karya Opa Gerson sejak ketika saya masih siswa SMA. Ketika itu, guru bahasa Indonesia di SMAN Dompu, NTB, sekolah tempat saya menamamatkan pendidikan SMA, mengajar bahasa dengan gaya agak beda, selain mengajarkan bahasa sebagaimana yang dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia di sekolah lainnya, juga mengajarkan sastra dan menulis. Guru saya itu, menyuruh murid-muridnya, termasuk saya yang duduk di kelas IPA, untuk membaca karya cerpen dan puisi Gerson Poyk dan buku Komposisi karya Gorys Keraf.

 Saya lupa, karya beliau yang saya pernah baca, karena sudah begitu lama, tetapi nama beliau selalu ada dalam benak saya. Saya bertemu dengan beliau pertama kali dan menyalaminya pagi hari pada acara Kuliah Umum yang diselenggarakan sebagai begian dari acara penyerahan award. Saya, sebagai penerima award kategori Science dan Engineering, diminta menyampaikan kuliah umum, bersama dengan penerima award kategori Social Entrepreneurship, Maria Mediatrix Mali. Pada saat kuliah umum, Opa Gerson sempat bertanya, apa yang menyebabkan apel soe punah. Setelah selesai kuliah umum saya sempat mengobrol dengan beliau. Menurut beliau, orang berpendidikan IPA yang menggemari sastra memiliki apa yang beliau sebut poetic vibration, yang membuat orang menjadi kreatif.


Acara, yang dihadiri oleh Rektor Universitas Kristen Artha Wacana, berlanjut dengan sejumlah pertunjukkan seni oleh mahasiswa. Selain pembacaan puisi, mereka juga menyanyikan puisi karya Opa Gerson dalam genre hip-hop, dan juga mempertunjukkan sejumlah tari kreasi. Mereka adalah anak-anak muda kreatif, berhasil membuat acara penganugerahan menjadi begitu megah.

Sampai akhirnya tibalah acara penyerahan award. Ibu Trix, begitu Ibu Maria Mediatrix Mali biasa dipanggil, mendapat kesempatan pertama, kemudian saya, dan terakhir, tentu saja tanpa mengurangi arti penting, Opa Gerson. Sayang, penerima penghargaan untuk kategori Lifetime Achievement, mantan Gubernur NTT dr. Ben Mboi, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Panitia, karena alasan suasana politik menjelang Pilgub NTT, tidak hadir.

Sebelum penyerahan, dibacakan kriteria pemberian award dan hal-hal yang menjadi kekuatan bagi setiap penerima. Saya tidak heran mengapa Opa Gerson dan Ibu Trix layak menjadi penerima, apalagi dr. Ben Mboi yang mantan gubernur. Lalu saya? Saya merasa sangat kecil dibandingkan dengan ketiga rekan penerima ini. Ketika Dr. Ing. Jonatan Lassa, salah seorang anggota Dewan Juri membacakan kriteria dan kekuatan setiap penerima, saya masih tidak percaya bahwa saya memenuhi kategori sebagai penerima award.


Bagaimanapun, saya patut menghormati upaya yang dilakukan oleh Forum Academia NTT, forum yang terdiri atas para akademisi muda NTT ini. Di tengah masyarakat yang didominasi oleh kepentingan pragmatis untuk mengejar materi, masih ada sekelompok kaum muda yang berani mengusung idealisme akademik yang di negeri tercinta ini merupakan sebuah jalur yang sepi. Lebih dari itu, NTT Academia Award merupakan bakti hasil kerja suka rela oleh banyak pihak. Tentu saja semua ini menjadi tidak mungkin dilakukan kalau saja mereka yang terlibat di dalamnya tidak memiliki sebuah idealisme.  Tiba-tiba saya menjadi semakin kecil, tetapi saya merasa berada dalam sebuah keluarga.

Kebetulan, saya pernah mengajar, ketika fakultas pertanian di universitas ini baru didirikan, dan istri saya juga menjadi dosen di fakultas perikanan, sebelum kemudian mengundurkan diri. Saya menemukan sesuatu yang begitu saya rindukan selama ini, anak-anak muda yang bersekolah tidak hanya untuk mengejar gelar, dosen yang mengejar jabatan guru besar bukan hanya untuk tunjangan kehormatan dan mendapat jatah dana penelitian hibah, orang-orang yang bekerja bukan hanya dengan mentalitas menengadahkan tangan, para penggiat sastra yang setia menelurusi jalan yang jauh dari kemilau materi. Mereka inilah yang sesungguhnya lebih patut menerima penghargaan, bukan saya.

Maka ketika saya diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata, saya hanya bisa terdiam sebelum bisa terbata-bata menyampaikan terima kasih. Saya setuju dengan yang sebelumnya dikatakan oleh Elcid, diam bisa lebih mengungkapkan rasa daripada kata-kata. Saya hanya bisa menyebut terima kasih kepada para orang tua dan saudara-saudara di lereng Gunung Mutis, para petani jeruk keprok di sana, yang menginspirasi saya selama ini. Saya hanya bisa berterima kasih kepada kaum tani peladang tebas bakar yang selama ini dituding sebagai perusak lingkungan, tetapi membuat saya menjadi lebih berarti berada di tengah-tengah mereka, daripada mendengarkan pidato para pejabat ketika mereka memberikan sambutan pada berbagai rapat dan seminar. Keterdiaman saya, ketika berdiri di hadapan para undangan yang memenuhi aula, adalah keterdiaman untuk mengungkapkan terima kasih yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Terima kasih kepada semua yang telah menghantarkan saya saya kepada yang bisa saya capai tanpa terlalu harus mengumbar ambisi. Dan terima kasih untuk bisa menerima saya dengan kesederhanaan yang apa adanya.

Menjelang membuat tulisan ini, saya menyempatkan diri membaca novel kenang-kenangan yang diberikan oleh Opa Gerson, "Enu Molas di Lembah Lingko", dan kumpulan puisi Ragil Supriyatno Samid, "Avontur: Sekumpulan Puisi". Saya belum selesai membaca, tetapi begitupun, kedua buku ini telah memperkaya hati, melalui apa yang oleh Opa Gerson disebut irrational logic. Simak saja protes Opa Gerson, melalui tokoh Enu Molas:

Itulah kekurangan para bireokrat kita. Mereka adalah pelaksana tetapi soknya bukan main. Kalau kita memberikan ide kepada mereka, mereka mengatakan, kami sudah memikirkan hal itu, ide itu sudah ada pada pemerintah. Birokrasi kita menolak ide-ide orang luar, orang terpelajar. Birokrasi kita bisa menjadi musuh men of ideas ...

    (Gerson Poyk, Enu Molas di Lembah Lingko, hlm. 117)

Maka saya pun maklum, mengapa hampir tidak ada kalangan birokrat yang hadir, pada kuliah umum, padahal sebelumnya Saudara Elcid sudah menyampaikan kepada saya, bahwa kuliah umum akan dihadiri kalangan birokrat. Saya maklum, tidak ada birokrat yang bersedia dikuliahi, sebab, sebagaimana saya sampaikan pada kuliah umum saya, dewasa ini bukan lagi jamannya "knowledge is power" tetapi "power is knowledge". Lihat apa yang dilakukan para pejabat ketika membuka rapat maupun seminar, mereka selalu menguliahi peserta panjang lebar, meskipun seringkali mengenai sesuatu yang mereka tidak kuasai. Jabatan telah membuat mereka menjadi orang yang paling tahu mengenai semua hal. Dan tentu saja, para peserta rapat maupun seminar terus saja manggut-manggut, sebab sebagai bangsa yang adiluhung, tentu saja tidak cukup mendengar dengan diam, takut dimarahi di depan umum sebagaimana yang dialami murid SD

Tapi, siapa yang berani lebih jujur, seniman atau akademisi, apalagi birokrat? Simak saja bait berikut dari puisi Ragil Supriyatno Samid, "Tentang Kemerdekaan (di negeri manasuka)":

    kenapa bukan "pukimai kau!"
    yang kita teriakkan
    untuk warna bendera yang cuma mengabarkan
    banjir darah dan kibar kafan
    buat saudara sendiri

    (Ragil Supriyatno Samid, Avontur: Sekumpulan Puisi, hlm. 41)

Maka saya pun benar-benar merasa sudah cukup puas dengan kenyataan bisa menjadi manusia tanpa harus menghalalkan segala cara untuk risa menjadi seorang pejabat. (*)

Sumber: Blog Wayan Mudita


Semua Artikel terkait NTT Academia Award
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes