Oleh: Helga Maria Evarista Gero
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Dalam lanskap dunia modern yang ditandai oleh ketimpangan, migrasi paksa, kekerasan berbasis identitas, dan krisis ekologis, kehadiran Paus Fransiskus menjadi semacam suara kenabian yang melintasi batas-batas keagamaan.
Dijuluki Pope of the People, Paus Fransiskus membawa wajah baru bagi institusi Katolik yang selama ini cenderung dianggap elitis dan konservatif.
Sejak terpilih pada 2013, Paus Fransiskus membawa angin pembaruan dalam cara Gereja Katolik memaknai keberadaannya di tengah masyarakat global yang makin dilanda krisis: ketimpangan ekonomi, krisis migran, konflik bersenjata, kerusakan lingkungan, serta dekadensi moral dalam institusi keagamaan itu sendiri.
Ketika ia berkata, “Ini adalah waktu belas kasih, bukan Waktu ketertutupan,” ia sedang menentang arus populisme xenofobik yang tumbuh di Eropa dan Amerika Latin. Paus tidak tinggal diam.
Ia menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai basis teologis dan praksis pelayanan Gereja.
Kita dapat membaca pendekatan Paus Fransiskus sebagai bentuk reformasi praksis — sebuah gerakan yang menyatukan spiritualitas dengan perjuangan sosial.
Agama dalam konteks ini bukan sekadar ritual, tapi alat pembebasan. Inilah jiwa yang menjadi fondasi moral perjuangan Paus Fransiskus membela kaum miskin, tertindas, dan terpinggirkan.
Gereja yang Berjalan Bersama Kaum Miskin
Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh struktur neoliberal global, peran institusi keagamaan sering kali terpinggirkan, atau justru dijadikan alat legitimasi kekuasaan.
Paus Fransiskus menolak posisi ini. Ia menegaskan bahwa Gereja tidak boleh menjadi sekadar institusi moral yang netral, melainkan komunitas perlawanan terhadap ketidakadilan.
Paus Fransiskus menyebut Gereja ideal sebagai “rumah sakit lapangan”—institusi yang hadir bukan di tempat nyaman, melainkan di tengah luka sosial: pengungsi yang tersisih, buruh migran yang diperas, keluarga miskin yang kehilangan tanah, dan lingkungan hidup yang dihancurkan.
Gereja harus turun tangan, bukan hanya berdoa dari kejauhan. Dalam banyak pernyataannya, Paus dengan lantang mengecam sistem ekonomi global yang menciptakan “budaya pembuangan” (throwaway culture) dan menyebut kapitalisme tanpa kendali sebagai bentuk baru dari penyembahan berhala.
Enrique Dussel dan Paulo Freire (meski lebih dikenal di bidang pendidikan) mendorong gereja dan institusi sosial untuk menjadi subjek aktif dalam proses emansipasi rakyat.
Dalam semangat itu, Paus Fransiskus mempopulerkan konsep “Gereja yang berjalan bersama umat” (synodality), yaitu gereja yang bukan menara gading tapi komunitas yang mendengarkan jeritan rakyat kecil.
Sebagai contoh, Laudato Si’ — ensiklik lingkungan yang menjadi dokumen moral dunia dalam isu krisis iklim.
Paus Fransiskus tidak hanya bicara soal kerusakan bumi, tapi menyentuh dimensi sosial-ekologis: bahwa penderitaan bumi selalu paralel dengan penderitaan kaum miskin.
Dalam kerangka ini, pembelaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) bukan semata agenda politik, melainkan ekspresi iman yang hidup.
Tindakan Paus Fransiskus merupakan pembalikan struktur kekuasaan tradisional dalam gereja.
Ia meruntuhkan tembok hierarki dan menggantinya dengan spiritualitas kerendahan hati.
Gereja yang diperjuangkannya adalah gereja yang mengakar pada penderitaan, dan oleh karenanya, wajib menjadi bagian dari perjuangan sosial.
Kepausan dan Solidaritas Global dalam Dunia yang Terpecah
Dunia kini dilanda gelombang konservatisme, populisme, dan politik identitas yang memecah belah.
Dalam situasi ini, Paus Fransiskus tampil sebagai tokoh dialog yang melampaui batas agama dan ideologi. Ia menjadi satu dari sedikit pemimpin dunia yang konsisten membela HAM universal.
Dalam dokumen Fratelli Tutti, Paus Fransiskus menyerukan persaudaraan lintas iman dan lintas bangsa.
Ia juga mengecam nasionalisme sempit dan xenofobia yang berkembang di banyak negara Barat.
Dalam setiap pidatonya, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa setiap manusia—migran, pengungsi, tahanan, bahkan penjahat—memiliki martabat yang tak dapat dicabut.
Ia menyebut pengabaian terhadap kaum migran sebagai “skandal moral global.”
Dapat dikatakan bahwa otoritas religius tidak dapat dipisahkan dari relasi kuasa dan simbol.
Paus Fransiskus menggunakan posisi simboliknya sebagai pemimpin religius dunia untuk melawan narasi eksklusi dan kekerasan.
Ia menggagas budaya perjumpaan sebagai antitesis dari budaya kebencian dan polarisasi.
Dalam dunia yang makin dipenuhi tembok (secara harfiah dan simbolik), Fransiskus memilih membangun jembatan.
Ia tidak hanya menyerukan doa bersama, tetapi juga mendesak aksi kolektif: reformasi ekonomi global, pelindungan minoritas, penghapusan hukuman mati, dan penghormatan terhadap kelompok terpinggirkan.
Paus Fransiskus bukan tanpa kritik, baik dari kelompok konservatif dalam Gereja maupun dari pihak luar yang menganggap pendekatannya terlalu politik.
Namun justru di sanalah letak kekuatan sosok ini: ia meredefinisi peran pemimpin agama sebagai pejuang nilai-nilai kemanusiaan universal, bukan sekadar penjaga doktrin.
Dalam konteks Indonesia, khususnya di wilayah timur seperti NTT yang masih bergumul dengan kemiskinan, ketimpangan, dan marginalisasi, inspirasi dari Paus Fransiskus bisa menjadi suluh moral.
Perjuangan HAM, misalnya, bisa dimulai dari hal-hal konkrit: membela hak pekerja migran, mendampingi korban kekerasan seksual, mengadvokasi anak-anak putus sekolah, serta melindungi tanah adat dari perampasan oleh korporasi.
Paus Fransiskus bukan hanya “Pope of the People”—ia adalah simbol yang mengajarkan bahwa iman sejati berada di jalanan—di tempat di mana suara-suara yang dibungkam harus dibela, dan martabat manusia harus ditegakkan.
Alih-alih menjadi penonton, kita dipanggil untuk menjadi aktor transformatif. Seperti yang dikatakan Paus: “Iman yang tidak menjadi solidaritas adalah iman yang mati.” (*)
Sumber: Pos Kupang