BAGI warga Desa Oelet, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki sarana air bersih yang mudah diakses merupakan impian sejak dahulu kala.
Namun keinginan masyarakat untuk bangun dari mimpi dan mendapatkan air bersih dengan gampang belum pernah menjadi kenyataan.
"Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, kami warga Oelet harus berjalan kaki sepanjang 4 kilometer pergi pulang. Sumber mata airnya pun bukan dari sumber mata air yang bersih, tetapi dari hamparan tiga sungai di dekat desa kami," ujar Arnolus Nesimnasi kepada Pos Kupang pekan lalu di Oelet.
Sebenarnya ada mata air di desa tetangga yakni Desa Pili berjarak sekitar delapan kilometer yang dapat menyuplai kebutuhan air bersih 1.783 jiwa di desa itu. Namun keluhan dan usulan warga yang disampaikan lewat musrenbang tingkat kecamatan dan kabupaten belum terealisasi hingga kini.
Kendati demikian, warga Oelet tetap survive kendati hidup dengan ketiadaan sarana air bersih yang memadai selama berpuluh-puluh tahun. Kehidupan di Oelet tetap berjalan seperti biasa meski harus bersusah payah setiap harinya untuk mengambil 20 liter air bersih dengan menuruni dan mendaki bukit sepanjang empat kilometer.
Menurut Arnolus, ada tiga kali yang menjadi sumber mata air bagi warga Desa Oelet. Ketiga kali itu, yakni Oeuah, Oeuayu dan Oeunbu. Namun semenjak musim kering terus berkepanjangan warga tak semudah dahulu mendapatkan air. Untuk mendapatkan satu jerigen air warga harus menggali sungai dan menunggu hingga berjam-jam hingga air memenuhi kubangan.
Tak hanya masalah air. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, masalah penerangan juga menjadi persoalan tertinggalnya desa itu dibandingkan dengan desa lain.
Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah dengan memberikan bantuan beberapa unit PLTS bagi warga setempat. Namun rasa keadilan itu hanya diperoleh bagi yang mendapatkan bantuan.
Lantas bagaimana dengan warga yang terus bergelap gulita saat malam tiba.
"Sebenarnya kami bisa mendapatkan sarana penerangan bila PLN mau menyambungnya dari Ibu Kota Kecamatan Amanuban Timur di Oeekam. Tapi sampai kini sambungan listrik itu juga tidak pernah mampir di desa kami. Masyarakat kami banyak menggunakan pelita untuk penerangan malam hari," ujar Antonius.
Antonius bercerita, nyala pelita akan mengisi ruang gelap di rumah warga bila masyarakat mampu membeli minyak tanah. Pasalnya harga minyak tanah di Oelet cukup `mencekik' leher warga. Satu liter minyak tanah warga harus merogoh kocek sebanyak Rp 5.000.
Harapan Antonius dan Arnolus, Pemkab TTS tak melupakan Oelet sebagai salah satu desa yang harus mendapatkan kue pembangunan. Bukan tak mungkin keterisolasian warga setempat terjadi lantaran masalah air bersih dan penerangan yang tak kunjung datang. (Muhlis Al Alawi)
Pos Kupang, Sabtu 14 November 2009 halaman 5