USIANYA baru 15 tahun tetapi dia sudah mengerti lika-liku bisnis yang satu ini. Bisnis melayani sekelompok perempuan kota yang membutuhkan kepuasan. Dia piawai merayu. Juga cerdas membujuk teman sebaya hingga mau melayani pelanggan dengan imbalan uang!
Demikian secuil kisah prahara daun muda dari Kota Pahlawan Surabaya. Hari Kamis 13 April 2011, bisnis remaja tanggung berinisial RA tersebut tersibak. Dia ditangkap polisi karena ketahuan menjual temannya sendiri kepada tante girang di Jalan Dinoyo, Surabaya. Menurut polisi, RA menawarkan dua temannya, MWA (16) dan MI (16) kepada tante girang dengan harga Rp 500.000 per orang.
Menerima tawaran tersebut, MWA dan MI dengan senang hati melayani pelanggan RA. Keduanya juga mengikuti permintaan RA agar membawa serta kartu identitas pelajar dengan alasan bisa lolos apabila ada razia. Padahal maksudnya terselubung. Kartu pelajar merupakan jaminan dari RA kepada pelanggannya bahwa "pesanan" mereka benar-benar pelajar alias daun muda. Selain cerdas, RA juga licik. Kedua temannya hanya mendapat jatah Rp 200.000 setelah melayani pelanggan. Sisanya masuk kantong RA. Dia berdalih ada biaya operasional sehingga mereka hanya mendapat Rp 200 ribu per orang. Nah?
Kehidupan perkotaan yang sangat keras dan permisif memungkinkan terjadi fenomena sosial semacam ini. Bayangkan tuan dan puan. Remaja berusia 15 tahun sudah berani menjalankan pekerjaan "mucikari" gigolo. Remaja seusia itu setidaknya baru duduk di kelas 1 atau kelas 2 SMA. Masih sangat hijau. Tapi begitulah. Orang bilang kita hidup di zaman edan! Anak atau remaja lekas dewasa dari usia seharusnya. Kebebasan tanpa kendali telah menyeret jutaan generasi muda di persada ini melakoni kehidupan yang tercabik-cabik.
Fenomena tante girang dan pria hidung belang bukan baru. Setiap zaman selalu ada kelompok manusia doyan daun muda serupa itu, baik laki-laki maupun perempuan. Kelompok itu lazimnya sudah mapan secara ekonomi. Mereka membidik kaum remaja guna menyalurkan hasrat ragawi. Menyenangkan diri sesaat. Menurut beberapa kawan yang paham kehidupan malam, fenomena tante girang juga mulai mekar di beranda Flobamora, misalnya di Kupang yang kini nyaris hidup 24 jam serta beberapa kota di Flores seperti Maumere. Kalau puan-puan kurang yakin, silakan telusuri sendiri. He-he-he...
Prahara daun muda dari Surabaya mestinya menjadi berita besar karena menampilkan wajah bangsa yang sesungguhnya. Betapa ribuan bahkan jutaan anak dan remaja Indonesia menjalani kehidupan yang suram. Namun, sayang seribu sayang warta tersebut tenggelam dalam hingar-bingar goyang India polisi Norman Kamaru. Berita RA sekali tayang selesai. Beda jauh dengan Norman yang mendadak bintang. Norman didukung penuh para bosnya yang memikul bintang di bahu kiri kanan. Norman pun bagoyang di mana-mana. Menyanyi di banyak tempat sampai pinjam baju seragam dan dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan.
Tidak ada yang salah dengan kebintangan Norman Kamaru. Bakat seninya sungguh menghibur. Dia pun mendapat durian runtuh. Sekejap sontak jadi kesohor. Itulah keberuntungan manusia. Kritik mestinya tuan dan puan sasarkan ke kami orang-orang media. Media massa di Indonesia dipuji Amnesti Internasional sebagai pers paling bersemangat di Asia dalam sepuluh tahun terakhir. Namun, Amnesti mungkin lupa bahwa pers Indonesia kerapkali tergoda memblow-up hal-hal yang kurang penting. Cuma utamakan sisi menarik semata, sehingga masalah mendasar berkaitan dengan kebutuhan publik justru terabaikan.
Simak acara televisi kita. Jam tayang informasi selebriti yang isinya kawin-cerai, gosip selingkuh, baju baru, tentang perawatan wajah serta tetek bengek yang kurang penting justru menyita durasi terpanjang dalam sehari. Tidak banyak media yang cerdas membedakan yang penting dan menarik. Tuan dan puan sebagai pembaca, pendengar atau pemirsa mesti kritis, memilah dan memilih. Tidak menelan mentah-mentah sajian media.
Kembali ke prahara daun muda, kisah berikut merupakan tragedi daun muda dalam arti sesungguhnya. Dalam sebulan terakhir sebagian besar masyarakat Indonesia telah direpotkan dengan invasi ulat bulu yang memakan daun muda. Mulai dari daun mangga, asam, advokad, ceri, sampai daun singkong. Serbuan ulat bulu dalam jumlah jutaan membuat masyarakat kalang kabut.
Laporan media menyebutkan, serangan ulat bulu yang bermula di Pulau Jawa telah meluas ke Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Invasi ulat bulu membuat bulu kuduk merinding. Konon inilah wabah ulat bulu terparah dalam sejarah Indonesia. Di daerah Probolinggo, Jawa Timur, jutaan ulat bulu bergelantungan di pepohonan. Satu pohon rata-rata diserbu 500 sampai 1.000 ulat. Ngeri! Setelah menghabiskan daun mangga muda, ulat nakal itu masuk ke umah warga. Ulat yang bikin gatal itu membuat orang sibuk. Kegiatan warga sehari-hari terganggu karena harus membersihkan ulat. Pakaian yang dijemur pun dijaga. Sebab kalau disentuh ulat akan menimbulkan gatal-gatal saat pakaian itu dikenakan.
Jumlah pohon yang diserang ulat bulu lumayan banyak. Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi mengatakan ulat bulu telah menyerang 2,5 persen dari populasi pohon di Indonesia. "14.500 pohon dari 1,8 Juta pohon sudah diterkena ulat bulu," kata Bayu usai kuliah umum di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 14 April 2011.
Fakta penting terungkap di Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Ulat bulu di sana bandel dan kebal terhadap pestisida. Meski sudah disemprot berkali-kali mereka tidak mati. Malah terus berbiak. Pemusnahan dengan obat kimia sia-sia belaka. Menurut teori, ulat bulu biasanya bersembunyi pada siang hari. Yang terjadi sekarang si ulat muka buruk itu tampil percaya diri siang dan malam. Gila!
Menurut pakar serangga, ledakan populasi ulat bulu dari famili Lymantriidae itu sesungguhnya dapat dicegah. Untuk jangka pendek, kita harus menjaga kebersihan lingkungan karena fase kepompong umumnya di serasah, sampah, dan tumpukan balok kayu. Langkah jangka panjang, menjaga keseimbangan ekosistem. "Ledakan populasi terkait ulah manusia," kata peneliti serangga (entomolog) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosichon Ubaidillah seperti dikutip Kompas, Jumat (15/4/2011).
Sudah bukan rahasia lagi kalau keserakahan manusia mengganggu keseimbangan ekosistem. Invansi ulat bulu di Indonesia terjadi karena berkurangnya populasi burung predator, semut, kepik, kelelawar, lebah pemangsa dan parasitoid dikaitkan dengan perburuan. Sebab lain adalah penggunaan pestisida berlebihan, kerusakan kawasan karst hingga cuaca ekstrem.
Solusinya cuma satu. Harus ada perubahan perilaku manusia agar lebih ramah lingkungan ditunjang dengan penegakan hukum atas pelanggaran di bidang lingkungan hidup. Celakanya negeri kita kurang peduli. Kita masih saja serakah merusak alam dan hukum lingkungan tak bergigi. Orang kita lupa korupsi di bidang lingkungan dampaknya dashyat. Bisa tujuh turunan anak manusia yang akan menerima risikonya.
Invasi ulat bulu menandakan alam sedang marah. Kemarahan alam juga diperlihatkan kelelawar di Kolaka, Sulawesi Tenggara awal April lalu. Bayangkan, ribuan ekor kelelawar merusak ratusan hektar pohon kelapa milik warga Desa Tondowolio, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka. Dinas Perkebunan setempat mengakui masuknya kelelawar ke pemukiman penduduk dan merusak kelapa akibat kerusakan hutan di desa tersebut. Bukankah tidak lazim kelelawar merusak kelapa? Kalau mangga dan pisang, iyalah.
Bila peringatan alam itu kita abaikan, akan muncul lagi keanehan-keanehan baru di masa depan. Di ini negeri yang tidak aneh adalah beberapa hal berikut. Anggota Dewan nonton film porno saat bersidang di gedung Wakil Rakyat Yang Terhormat, prahara `daun muda' dan para pemimpin marah besar bila disentil kritikan. Salam ulat! (dionbata@yahoo.com)
Pos Kupang, Senin 18 April 2011 halaman 1