BOCAH berusia dua tahun itu didekapnya erat-erat lalu dicium beberapa kali. Frengki yang sebelumnya menangis akhirnya terdiam dalam dekapan sang ayah yang juga menitikkan air mata. Beberapa ibu dari Alak turut menangis. Mata sejumlah anggota polisi serta wartawan pun tampak berkaca-kaca.
Tapi suara polisi mengingatkan semua. "Berhenti sudah, kau tidak pantas menjadi ayah yang baik." Yohanes Nule digiring paksa ke dalam mobil tahanan. Mobil lalu melesat menuju Markas Polresta Kupang.
Demikian sepenggal suasana reka ulang pembunuhan atas Ny. Merliana Nule oleh suaminya, Yohanes Nule di Kelurahan Alak, Kota Kupang, Kamis (26/8/2009) lalu. Hari itu Yohanes Nule kembali ke rumah. Pulang setelah enam hari mendekam di sel Polresta Kupang. Pulang untuk rekonstruksi sekaligus bersua sejenak dengan dua buah hatinya, Mersi Nule (4) dan Frengki Nule (2).
"Bapa..bapa...," panggil Frengki sambil menangis ketika melihat ayahnya tiba di rumah. Frengki dan Mersi belum mengerti apa-apa. Usia balita mereka belum mampu memahami tragedi rumah tangga yang menimpa ayah dan ibu mereka.
Tragedi itu terjadi Sabtu 22 Agustus 2009. Di akhir pekan itu ketenteraman warga Alak terusik oleh kabar duka dari rumah Yohanes Nule di Gang Roterdam, RT 12/RW 05. Ny. Merliana Nule (29) yang sedang hamil enam bulan ditemukan tak bernyawa lagi di dalam kamar tidur keluarga.
Kepada tetangga, kerabat dan keluarga, Yohanes Nule (30), mengabarkan dia baru mengetahui istrinya meninggal dunia saat bangun tidur sekitar pukul 06.00 Wita. Malamnya dia tidur di kamar lain rumah itu. Sedangkan sang istri tidur bersama Mersi dan Frengki. "Istri saya menderita sakit ayan. Setiap bulan selalu kambuh," ujar Nule dengan raut wajah kusut.
Otopsi oleh tim medis dari Rumah Sakit Bhayangkara (RSB) Kupang dipimpin dr. I Gusti Gede Sukma menemukan tanda-tanda kekerasan. Pada leher ada bekas cekikan. Pada kepala bagian belakang ada memar akibat benturan benda tumpul. Merliana diperkirakan meninggal sekitar 12 jam sebelum ditemukan Sabtu pagi. Artinya, Jumat malam sampai Sabtu pagi, dua bocah mungil, Mersi dan Frengki tidur bersama ibu dan sang "adik" dalam kandungan yang telah meregang nyawa.
Hati siapa yang tak tersayat? Pertanyaan besar kala itu siapa yang tega menghabisi Merliana dan buah hatinya? Kurang dari 24 jam misteri itu terkuak tuntas. Sang pembunuh justru suaminya sendiri, Yohanes Nule. Di hadapan penyidik polisi, Nule mengakui perbuatannya.
"Ketidaktahuannya" saat menjawab pertanyaan keluarga pada Sabtu pagi berhasil diungkap polisi. Bukan ayan tetapi sebatang kayu penyebab kematian Merliana. Satu ayunan Nule tepat di kepala bagian belakang mengakhiri kehidupan Merliana. Alak geger! Beranda Flobamora kembali tenggelam dalam kisah pilu, tragedi rumah tangga yang berakhir dengan kematian.
Tragedi keluarga Nule mengingatkan kita akan kejadian serupa di perumahan Lopo Indah Permai atau perumahan BTN Kolhua-Kupang beberapa tahun lalu. Skenarionya mirip. Awal penemuan mayat sang istri, suami ikut menangis sedih dan menghujat habis si pembunuh. Para tetangga, kerabat dan keluarga prihatin. Naluri polisi tak mudah dikibuli. Pembunuh istri itu adalah suami sendiri.
Maka wajarlah bila sekarang warga Alak terutama pihak keluarga meminta Yohanes Nule dihukum seberat-beratnya. Apapun motif di balik tragedi itu, tega nian dia mengakhiri kehidupan Merliana, sang istri yang setia hidup bersama dia dan anak-anak selama ini. Apalagi Nule membunuh dua orang sekaligus! Istri dan buah hati yang masih dalam kandungan. Yang paling menggetarkan hati tentunya nasib Mersi dan Frengki. Dua balita itu kehilangan kasih sayang ibu dalam usia yang begitu belia. Mereka juga "kehilangan" ayah yang berhadapan dengan proses hukum dan sangat mungkin berujung di penjara.
Bagaimana memaknai tragedi ini? Tuan dan puan kiranya memiliki posisi batin yang unik, khas dan bisa berbeda-beda. Beta ingat pepatah Latin. Kehidupan manusia itu jangan ditertawakan, jangan diratapi, dan jangan dikutuk, tetapi hendaknya dimengerti.
Sejarah kehidupan manusia dari masa ke masa senantiasa berhadapan dengan tragedi kehidupan rumah tangga semacam itu. Dan, anak senantiasa menjadi korban emosi orangtua. Jadi korban egoisme laki bini, bapa dan mama. Egoisme yang berujung kematian justru cukup sering berkaitan dengan perkara sepele.
Kita belajar dari sana. Ada pelajaran tentang manajemen emosi, sesuatu yang gampang dicakapkan tapi tak enteng dipraktekkan. Tragedi Nule kembali menegaskan betapa kekerasan itu lengket dengan keseharian kita. Kita masih saja riang memproduksi kekerasan fisik dan non fisik. Produksi tak kenal musim. Kekerasan menyembul hampir setiap detik mulai dari ruang paling privat di dalam rumah hingga ke ruang publik yang disantap banyak orang.
Dalam beberapa waktu terakhir pembunuhan oleh orang-orang terdekat cenderung menanjak frekwensinya di beranda Flobamora. Kita mungkin telah merasa biasa mendengar warta suami bunuh istri, adik bunuh kakak atau keponakan menghabisi paman. Di bumi Lembata, misalnya, adik kandung almarhum Yohakim Langoday ditetapkan polisi sebagai salah seorang tersangka pembunuh. Gila!
"Kita memang hidup di dunia yang sudah gila. Makin banyak orang teralienasi. Asing dengan lingkungan. Tak lagi peka dengan keadaan sekitar. Tak peduli dengan penderitaan sesama. Makin banyak orang yang hanya bisa marah dan marah meski rajin sekali berdoa," kata seorang rekan.
Kiranya pernyataan rekan itu ada benarnya. Di beranda ini para pemimpin yang mestinya beri teladan kelembutan hati justru mempertontonkan kekerasan di ruang publik. Mereduksi ruang publik menjadi sekadar urusan personal. Tanpa rasa malu!
Belum lama tuan dan puan menyaksikan anggota Dewan yang Terhormat (Yth) perang kata-kata tak patut. Yang satu menggosok yang lain tergosok. Perkara kecil diracik sedemikian rupa demi melestarikan konflik. Konflik dipelihara. Makin lama makin riang. Makin lama konflik, semakin baik. Wah?
Semalam, seorang kawan mengirim pesan via facebook. "Bimtek untuk Dewan Yth di daerah perlu memasukkan materi tentang senyum dan maaf. Mereka perlu belajar ulang teori dan praktek senyum biar jangan cuma bisa marah-marah, berteriak atau pukul meja. Jangan cuma bisa interupsi asal bunyi."
Bimbingan teknis (bimtek) senyum dan maaf? Ah, boleh juga usul si kawan diterapkan agar kultur kekerasaan di beranda Flobamora makin sirna. Di bumi hunian kita yang semakin gila ini, belajar senyum dan maaf, kenapa tidak? (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang edisi Senin, 31 Agustus 2009 halaman 1