APA kado istimewa Hari Pendidikan Nasional? Jelas bukan Ujian Nasional (UN) 2011 yang hasilnya belum diumumkan. Bukan juga prestasi akademik anak Indonesia yang mengguncang dunia. Kado Hari Pendidikan Nasional yang kita rayakan hari ini, 2 Mei 2011 bernama Cuci Otak!
Betapa tidak. Laporan media massa terang benderang memaparkan fakta memilukan yang melanda dunia pendidikan kita. Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir telah ratusan bahkan ribuan mahasiswa Indonesia menjalani proses cuci otak yang dilakukan jaringan organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Tuan dan puan tentunya maklum bahwa usia organisasi tersebut setua negara ini. Dia bergerak di bawah tanah. Timbul tenggelam dalam sejarah Indonesia tapi tak pernah mati untuk selamanya.
Sepak terjang organisasi NII kembali menghiasi langit Ibu Pertiwi tatkala sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dilaporkan hilang dari tempat kos atau rumah orangtuanya awal tahun ini. Mereka pergi tanpa pesan kepada keluarga dan sahabat. Belakangan baru diketahui kalau anak-anak muda tersebut direkrut jaringan NII.
Mereka direkrut lewat cara yang rapi dan sistematis. Ada yang menggunakan jasa perempuan cantik dan wangi. Ada pula yang melalui senior mereka di kampus, lewat jaringan pertemanan dan sebagainya. Setelah mendapat indoktrinasi NII, anak-anak muda itu seolah hilang ditelan bumi. Mereka tidak lagi berkomunikasi dengan keluarga, sahabat dan pihak kampus. Sebagian dari mereka baru kembali ke rumah setelah berbulan-bulan hilang entah ke mana. Namun, tak sedikit pula yang nasibnya masih misteri sampai detik ini. Yang berhasil pulang ke rumah pun tidak sepenuhnya normal seperti sedia kala. Mental mereka rusak. Cenderung menyendiri di dalam rumah. Malu bersosialisasi dengan orang lain.
Setelah terkuak di Malang, di Sumatera Utara belasan orangtua ramai-ramai melaporkan kasus kehilangan anak mereka kepada polisi pada medio April 2011. Ada yang hilang sejak tahun 2009. Kebanyakan hilang tahun 2010 dan 2011. Yang hilang dominan mahasiswi semester awal. Kabar kabur menyebut mereka direkrut masuk aliran keagamaan tertentu di wilayah Nangroe Aceh Darusalam. Menurut kesimpulan sementara polisi, cara kerja jaringan di Aceh itu mirip dengan NII yang kiprahnya lebih mengakar di Pulau Jawa.
Peristiwa di Malang dan Sumatera Utara menguak fakta baru yang lebih mencengangkan. Kampus-kampus terkemuka di Tanah Air ternyata sudah lama menjadi bidikan NII. Jaringan tersebut sudah masuk ke berbagai kampus seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro dan lainnya. Sejumlah pengamat memperkirakan pengikut setia NII sekitar 40 ribu orang. Dan, mereka juga tersebar di berbagai perguruan tinggi. Ngeri!
Fenomena tersebut telah membuka mata banyak orang. Negara dianggap lalai atau melakukan pembiaran sehingga NII beranak-pinak dan berhasil menanamkan ajaran mereka lewat generasi muda. Sudah banyak suara dikumandangkan mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, DPR hingga kepala negara RI dengan pesan yang sama yaitu tidak boleh lagi memandang NII dengan sebelah mata. Kiprah organisasi tersebut harus dihentikan.
Pertanyaan menarik, mengapa NII justru menggarap kampus dan sukses melakukan proses cuci otak terhadap mahasiswa? Mereka pasti tahu kelemahan kurikulum pendidikan tinggi kita yang belakangan ini semakin meminggirkan pentingnya wawasan kebangsaan. Jujur saja tuan dan puan, diskusi serta dialog tentang nasionalisme tidak lagi bergaung kencang di kampus-kampus Indonesia.
Kampus kita dalam sejumlah kasus malah secara telanjang mempertontonkan praktik primordialisme. Melakukan pengkotak-kotakkan atas dasar SARA. Dalam situasi demikian bibit perpecahan mendapatkan lahan yang subur. Proses cuci otak pun mudah mencapai tujuannya. Bukankah kenyataan demikian juga terbentang di beranda Flobamora?
Pertikaian di lembaga perguruan tinggi bukan warta luar biasa di kampung halaman kita. Cukup sering pertikaian tersebut tak berujung. Dendam kesumat terus dipupuk dari waktu ke waktu. Penyimpangan dan atau penyelewengan di kampus terbungkus rapi. Semua sama-sama tahu, tetapi tak banyak yang mau bersiul. Uang dan kuasa membutakan mata hati. Juga akal sehat. Kampus dengan karakter begini perlu menjalani proses 'cuci otak' agar segera kembali ke jalan yang benar bukan? (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang Senin, 2 Mei 2011 halaman 1