Malam Panjang di Kairagi

MALAM panjang di Kairagi berakhir di hari Senin. Ya, tanggal 1 Juli 2012 malam larut  di Kiev  atau 2 Juli 2012 waktu Manado, Euro 2012 berakhir dengan hasil yang semua kita sudah tahu: Spanyol menciptakan hattrick terbaik dalam sejarah turnamen kompetitif sepakbola sejak awal abad ke-20.

Dalam empat tahun  Spanyol meraih tiga tropi bergengsi sepakbola, juara Piala Eropa 2008 (mengalahkan  Jerman di final 1-0), juara Piala Dunia 2010 (menekuk Belanda 1-0) dan juara Piala Eropa 2012 (menganiaya Italia 4-0). Bahkan negara dengan tradisi sepakbola kuat seperti Jerman dan Italia belum pernah mencetak sejarah emas semacam ini. Mungkin lima 25 sampai 50 tahun lagi sejarah serupa baru terulang, entah oleh negara mana di bumi ini.

Selesailah  sudah pesta bola di Polandia-Ukraina  2012. Kita akan selalu mengenang dan merindukannya. Mengenang momen-momen indah dan sedih. Merindukan aksi-aksi menawan seniman lapangan hijau.

Malam-malam yang panjang sungguh tercipta di Kairagi, satu titik kecil di bumi Kawanua, markas kami Harian Tribun Manado beraktivitas. Selama tiga pekan lebih, bola membius-memesona kami. Bola menyedot energi tak sedikit, setidaknya jam tidurku dan kawan-kawan di Tribun Manado  lebih sedikit dari lazimnya.  

Sejak 8 Juni 2012  praktis malam-malam kami begadang sampai menjelang fajar lantaran menikmati aksi pemain bintang di Polandia-Ukraina.  Diskusi bola mewarnai newsroom.  Ada canda, ada tawa. Ada olok-olokkan. Juga wajah sedih dan hati galau karena tim kesayangan tumbang di babak awal.

Kegalauan melanda fans Belanda. Belanda 2012 begitu rapuh padahal bertaburan bintang. Belanda 2012 laksana elang yang patah sayapnya. Sekalipun tak pernah menang di fase grup, menempati dasar klasemen. Seolah sulit dipercaya mengingat Belanda adalah runner-up Piala Dunia 2012 Afrika Selatan. Mereka melewati kualifikasi Euro 2012 dengan mulus. Dan  tim itu masih yang sama.

Bola memang bukan matematika. Bola adalah ekspresi paling murni tentang kemanusiaan. Mereka boleh saja berintikan 11 bintang. Tapi bintang-bintang yang egois hanya menghasilkan kesia-siaan. Belanda yang mewariskan tradisi total football justru terseok-seok. Lekas pulang kampung dengan wajah muram. Italia yang adem ayem, tampil seadanya malah menembus final dengan memupus impian 82 juta rakyat Jerman. Final ideal mestinya Jerman vs Spanyol yang meraih hasil nyaris sempurna sejak penyisihan grup. Tapi begitulah bola punya logika sendiri. Sebuah tim diyakini menang mudah. Fakta di lapangan dapat berbalik arah. Dengan aktor utamanya manusia, bola merupakan cermin bening human being yang terdiri dari tulang dan daging rapuh. Bejana tanah liat yang sewaktu-waktu bisa remuk dengan entengnya.

Dan, awan kesedihan seketika menggelayuti kubu tim nasional Italia sesaat setelah wasit Pedro Proenca meniupkan peluit tanda berakhirnya pertandingan final Piala Eropa 2012 di Stadion Olympic di Kiev, Minggu 1 Juli 2012. Bukan sekadar kekalahan yang membuat mereka kecewa, poin telak membuat mereka tertunduk.

Spanyol mengubur impian Gli Azurri dalam-dalam dengan empat gol tanpa balas. Skor terburuk sepanjang sejarah final Piala Eropa.  Leonardo Bonucci menangis tersedu-sedu hingga beberapa kali ditenangkan  Pelatih Cesare Prandelli.

"Ini tamparan yang keras. Anda dapat kalah di final, tetapi menyakitkan jika kalah seperti ini," ungkapnya seusai pertandingan seperti dilansir Football Italia.

Penyesalan mendalam pun diungkapkannya. Bek berusia 25 tahun itu menyesal karena pertahanan Italia tidak mampu mengimbangi gempuran Spanyol. Menurutnya, pendekatan lini belakang Italia sudah salah sejak awal. Seharusnya, lanjut Bonucci, mereka tak boleh sedikit pun memberikan ruang kepada  lawan karena mereka sedang melawan Spanyol, bukan Jerman, bukan Inggris atau Portugal.

Riccardo Montolivo datang dengan rasa penyesalan yang sama besarnya. Bahkan, menurut dia, para pemain Italia tak sekadar sedih. Mereka frustrasi. Apalagi, menurutnya, mereka telah bersama-sama bermimpi bersama seluruh rakyat  Italia.

"Kalah 0-4 di final kejuaraan Eropa, Anda tak bisa bahagia. Ada penyesalan yang sangat besar dan rasa frustrasi yang kami alami sampai akhir pertandingan dan kami tidak memainkannya dengan baik," tutur pemain AC Milan ini sendu.

Kepedihan yang mendalam memang menguasai skuad. Prandelli dan kiper Gianluigi Buffon saja yang terlihat tegar. Dengan karakter kebapakannya, Prandelli berusaha menghibur para pemain yang bersedih. Begitu pula Buffon.

Striker bengal timnas Italia, Mario Balotelli, termasuk salah satunya. Air matanya menetes setelah di akhir-akhir babak kedua, wajahnya datar. Publik pun tahu, ini adalah ketiga kalinya Balotelli menangis.

Sebelumnya, ibu Balotelli, Silvia Balotelli, yang dipeluk oleh striker berusia 21 tahun ini saat dua golnya ke gawang Jerman membawa Italia maju ke final, mengatakan bahwa sulit menemukan "Super Mario" menangis.

Setelah menangis karena Jose Mourinho, sekarang Pelatih Real Madrid, terakhir kali Balotelli menangis di pelukan ibunya seusai laga melawan Jerman di semifinal Euro 2012. Dan, Minggu malam 1 Juli 2012, Balotelli kembali menangis bersama Andrea Pirlo yang selama ini senyumnya sangat jarang dilihat....

Italia hanya sedang tak beruntung alias sial. Demikian penilaian dari pelatih tim nasional Spanyol, Vicente Del Bosque. Menurut pelatih berusia 61 tahun ini, "Gli Azzurri" tampil luar biasa sepanjang turnamen, tetapi tidak terlalu beruntung mengakhirinya.

"Kami telah menjalani pertandingan yang sangat luar biasa. Namun, jangan meremehkan Italia. Mereka hanya tidak beruntung. Segala keberuntungan mendukung kami malam ini," katanya seperti dilansir Football Italia.

"Italia bermain dengan satu pemain lebih sedikit, satu hari kurang istirahat, dan mereka telah mencoba yang terbak, tetapi tak bisa masuk ke dalam permainan. Kami main dengan gaya kami, dan yakin dengan apa yang sudah kami lakukan bertahun-tahun," lanjutnya.

Del Bosque mengatakan, siapa saja dan tim mana pun di dunia ini bisa kehilangan suatu kesempatan kapan saja, dan Italia mengalaminya. Meski sudah menunjukkan permainan yang mencengangkan hingga berjalan sampai final, kebobolan terlebih dahulu hingga cederanya Thiago Motta membuat permainan efektif yang coba dibangun Cesare Prandelli segera berakhir.

Namun, menurutnya, para pemain Spanyol memang tengah dalam performa terbaiknya. Iker Casillas dkk tidak mudah menyerah ketika lawan bereaksi terhadap permainan mereka. Mereka  membalasnya dengan reaksi yang tak kalah ngotot.  "Ini adalah generasi pemain yang luar biasa. Mereka memiliki dasar dan tahu bagaimana harus bermain karena mereka datang dari negara yang mengetahui cara-cara (bermain sepak bola). Kami memiliki banyak pemuda yang luar biasa, beberapa bermain di luar negeri," ungkapnya.

"La Furia Roja" menurutnya bisa bermain dengan tenang sehingga menguasai bola dengan lebih baik. Dengan kemenangan ini, Spanyol menjadi tim pertama yang memenangi tiga gelar turnamen besar secara berturut-turut. Bravo Espana..

Kairagi  kembali ke rutinitas biasa. Dan, kami agaknya masih menjalani malam- malam yang panjang. Hidup adalah perjalanan....kawan. Perjalanan seperti bola yang bundar, bergulir. Ada saat di atas, ada waktu tiarap sejajar kulit bumi...

(Catatan rumpu-rampe yang dibuang sayang....Hehehe)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes