Insiden Trisaksi 1998 karya fenomenal Julian Sihombing |
ADA janji yang diucapkan Julian Sihombing dalam perjumpaan terakhir kami, Minggu sore tanggal 30 September lalu. Ia tak akan menyerah, tetapi berserah diri kepada Yang Kuasa. Ia akan mengetuk pintu-Nya dan menyapa-Nya.
Tepat dua pekan setelah itu, Minggu (14/10/2012) dini hari, sekitar pukul 01.00, kabar duka itu datang. Fotografer senior Kompas itu telah mengembuskan napas terakhir pada usia 53 tahun, berpulang kepada Yang Maha Memiliki. Julian menepati janjinya: mengetuk pintu-Nya dan menyapa-Nya.
Di ruang perawatan intensif (ICU) National University Hospital, Singapura, dini hari itu istri dan kedua anaknya—Suri Dewanti (52), Rian Namora (19), Luna Nauli (14)—serta keluarga besarnya mengantarkan kepergian Julian. Proses panjang sekitar satu tahun untuk mengalahkan kanker kelenjar getah bening berakhir sudah. Perjalanan ini membutuhkan ketabahan luar biasa, baik bagi Julian maupun keluarganya, karena ia harus melewati dua tahap kemoterapi dan penanaman sel punca (stem cell).
”Gue capek,” kata Julian pada Sabtu, 29 September, lalu saat ia menjalani kemoterapi menjelang transplantasi sel, Kamis, 4 Oktober.
Berbeda dengan pertemuan- pertemuan sebelumnya, di mana ia selalu menyatakan ”akan selalu semangat”, kali ini pria kelahiran Jakarta, 15 Januari 1959, itu mengangkat bahu saat menjawab pertanyaan ”apakah ia masih memiliki energi?”
”Gue hanya menjalani proses ini. Selama masih ada peluang, kenapa tidak,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Seusai kemoterapi sesi siang hari, seluruh tubuhnya teramat pucat. Ia mengaku agak kedinginan, menarik selimut putih tebal hingga ke leher dan tertidur. Wajahnya tampak seputih selimut yang menutupinya.
Tak menyerah
Julian Sihombing |
Julian memang bukan tipe orang yang mudah menyerah. Sejak awal divonis menderita kanker kelenjar getah bening non-Hodgkin jenis yang ganas, ia menyatakan akan terus berjuang. Alasan paling kuat, ini semua demi keluarganya.
”Begitu terbayang wajah Suri, Ryan, dan Luna, gue gak tahan, lalu mendorong diri, harus sembuh, harus sembuh, harus sembuh,” ujar Julian, yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Komunikasi Massa FISIP Universitas Indonesia, SMA Negeri 6, SMA Negeri 3, SMP Negeri 1, dan SD Regina Pacis, semuanya di Jakarta.
Itu juga gaya Julian dalam bekerja. Menuntaskan pekerjaan semaksimal mungkin. Tak ada kata setengah-setengah. Bisa disebut, almarhum adalah fotografer yang perfeksionis. Dari tangannya telah lahir antologi foto jurnalistik Kompas berjudul Mata Hati, selain kumpulan karyanya sendiri, Split Second, Split Moment.
Selalu memantau
Sepanjang menjalani pengobatan kanker—yang memaksanya keluar-masuk rumah sakit—Julian tak pernah lepas memantau produk Kompas lewat iPad kesayangannya. Ketika menemukan ketidaksempurnaan, ia mengirimkan keluhan kepada rekan-rekan kerjanya. Acap kali ia gelisah berlebihan sampai istrinya, Suri, mengingatkan almarhum untuk menenangkan diri agar proses pengobatan tidak terganggu.
Dengan sifat perfeksionis dan jam terbang di dunia jurnalistik selama 27 tahun—diawali dua tahun sebagai pewarta foto majalah Jakarta Jakarta—Julian menjadi sosok yang dikenal kritis untuk urusan visual koran. Tak jemu-jemunya almarhum mengingatkan soal pentingnya merekrut fotografer yang memiliki semangat, kegairahan, dedikasi, selain kemampuan teknis foto yang memadai.
Bagi yuniornya, ia menjadi tempat bertanya dan berguru. Tak heran jika Julian bisa begitu tampak bahagia di saat melihat karya pewarta foto yuniornya yang luar biasa. Bukan hanya memberikan pujian kepada yang bersangkutan, tak segan-segan almarhum mengingatkan rekan-rekannya untuk menyimak keistimewaan foto itu.
Julian sendiri mengaku amat mengagumi seniornya, mantan fotografer dan editor foto Kompas, almarhum Kartono Ryadi. Ketika kami bertemu dua pekan lalu, ia mengisahkan bagaimana sejak sebelum bergabung dengan harian Kompas tahun 1987, ia telah bertekad untuk ”mengalahkan” Kartono.
Itu juga yang ia mintakan kepada yuniornya. ”Kalian harus punya tekad untuk mengalahkan senior yang kalian kagumi,” tuturnya, mengulang ”ceramah”-nya kepada sang yunior.
Kini, pria bersuara lantang tetapi suka bergurau itu telah tiada. Sahabat-sahabatnya di bangku sekolah dan di Kompas menjemputnya di pemulasaran jenazah Western Casket di Toa Payoh, Singapura, kemarin; memutarkan lagu ”Wish You Were Here” (Pink Floyd); dan mengantarkan hingga rumah duka di Jalan Perkici 2 EA 3 Nomor 50, Bintaro Sektor 5. Senin (15/10/2012), pukul 11.00, jenazah Julian akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Selamat jalan, Julian….(DI/MYR/RLP)
Sumber: Kompas.Com
Terkait
Mencium Kejadian Sebelum Terjadi
"Kenakalan" Kreatif Julian
Bang Julian, Selamat Jalan...
Jenazah Julian Sihombing Tiba Minggu Malam
Fotografer Kompas Julian Sihombing Meninggal