Abdy Keraf (foto Oddy Mesakh) |
Naskah yang Indah, aktor kawakan, dan paduan suara yang membuat hati merinding. Mungkin ini tiga kesimpulan untuk menyebutkan pentas Monologia Flobamora. Naskah karya Gerson Poyk yang dipentaskan di Kupang, 18 Januari 2013 malam, merupakan momentum peringatan setengah abad jejak karya Gerson Poyk di dunia sastra Indonesia sekaligus pertemuannya kembali dengan kampung halaman.
Pentas kali ini pentas istimewa karena menandai pulangnya sastrawan rantau asal NTT.
Naskah monolog karya sastrawan Gerson Poyk dibuat khusus untuk dipentaskan pada malam penyerahan NTT Academia Award. ‘Opa Gerson’ merupakan penerima NTT Academia Award tahun 2012 untuk kategori Sastra dan Humaniora.
Abdy Keraf, pelaku monolog merupakan wakil dari generasi teater terbaru dari Kupang yang sedang tumbuh. Monolog 30 menitan ini merupakan ‘kritik Gerson atas keterasingan manusia NTT dari tanahnya sendiri.
Pentas dibuka dengan nyanyian dari paduan suara mahasiswa Universitas Kristen Artha Wacana. Suara tajam menyayat dengan nada requiem membuka pentas. Suara para penyanyi dan sayatan tangis membuat ruangan senyap.
Di bawah lampu penerangan seorang penulis tua yang hanya berbaju kaos dalam, dan memakai sarung duduk di atas kursi yang terbuat dari ban mobil. Ia mengoceh panjang tentang budaya pencuri. TV-nya baru saja digasak maling. Untungnya laptop andalannya tak ikut disantap. Baginya maling pun merupakan kegiatan bekerja, sejenis dengan korupsi sebagai tindak pencurian, tapi kerja yang tidak didasarkan pada moral etis.
Abdi yang duduk di bawah lampu gantung dan sesekali berdiri mengampiri penonton malam itu menguasai panggung. Ocehan panjangnya membuka lubang-lubang keterasingan yang selama ini melingkupi warga flobamora. Tentang ‘anak muda’ yang hanya mengincar posisi pegawai, soal petani yang tidak pernah dihargai kerjanya, dan ‘orang kota’ yang hanya tau makan beras, tanpa mau tahu bagaimana prosesnya dan menghitung berapa yang dimakan dalam rumus bare maximum, tentang kebutuhan maximum seorang manusia.
Kritik atas commodity fetishism, yang tergambar dalam berbagai jenis syahwat orang moderen tentang mobil, dan melupakan soal pertanian serta perluasan lahan produksi pertanian merupakan tanda-tanda keterasingan manusia Indonesia kini. Pemujaan yang berlebihan untuk mobil mewah, di atas keinginan untuk bertani, membuat manusia masuk dalam konsumerisme menjadi surga dunia dan tujuan hidup absolut.
Pentas ditutup dengan lagu ‘Flobamora Tanah Air Beta’. Flobamora tempat berlindung di hari tua. Lagu penutup ini membuat Opa Gerson menangis. Sastrawan perantau asal NTT ini memang sekian dari manusia anomali asal Flobamora yang sedang pulang. Para awak teater pecinta sastra di Kupang sadar bahwa selain Gerson Poyk, masih ada satu nama lagi yang hingga kini belum pulang: Umbu Landu Peranggi.
“Awalnya saya tidak menyangka ada aktor di Kupang, sehingga saya menyuruh ia untuk membacakan saja naskahnya, tetapi terbukti Abdy bermain lebih baik daripada naskah yang saya tulis,” kata Gerson Poyk di ujung pentas. Kami diam dan ada yang hangat di mata. (el)
Sumber: KLIK DI SINI
Mungkin Anda tertarik baca semua Artikel terkait NTT Academia Award?