Oleh Dion DB Putra
BERAPA jam dalam sehari tuan dan puan menghabiskan waktu untuk menatap layar handphone atau ponsel di tanganmu? Berapa kali dalam tempo 24 jam jempol dan ujung jarimu menyentuh layar, menggesek ke atas bawah, kiri dan kanan? Mungkin dikau luput menghitung. Lupa mereken lantaran asyik masyuk dan larut!
Ya, hari-hari kita begitu sibuk sendiri. Dulu televisi menjadi tabernakel hidup. Manusia memujanya lebih dari apapun. Kini ponsel menyisihkan posisi orang-orang terkasih. Saat berbicara dengan rekan kerja, pimpinan atau bawahan, tangan tak henti-hentinya memainkan gadget.
Tatkala menemani buah hati mengerjakan PR sekolah, setiap 30 detik hingga satu menit sekali mata melirik layar ponsel guna melihat notifikasi yang masuk. Pada momen makan berdua di restoran dengan istri atau kekasih, ponsel diletakkan sedekat mungkin di sisi kita dan barang itu mampu menyela obrolan sepenting atau seromantis apapun.
Ketika suara pesan dari medsos atau notifikasi WhatsApp masuk, perhatian tertuju pada ponsel. Duh… kita sungguh ketagihan ponsel cerdas hasil karya manusia yang justru membodohi penciptanya sendiri.
Maka wajarlah bila banyak yang galau lalu berkata lantang marah karena hidup dalam genggaman ponsel seperti ada dan tiada. Bertamu main HP. Berdoa main HP. Ibadah main HP. Terima tamu main HP. Bekerja main HP. Belajar main HP. Sambil makan main HP. Di tengah keluarga pun main HP. Kiamatlah duniamu tanpa HP.
Hari-hari ini jamak nian pemandangan dua orang duduk berhadapan, entah di rumah makan, ruang tunggu keberangkatan bandara, stasiun kereta api, terminal bus, tempat praktik dokter, namun tidak berkomunikasi sama sekali. Mereka masing-masing asyik main HP. Kalaupun bicara sekadar basa-basi, kadang tidak nyambung dan tidak fokus pada topik.
Dulu saat hari raya seperti Lebaran, Natal dan Tahun baru orang saling berkunjung ke rumah, bercengkerama, bersalam-salaman, cium pipi kiri dan kanan. Makan bersama. Ngobrol apa saja sepuasnya.
Kini jabat erat tangan sahabat telah sirna, sudah berganti gambar-gambar mati atau animasi dalam ponsel. Dan, kita menikmatinya seolah-olah nyata. Duduk sendiri, angguk dan geleng sendiri, senyum dan tawa bahkan menangis sendiri. Dunia makin kering dan sepi. Alienasi. Miris.
Pada tahun 2012 para ahli bahasa, sosiolog dan budayawan dalam pertemuan di Sidney University Australia menyepakati kosa kata baru dalam tata bahasa Inggris. Kata tersebut adalah phubbing yang maknanya sebuah tindakan seseorang yang sibuk sendiri dengan gadget di tangannya. Dia tidak perhatian lagi kepada orang yang berada di dekatnya. Kaca diri kita masing-masing. Rasanya tidak berlebihan bila tuan dan puan pun sudah terbiasa phubbing bukan?
Jangan sampai handphone yang kita beli justru memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi. Bahkan memisahkan dikau dengan sang empunya pemilik kehidupanmu. Tuhan Yang Maha Kasih. Sangat dianjurkan untuk menata ulang caramu memanfaatkan ponsel. Butuh tekad kuat serta konsistensi sikap.
Mari melakoni hidup sebagaimana laiknya manusia hidup yang dikaruniai Tuhan dengan panca indera. Saat anak bercerita tentang kegiatannya di sekolah atau luar rumah, dengarkanlah dia. Simak kata-katanya dengan penuh perhatian. Sisihkan HP. Saat ibu atau ayahmu bicara, abaikan ponselmu selama beberapa saat sampai mereka selesai bercakap.
Saat matahari merekah, udara sejuk, angin semilir, burung-burung bersiul, cueklah pada bunyi notifikasi hapemu. Ada saat dalam hidupmu engkau ingin sendiri bersama angin lalu menceritakan kepenatan batinmu. Saat kehidupan di luar sana sengit, riuh dan bising, cobalah kembali mendengar nyanyian dan kicau burung, suara sungai dan bersyukurlah betapa indah karya Tuhan bagi makhluk kesayanganNya.
Sesekali pergilah ke pantai. Pantai itu sama seperti tatapan ibu atau pundak ayah. Tempat pelarian terbaik untuk mendapatkan kesegaran dan semangat hidup baru. Atau dakilah bukit dan gunung, susuri lembah dan ngarai. Hirup aroma genit padi bunting. Jangan dikau lari ke medsos, curhat dan mengumpat di sana. Tuan lupa sosial media itu panggung liar dan binal dengan hukum rimba sebagai panglimanya. Nyinyir, sinis, doyan memendam dendam…
Berhentilah memuja HP secara berlebihan. Dunia maya itu fatamorgana saudaraku. Mari kita selalu meluangkan waktu menyapa senja, mereken rintik hujan, memahat langit dan mencumbui rembulan. Tanpa HP, tanpa gadget di tangan. Ayolah! (*)
• Beranda Kita adalah kolom Dion DB Putra yang pernah hadir di edisi cetak Harian Pos Kupang periode 2008-2011. Kini atas permintaan pembaca, sang penulis menghadirkan lagi dalam format online minimal seminggu sekali. Semoga berkenan.
• Dion DB Putra, wartawan Pos Kupang 1992- sekarang.
BERAPA jam dalam sehari tuan dan puan menghabiskan waktu untuk menatap layar handphone atau ponsel di tanganmu? Berapa kali dalam tempo 24 jam jempol dan ujung jarimu menyentuh layar, menggesek ke atas bawah, kiri dan kanan? Mungkin dikau luput menghitung. Lupa mereken lantaran asyik masyuk dan larut!
Ya, hari-hari kita begitu sibuk sendiri. Dulu televisi menjadi tabernakel hidup. Manusia memujanya lebih dari apapun. Kini ponsel menyisihkan posisi orang-orang terkasih. Saat berbicara dengan rekan kerja, pimpinan atau bawahan, tangan tak henti-hentinya memainkan gadget.
Tatkala menemani buah hati mengerjakan PR sekolah, setiap 30 detik hingga satu menit sekali mata melirik layar ponsel guna melihat notifikasi yang masuk. Pada momen makan berdua di restoran dengan istri atau kekasih, ponsel diletakkan sedekat mungkin di sisi kita dan barang itu mampu menyela obrolan sepenting atau seromantis apapun.
Ketika suara pesan dari medsos atau notifikasi WhatsApp masuk, perhatian tertuju pada ponsel. Duh… kita sungguh ketagihan ponsel cerdas hasil karya manusia yang justru membodohi penciptanya sendiri.
Maka wajarlah bila banyak yang galau lalu berkata lantang marah karena hidup dalam genggaman ponsel seperti ada dan tiada. Bertamu main HP. Berdoa main HP. Ibadah main HP. Terima tamu main HP. Bekerja main HP. Belajar main HP. Sambil makan main HP. Di tengah keluarga pun main HP. Kiamatlah duniamu tanpa HP.
Hari-hari ini jamak nian pemandangan dua orang duduk berhadapan, entah di rumah makan, ruang tunggu keberangkatan bandara, stasiun kereta api, terminal bus, tempat praktik dokter, namun tidak berkomunikasi sama sekali. Mereka masing-masing asyik main HP. Kalaupun bicara sekadar basa-basi, kadang tidak nyambung dan tidak fokus pada topik.
Dulu saat hari raya seperti Lebaran, Natal dan Tahun baru orang saling berkunjung ke rumah, bercengkerama, bersalam-salaman, cium pipi kiri dan kanan. Makan bersama. Ngobrol apa saja sepuasnya.
Kini jabat erat tangan sahabat telah sirna, sudah berganti gambar-gambar mati atau animasi dalam ponsel. Dan, kita menikmatinya seolah-olah nyata. Duduk sendiri, angguk dan geleng sendiri, senyum dan tawa bahkan menangis sendiri. Dunia makin kering dan sepi. Alienasi. Miris.
Pada tahun 2012 para ahli bahasa, sosiolog dan budayawan dalam pertemuan di Sidney University Australia menyepakati kosa kata baru dalam tata bahasa Inggris. Kata tersebut adalah phubbing yang maknanya sebuah tindakan seseorang yang sibuk sendiri dengan gadget di tangannya. Dia tidak perhatian lagi kepada orang yang berada di dekatnya. Kaca diri kita masing-masing. Rasanya tidak berlebihan bila tuan dan puan pun sudah terbiasa phubbing bukan?
Jangan sampai handphone yang kita beli justru memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi. Bahkan memisahkan dikau dengan sang empunya pemilik kehidupanmu. Tuhan Yang Maha Kasih. Sangat dianjurkan untuk menata ulang caramu memanfaatkan ponsel. Butuh tekad kuat serta konsistensi sikap.
Mari melakoni hidup sebagaimana laiknya manusia hidup yang dikaruniai Tuhan dengan panca indera. Saat anak bercerita tentang kegiatannya di sekolah atau luar rumah, dengarkanlah dia. Simak kata-katanya dengan penuh perhatian. Sisihkan HP. Saat ibu atau ayahmu bicara, abaikan ponselmu selama beberapa saat sampai mereka selesai bercakap.
Saat matahari merekah, udara sejuk, angin semilir, burung-burung bersiul, cueklah pada bunyi notifikasi hapemu. Ada saat dalam hidupmu engkau ingin sendiri bersama angin lalu menceritakan kepenatan batinmu. Saat kehidupan di luar sana sengit, riuh dan bising, cobalah kembali mendengar nyanyian dan kicau burung, suara sungai dan bersyukurlah betapa indah karya Tuhan bagi makhluk kesayanganNya.
Sesekali pergilah ke pantai. Pantai itu sama seperti tatapan ibu atau pundak ayah. Tempat pelarian terbaik untuk mendapatkan kesegaran dan semangat hidup baru. Atau dakilah bukit dan gunung, susuri lembah dan ngarai. Hirup aroma genit padi bunting. Jangan dikau lari ke medsos, curhat dan mengumpat di sana. Tuan lupa sosial media itu panggung liar dan binal dengan hukum rimba sebagai panglimanya. Nyinyir, sinis, doyan memendam dendam…
Berhentilah memuja HP secara berlebihan. Dunia maya itu fatamorgana saudaraku. Mari kita selalu meluangkan waktu menyapa senja, mereken rintik hujan, memahat langit dan mencumbui rembulan. Tanpa HP, tanpa gadget di tangan. Ayolah! (*)
• Beranda Kita adalah kolom Dion DB Putra yang pernah hadir di edisi cetak Harian Pos Kupang periode 2008-2011. Kini atas permintaan pembaca, sang penulis menghadirkan lagi dalam format online minimal seminggu sekali. Semoga berkenan.
• Dion DB Putra, wartawan Pos Kupang 1992- sekarang.